Sekolah yang Menyenangkan |
Oleh: Sil Joni*
Secara etimologi, kata sekolah berasal dari kata Bahasa Latin: scola, scolae, schola yang berarti waktu luang atau waktu senggang. Sekolah seturut pengertian dia atas merupakan kegiatan pada waktu luang bagi anak-anak di tengah kegiatan utama mereka, yaitu bermain. Itu berarti kegiatan di sekolah pasti sangat menyenangkan karena dilihat sebagai semacam 'selingan' dari aktivitas bermain.
Baca: Peserta Didik dan Literasi Digital
Seiring perkembangan zaman, kata sekolah mengalami perubahan arti. Sekolah tidak lagi dimaknai sebagai aktivitas waktu senggang semata-mata, tetapi tempat atau lembaga untuk kegiatan belajar dan mengajar yang dilaksanakan secara formal. Dengan perkataan lain, sekolah merupakan tempat terselenggaranya proses pendidikan yang bersifat sistematis, metodis, dan teroganisir secara resmi.
Sebagai sebuah lembaga 'formasi kepribadian peserta didik', sekolah tidak selalu menampilkan 'wajah yang ramah'. Aktivitas waktu luang yang menyenangkan, kadang berubah menjadi serangkaian tugas atau kegiatan yang membosankan dan pada level tertentu, membelenggu peserta didik.
Membaca kenyataan buram semacam itu, pemerintah coba 'mengembalikan' spirit dasar kehadiran sebuah sekolah sebagai lokus pelaksanaan kegiatan yang menyenangkan bagi peserta didik. Sekolah tidak boleh berubah menjadi semacam 'penjara' yang membatasi hak anak untuk bermain. Naluri bermain pada anak mesti difasilitasi oleh pihak sekolah agar anak merasa senang dan bahagia.
Tujuan pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara seperti yang digemakan kembali oleh Mahardika, staf dari Balai Besar Pengembangan Penjaminan Mutu Pendidikan Vokasi Bisnis dan pariwisata (BBPPMPVB) adalah membantu anak supaya selamat dan bahagia. Hal itu ditegaskan Mahardika dalam sesi dialog dengan para guru SMK Stella Maris di ruangan Hotel sekolah itu, Selasa (27/10/2021).
Baca: Guru dan "Gerakan Literasi Sekolah"
Dengan demikian, guru bertugas menolong anak untuk 'melewati jalan yang menyenangkan' untuk sampai pada dermaga keselamatan dan kebahagiaan itu. Ide tentang 'jalan yang menyenangkan' itu mengingatkan kita akan pentingnya membumikan 'Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM)' yang sedang dikembangkan di SMK Stella Maris saat ini.
Inti dari GSM, demikian Mahardika adalah 'kita semua merasa bahagia (happy)'. Artinya, baik guru maupun siswa harus merasa bahagia berada di lingkungan sekolah. Pola interaksi dan proses pembelajaran di dalam kelas mesti berlangsung dalam atmosfer yang menyenangkan.
Untuk itu, penampilan dan seluruh corak kepribadian guru, mesti menginspirasi dan membuat siswa senang. Guru menjadi sosok yang spesial di mata siswa. Artinya, siswa selalu merasa rindu untuk bersua dan berkomunikasi dengan gurunya.
Dalam lingkungan sekolah, baik guru maupun peserta didik, tampil sebagai 'pembelajar yang menyenangkan' (joyful learner). Keadaan yang menyenangkan itu, tidak ditakar dari sisi materi. Keberadaan sarana dan prasarana mewah hanya sebatas 'sarana' agar kondisi menyenangkan bisa terwujud. Guru mempunyai andil yang besar dalam mengkreasi ruang dan atmosfer yang menyenangkan di sekolah.
Guru dalam paradigma "sekolah Menyenangkan', harus 'menghamba kepada siswa'. Guru adalah pelayan. Spirit untuk melayani kebutuhan siswa tanpa pretensi atau pamrih pribadi, menjadi prinsip dasar yang melekat dalam benak seorang guru. Kita memberikan seluruh jiwa raga, supaya para siswa tersenyum bahagia.
Siswa harus menjadi 'semakin besar' dan guru semakin kecil. Cara untuk membesarkan siswa tentu tidak bisa melalui jalan kekerasan atau paksaan. Kalau dapat, guru bertindak seolah-olah mereka kembali "menjadi anak-anak'. Saya kira, ide ini tidak terlalu berlebihan. Memang untuk memahami secara total dunia anak, kita perlu masuk ke kedalaman dan kalau dapat bertindak seperti anak-anak itu. Dengan demikian, guru benar-benar tampil sebagai 'sahabat sejati' dari para siswa.
Gerakan Sekolah Menyenangkan tidak identik dengan penciptaan kondisi 'asal siswa senang'. Menciptakan kondisi yang menyenangkan tidak berarti guru 'bersikap permisif' terhadap aneka kelakuan (negatif) yang diperlihatkan siswa.
Sikap 'serba membolehkan' itu, tentu sangat kontras dengan spirit pemanusiaan manusia. Untuk hal-hal yang bersifat prinsipiil dan fundamental dalam mendidik anak, guru harus tegas. Tetapi, cara untuk mendisiplinkan siswa harus lembut. Metode represif dan otoriter, terbukti tak terlalu efektif dalam membangun kesadaran dalam diri anak.
Baca: Pendapat Sil Joni Terkait "Kultur Literasi dan AKM"
Proses pembelajaran di dalam kelas mesti dirancang dan dilaksanakan dalam suasana yang menyenangkan. Penguasaan terhadap sebuah kompetensi akademik dan keterampilan tidak harus melalui cara-cara yang bersifat otoriter, indoktrinatif, kaku, dan monoton. Guru mesti terbiasa untuk memakai metode, strategi, pendekatan, dan paradigma yang lebih mengakomodasi tingkat perkembangan psikologis anak.
Saya kira, seorang anak (siswa), bukan sebuah tabula rasa murni yang dicoret sesuka hati para guru. Dalam diri anak, sebetulnya sudah terkandung dan bersemi benih-benih pengetahuan. Tugas guru adalah 'membantu anak' agar untuk mengeluarkan benih pengetahuan itu dan memastikan penggunaannya untuk tujuan yang benar. Dengan itu, anak tidak berjalan ke wilayah yang 'sesat' dalam mengarungi medan sejarah hidupnya di dunia ini.
Tujuan pendidikan adalah membantu anak untuk berjalan pada rel yang benar untuk selamat sampai pada tujuan. Dalam proses menuju wilayah keselamatan itu, anak harus merasa bahagia sebab potensi yang dimilikinya berfungsi dengan baik dan optimal. Potensi kemanusiaan yang sudah mendapat sentuhan dan tuntunan yang menyenangkan dari guru itulah modal utama untuk sampai pada kondisi selamat dan bahagia.
Dalam ranah ontologi, manusia dibaptis sebagai makhluk bermain (homo luden). Sekolah semestinya menjadi 'area' pengaktualisasian bakat bermain tersebut. Agar peserta didik sungguh terlibat dan menikmati setiap 'bentuk permainan', maka sekolah harus menjadi tempat yang menyenangkan. Ketika lingkungan sekolah mengalami tranformasi yang radikal, maka saya pikir kisah para siswa tidak betah berada di sekolah, mungkin tidak terdengar lagi. Suasana yang menyenangkan menjadi daya magnetis yang membuat anak 'jatuh cinta' dengan sekolah.
Menjadikan sekolah sebagai 'destinasi yang menyenangkan', merupakan 'tantangan' yang mesti dihadapi para guru saat ini. Butuh komitmen dan pertobatan yang radikal dalam menerapkan strategi, pendekatan, paradigma, metode, dan gaya yang berpihak pada 'unsur tumbuh kembang anak'. Pendidikan adalah proses investasi yang bersifat manusiawi. Para guru mesti menginvestasikan 'kebaikan' kepada anak. Proses investasi itu akan berlangsung efektif jika dan hanya jika lingkungannya bersifat menyenangkan.
*Penulis adalah Staf pengajar SMK Stella Maris Labuan Bajo.