Menghajar "Tim Serangan Fajar" |
Oleh: Sil Joni*
Biasanya, untuk memenangkan pertandingan, para petarung akan 'mengerahkan segala daya' di penghujung laga. Segala cara coba dipakai agar ambisi untuk menjadi kampium kompetisi, bisa terealisasi.
Baca: Pilkades dan Prospek Demokrasi Desa
Hal serupa terjadi dalam gelanggang kontestasi politik. Serangan di masa injury time, umumnya sangat efektif dalam mendulang suara. Agresi politik pada menit-menit terakhir itu, dikenal luas dengan sebutan "serangan fajar". Setiap kubu kemungkinan menyiapkan "pasukan khusus" untuk mengeksekusi sebuah serangan politik persis menjelang fajar menyingsing.
Uang adalah senjata utama yang terbukti begitu jitu dalam "menembak hati" konstituen. Di hadapan kuasa uang, rasionalitas dan hati nurani, tampak terkulai. Hanya dengan 'selembar rupiah', pendirian kita bisa goyah. Politisi medioker yang ambisius, biasanya menjadikan 'serangan fajar' ini sebagai skenario gemilang dalam memenangkan pertempuran.
Politik uang itu, memang sulit dideteksi. Tetapi, bau amisnya begitu menyengat. Meski beroperasi dalam senyap, money politic sejatinya bersifat destruktif. Praksis berdemokrasi bakal semakin kerdil sebab aspirasi publik dalam mendapatkan pemimpin yang bermutu, tersandera oleh kuasa uang. Publik tidak bisa secara otentik dan rasional dalam menentukan calon pemimpinnya.
Beberapa jam lagi, para pemilih akan ke tempat pemungutan suara (TPS) untuk 'memilih' pemimpin di tingkat Desa. Bagi para petarung, waktu beberapa jam itu terasa sangat lama. Bukan tidak mungkin, jurus-jurus pamungkas coba digunakan untuk 'menjemput' momen pemilihan itu.
Baca: Merindukan 'Sengatan' Legislator (Lokal)
Sebagai konstituen, kita mesti waspada. Pastikan bahwa 'perisai moral' tidak jebol di menit akhir itu. Tembok pertahanan diri perlu diperkuat untuk menangkis setiap 'serbuan politik kotor' menjelang fajar itu.
Sigap membaca 'gestur politik' laskar politik yang 'menyerang' rumah kita, menjadi sebuah keharusan. Kita perlu mengambil sikap tegas. Jangan ragu untuk menghajar mereka yang dicurigai sebagai bagian dari 'pasukan serangan fajar' dari kubu politik tertentu.
Menjelang hari pencoblosan itu, kita bisa belajar untuk 'menghardik' tim yang berlaku curang dan mungkin kurang ajar. Hanya dengan ketegasan semacam itu, kontestasi Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) benar-benar menjadi ajang pemanifestasian 'kedaulatan publik' dalam membidik figur yang berkompeten, berkapasitas, dan berintegritas untuk menjadi Kepala Desa.
Baca: Penyingkap "Duduk Perkara"
Jangan beri ruang bagi yang beruang untuk mengibuli kesadaran para pemilih. Ketika kesadaran publik terdistorsi, maka ongkosnya terlalu mahal. Demokrasi tidak sanggup menghantar publik ke tingkat kesejahteraan yang lebih baik. Pemimpin politik yang lahir dari proses demokrasi yang berkualitas, berpotensi menghadirkan perubahan yang signifikan bagi publik Desa yang dipimpinnya.
*Penulis adalah warga Desa Nggorang. Tinggal di Watu Langkas.