Peserta Didik dan Literasi Digital |
Oleh: Sil Joni*
Kita hidup dalam sebuah tahapan atau era sejarah yang secara populer disebut 'era digital'. Digitalisasi merupakan resultante dari aktivitas rasio praktis melalui kerja eksperimentatif dan saintifik yang bersifat empiris. Pelbagai temuan dari dunia riset dan sains itu, sangat berpengaruh terhadap pola pikir dan pola tindak manusia.
Baca: Guru dan "Gerakan Literasi Sekolah"
Penemuan dan penggunaan 'teknologi internet' yang kian massif, menjadi salah satu contoh perubahan dalam ranah kebudayaan itu. Kehadiran 'teknologi internet' dengan semua aplikasi atau platform, memunculkan budaya baru yang dikenal luas sebagai 'digital culture'. Jari manusia dioptimalisasi untuk mendapatkan akses informasi yang luas dan membantu meringankan pekerjaan manusia melalaui layar telepon genggam dan komputer yang terkoneksi dengan 'jaringan internet'.
Saya kira, perkembangan dunia digital telah merambah ke semua bidang kehidupan. Rasanya, tidak ada lagi dimensi kehidupan manusia yang tidak terhubung dan terpengaruh dengan pola digitalisasi. Pengaruh dan manfaat perangkat teknologi digital itu, sudah, sedang, dan akan dinikmati oleh anggota komunitas sekolah. Proses pembelajaran formal berbasis digital, terus diinisiasi dan ditingkatkan kualitas penerapannya dalam sebuah satuan pendidikan.
Itu berarti, baik guru maupun peserta didik, mesti memiliki telepon genggam atau komputer yang terkoneksi dengan jaraingan internet dan mempunyai kompetensi yang memadai untuk memanfaatkan 'teknologi digital' dalam melaksankan proses pembelajaran. Saya kira, sejak pandemi Covid-19 menerjang publik global, desain pembelajaran lebih banyak berlangsung secara online (dalam jaringan). Bisa dipastikan bahwa hampir semua peserta didik saat ini, khususnya tingkat SMA/SMK memiliki Handphone (Hp).
Akan tetapi, telepon genggam itu tidak dipakai untuk kepentingan pembelajaran semata-mata. Tak bisa dihindari bahwa Hp itu dipakai oleh siswa untuk terlibat dalam komunikasi dan interaksi di media sosial. Dengan perkataan lain, dalam dan melalui Hp itulah, para siswa bisa merasakan sensasi dalam bermedia.
Aktif berselancar di media sosial, menjadi salah satu kekhasan dari generasi milenials, termasuk siswa SMA/SMK. Kita tahu media sosial dengan aneka platform, merupakan 'wilayah tidak bertuan' yang boleh dimasuki oleh siapa saja dan untuk kepentingan apa saja. Sangat boleh jadi, para siswa kita akan 'tersesat' ketika memasuki hutan rimba virtual itu. Mereka bisa saja kehilangan arah untuk kembali pulang atau meneruskan perjalananan menuju titik yang diidamkan.
Tegasnya, potensi untuk menyalahgunakan 'media sosial' itu, semakin terbuka bila tidak ditopang dengan asupan pendidikan media yang bermutu. Masalahnya adalah mayoritas peserta didik kita belum mendapatkan semacam 'pengetahan bermedia yang baik'. Mereka tidak dibekali dengan tata cara atau etika bermedia. Persoalan semakin kompleks jika dikaitkan dengan karakter perkembangan psikologis mereka yang masih labil dan dalam proses mencari jati diri yang otentik.
Baca: Pendapat Sil Joni Terkait "Kultur Literasi dan AKM"
Sadar bahwa mayoritas siswa 'belum melek media digital', maka Kepala SMK Stella Maris, Rm. Kornelis Hardin, Pr dalam 'amanat singkatnya' pada apel bendera pagi ini, Senin (12/9/2022) kembali mengingatkan para siswa untuk 'bijak dalam menggunakan media sosial'. "Jangan mengumbar hal-hal pribadi dan sensitif di ruang maya", tegas pria yang akrab disapa Rm. Dino itu. Tidak semua hal disalurkan atau disampaikan di media sosial.
Gagasan tentang 'literasi media digital', mendapatkan momentum dan urgensinya dalam penegasan dari Rm. Dino ini. Sejak tahun 2021, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) sudah mendesain semacam 'modul ajar' terkait penguatan literasi digital yang mencakup empat kompetensi, yaitu: Kecakapan digital, budaya digital, etika digital, dan kemananan digital.
Selain sisi kecakapan digital, barangkali yang paling mendasar yang menjadi prioritas dalam pengimplementasian kurikulum literasi digital ini adalah soal 'etika bermedia'. Para siswa mesti diarahkan dan dipandu bagaiamana 'tata cara' menulis atau memposting sesuatu dalam ruang virtual. Mereka mesti tahu dengan pasti kira-kira mana yang boleh dan tidak boleh atau mana yang baik dan tidak baik untuk dipamerkan dalam media sosial.
Tujuan literasi media, sejauh ini ada dua pandangan yang berbeda yang sama-sama memiliki pengaruh di kalangan praktisi pendidikan media/literasi media. Pertama, yang disebut kelompok proteksionis menyatakan bahwa pendidikan media/literasi media dimaksudkan untuk melindungi warga masyarakat, termasuk peserta didik sebagai konsumen media dari dampak negatif media sosial.
Kedua, yang disebut preparasionis yang menyatakan bahwa literasi media merupakan upaya mempersiapkan warga masyarakat untuk hidup di dunia yang sesak-media agar mampu menjadi konsumen media yang kritis. Artinya, dalam pandangan kelompok preparasionis, warga masyarakat secara umum perlu diberi bekal kompetensi melek media untuk bisa mengambil manfaat dari kehadiran media sosial.
Saya berpikir, kedua pandangan itu, sangat baik untuk dijadikan 'landasan' dalam mengambil prakarsa untuk melaksanakan program literasi media digital yang kritis dan berbobot. Setidaknya, melalui program literasi digital, para siswa bisa 'terlindung' dari pengaruh buruk media sosial sekaligus bisa berpikir kritis dan kreatif untuk memanfaatkan media sosial secara positif.
Baca: Tiga Batu Tungku "Kurikulum Merdeka"
Pertanyaannya adalah bagaimana sekolah melaksanakan kurikulum literasi digital itu? Salah satu elemen krusial yang diperhatikan dalam implementasi Kurikulum Merdeka adalah pelaksanaan proyek penguatan profil pelajar Pancasila.
Literasi digital itu, dengan demikian, didesain dan diintegrasikan dalam pembelajaran berbasis proyek. Masalah utama dalam proyek itu, sudah teridentifikasi. Beberapa guru mata pelajaran bisa berkolaborasi dalam menentukan tema, tujuan, konten, dan tahapan dalam pelaksanaan proyek tersebut. Selain itu, literasi digital bisa juga dijadikan salah satu agenda kegiatan yang bersifat ekstrakurikuler.
*Penulis adalah Staf Pengajar SMK Stella Maris Labuan Bajo.