Merinduksn 'Sengatan' Legislator (Lokal) |
Oleh: Sil Joni*
Beberapa media dalam jaringan (daring) menurunkan berita tentang seorang anggota DPRD, Alim Imran yang meski sudah dipecat oleh Partai Bulan Bintang (PBB), tetapi tetap mengikuti rapat paripurna yang digelar di ruang DPRD dan dihadiri oleh pemerintah daerah (Pemda) Manggarai Barat (Mabar). Sebelumnya, seorang anggota DPRD Mabar dari fraksi Hanura, Belasius Janu mengunkapkan bahwa selama kurang lebih tiga bulan, anggota DPRD Mabar tidak bekerja, hanya 'makan gaji buta' (RakyatNtt.com, 30/8/2022).
Baca: Penyingkap "Duduk Perkara"
Kualitas kinerja Dewan dalam 'rapat paripurna' dengan agenda pembahasan 'anggaran perubahan' untuk peningkatan kesejahteraan publik, tidak diekspos secara kreatif oleh media. Para awak media lebih memilih berita sensasional seperti kasus pemecatan dan anggapan 'makan gaji buta' itu. Publik tidak pernah tahu seperti apa sikap politik dewan ketika berdebat soal penggunaan anggaran yang idealnya pro pada dimensi kemaslahatan publik itu.
Ketua DPRD Marten Mitar pun spertinya 'terjebak' dalam skenario yang dimainkan oleh awak pers. Beliau hanya mengklarifikasi mengapa Ali Imran masih hadir dalam rapat paripurna DPRD itu. Menurut Marten, Ali Imran masih berhak menyandang status sebagai anggota DPRD sebab beliau dipecat sebagai anggota partai, bukan sebagai anggota DPRD. Gubernur NTT belum mengeluarkan Surat Keputusan (SK) soal pemecatan sebagai anggota legislatif. Sebelum SK Gubernur itu keluar, maka Ali Imran masih menjadi anggota DPRD yang legitim.
Sayang sekali, dinamika pembahasan dan mutu argumentasi dalam 'rapat paripurna', tidak mendapat perhatian khusus. Padahal, hemat saya para dewan terhormat itu diberi 'mandat politik' oleh publik untuk 'membincangkan' secara serius dan sistematis perihal pemenuhan kebutuhan dasar publik melalui politik anggaran yang berpihak pada bonum commune.
Untuk itu, sidang paripurna menjadi 'kesempatan ideal' untuk memperlihatkan kecakapan politik dan keperpihakan yang tegas kepada kepentingan konstituen. Para dewan mesti berdebat secara dialektis dengan para pengambil kebijakan. Perdebatan yang bermutu tentu saja berbasis kajian empiris dan rasa empatik terhadap nasib warga.
Baca: Aktifkan "Politik Kunjungan" (Tafsiran Kreatif Kisah Maria Mengunjungi Elisabet)
Sejauh ini, belum ada media atau 'orang dalam (anggota DPRD), yang secara intens 'mewartakan' kerja-kerja politik konkret, terutama soal dinamika 'diskursus publik' yang terjadi di ruang parlemen lokal. Efeknya adalah publik kekurangan informasi untuk menilai mutu kinerja para dewan terhormat itu.
Meski demikian, kita tetap mengapresiasi beberapa anggota dewan yang konsisten memperlihatkan sikap kritis terhadap pihak eksekutif. Namun, pernyataan kritis itu disampaikan secara sporadis dan bersifat individual. Sikap kritis sebagai sebuah lembaga, tidak pernah diartikulasikan secara tegas.
Daya sengat (kritisisme) para legislator di Mabar belum diperlihatkan secara optimal. Kita jarang membaca bagaimana para dewan terhormat ini "berkonfrontasi secara kritis" dengan pemerintah daerah. Hasil pembacaan publik terhadap kiprah politik Pemda yang di bawah standar dan jauh dari ekspektasi, tak menggugah naluri kritisisme dewan untuk turut "memperbaiki" mutu kinerja dan performa tersebut.
Alih-alih bersikap kritis, justru hujan pujian dan apresiasi sering mengalir dari mulut dewan. Para DPR kita tidak lagi tampil sebagai pengontrol kinerja pemerintah, tetapi sebagai lembaga apresiator dan motivator Pemda.
Publik jarang menangkap warta bahwa anggota DPRD Mabar memberikan 'tekanan politik' yang serius ketika Pemda tampil di bawah performa terbaik. Segalanya, di mata dewan, situasi pembangunan politik di sini tampak biasa-biasa saja. Padahal, ada banyak hal tidak beres yang kerap diendus oleh publik.
Baca: Tidak Ada "Musuh" dalam Kontestasi Pilkades
Daya sengat dewan masih tumpul. Sulit mengharapkan terjadinya transformasi politik di tengah mandulnya peran kritis dewan. Saya menduga sebuah skenario politik koruptif dan konspiratif sudah, sedang, dan akan diterapkan oleh para elit lokal kita.
*Penulis adalah warga Mabar. Tinggal di Watu Langkas.