Penyingkap "Duduk Perkara" |
Oleh: Sil Joni*
Pada periode keemasannya, filsafat begitu 'perkasa' dalam menggusur pola pikir mitologis. Keberhasilan filsafat dalam 'menumbangkan' dunia mitos, bisa ditakar sebagai 'debut pencerahan pertama' yang tentu sangat berpengaruh terhadap arah gerak zaman selanjutnya. Filsafat pada periode itu, didapuk sebagai 'induk' dari semua ilmu pengetahuan.
Tetapi, kini eksistensi dan kontribusi filsafat dalam kehidupan konkret, terus 'digugat'. Ada yang secara ekstrem menyimpulkan bahwa 'filsafat' telah kehilangan pamornya. Pasalnya, hampir semua persoalan manusia dan semesta raya ini, telah dijawab oleh sains. Metode kerja sains jauh lebih akurat dan valid ketimbang spekulasi filsafat.
Sebelum filsafat masuk ke ranah akademik, filsafat sangat dekat dengan 'kehidupan praktis' setiap hari. Actus berpikir ini dikemas dalam bentuk 'dialog kehidupan' untuk menyingkap berbagai 'tabir kebenaran' di seberang yang tampak (fenomena).
Oleh sebab itu, filsafat tidak dilihat sebagai 'resep atau obat' yang bisa menyembuhkan luka realitas, tetapi mesti dimaknai sebagai sebuah 'latihan serius dan tak terputus dalam menyimak dan menyibak apa yang ada di balik yang tampak'. Itu berarti filsafat tidak lahir dari ruang vakum. Filsafat mulai beroperasi ketika sebuah peristiwa terjadi. Dengan kata lain, filsafat adalah refleksi kritis atas pelbagai peristiwa yang konkret.
Namun, dalam perjalanannya, refleksi filosofis dikembangkan secara metodis, sistematis, dan tematis. Watak filsafat yang semula "sangat ramah" dengan dunia nyata, terpaksa beralih ke aura yang spekulatif dan abstrak. Filsafat dicerca sebab "permenungannya" tidak berpijak pada realitas konkret di sini dan kini.
Kendati demikian, kekhasan filsafat sebagai "jalan" mencari kehikmatan dan kebijaksanaan tak pernah pudar. Substansi permenungannya "tetap bergerak" ke kedalaman, ke akar (radix) dari sesuatu (ada). Energi filosofis para filosof akademik tak "luntur" untuk "menghadirkan yang tersembunyi" pada bagian yang paling fundamental (substratum) dari kemanusiaan dan kehidupannya.
Hingga detik ini, belum terdengar warta perihal tendensi 'pembalikan secara radikal" karakter filsafat yang direduksi hanya sebatas "pemberi resep atau solusi praktis" terhadap sesuatu. Memang, ada usaha untuk mengintegrasikan filsafat dengan cabang ilmu positif seperti ekonomi, politik, antroplogi, hukum, ekologi dsb, namun filsafat "tetap tahu diri".
Bahwasannya, kompetensi filsafat adalah ikhtiar 'memberi cahaya nilai' agar ilmu-ilmu tersebut tidak keluar dari "koridor etis-aksiologis. Filsafat hemat saya, tidak boleh disamakan dengan metodologi kerja ilmu-ilmu humaniora lainnya yang berusaha 'menjabarkan secara praktis" tujuan keberadaannya.
Filsafat tak pernah berambisi untuk "memberikan tips sederhana" bagaimana mengatasi sesuatu. Sebaliknya, ia berusaha untuk "menjelaskan" mengapa sesuatu terjadi dan mengapa kita mesti menggunakan "cara ini' dan bukan cara yang lain.
Tegasnya filsafat berupaya agar "status quetionis" sebuah persoalan bisa dipahami dengan baik. Jadi, filsafat sebenarnya bukan pembawa solusi, tetapi pertama-tama, penyingkap tabir/misteri sehingga manusia bisa mengambil-langkah-langkah konkret untuk keluar dari "perkara tersebut".
*Penulis adalah warga Mabar. Tinggal di Watu Langkas.