Setelah 'Pesta Demokrasi' Digelar |
Oleh: Sil Joni*
Ujung dari sebuah kontestasi politik adalah tampilnya sang pemenang. Rivalitas politik pun berakhir. Mereka yang 'kurang beruntung' mesti bersikap fair dan sportif untuk mengakui dan mendukung kompetitor politik yang tampil sebagai kampium kontestasi itu.
Menjadi 'pemimpin politik' seperti Kepala Desa (Kades) merupakan salah satu sarana untuk mengabdi kepada sesama. Mereka yang kalah dalam kompetisi ini, hemat saya bisa memilih 'jalan lain' untuk menuntaskan misi pengabdian pada sesama itu. Berkolaborasi atau bermitra secara produktif dengan Kades dalam 'membangun Desa', bisa menjadi salah satu opsi cerdas untuk 'berbagi kebaikan' kepada warga Desa.
Baca: Konser 1000 Kebijakan Publik
Sedangkan, bagi para pemenang, jabatan itu selalu bermakna ganda. Mandat politik yang diberikan publik itu, di satu sisi, dilihat sebagai 'rahmat' yang patut disyukuri dan diselebrasi. Pada sisi yang lain, jabatan itu menuntut sebuah tugas atau tanggung jawab yang tidak ringan. Para Kades terpilih 'dipanggil' untuk menghadirkan 'keselamatan nyata' bagi warga Desa yang kerap disandera oleh pelbagai problem politik pelik selama ini.
Karena itu, menjadi 'pemenang' Pilkades bukan sebagai 'tujuan akhir'. Kemenangan itu, hanya sebagai 'pintu masuk' untuk mencapai tujuan yang lebih mulia, mengubah wajah Desa dan mengangkat harkat dan martabat warga Desa dalam mengecap kehidupan yang lebih yang berkualitas. Dengan perkataan lain, jabatan itu bukan sebagai 'tujuan', tetapi sarana yang efektif untuk memanifestasikan ideal 'menolong' sesama untuk keluar dari situasi negatif.
Itu berarti seorang pejabat publik (baca: Kades) merupakan seorang 'pelayan sejati'. Ia mengerahkan segala daya dan potensinya untuk memberikan pelayanan yang optimal bagi warga Desa. Pragmatisme dan oportunisme adalah 'virus' yang bisa menggerogoti prinsip luhur 'melayani sesama itu'. Mengapa?
Ketika motif pragmatis dan oportunis yang dikedepankan, maka seorang Kades pasti terobsesi untuk mengakumulasi kapital personal dan mungkin keluarganya sendiri. Dengan rumusan lain, jabatan itu disalahgunakan sebagai 'instrumen' memperkaya diri semata. Idealisme untuk memperbaiki level kemaslahatan publik, menjadi sulit termanifestasi.
Tendensi abuse of power, umumnya semakin besar ketika seseorang menggenggam 'kursi kekuasaan'. Kreativitas iblis kian produktif dalam 'mencuri uang publik'. Trik manipulatif dan distortif dioptimalisasi guna menjustifikasi penggunaan anggaran. Ada kesan bahwa seorang pemimpin politik mesti lihai dan taktis dalam mendesain administrasi agar terhindar dari 'temuan' ketika digeladah oleh pihak berwajib. Kecerdasan administratif dan dokumentatif dijadikan senjata untuk 'menyembunyikan' fakta koruptif yang vulgar itu.
Atas dasar itulah, kita 'kurungkan' sebagian dari ucapan selamat dan profisiat kepada para kontestan terpilih. Ucapan itu akan kita gaungkan secara paripurna ketika mereka menorehkan prestasi kerja fenomenal dalam masa kepemimpinan mereka. Mereka mesti tunjukkan bahwa memang mereka 'layak' mendapat amanah dari pubik dan sanggup menerjemahkan harapan publik itu dengan gemilang.
Publik menanti debut dan kiprah mereka dalam lapangan politik di tingkat Desa. Produk politik yang tertuang dalam bentuk visi, misi, dan program unggulan, menjadi referensi bagi publik dalam mengevaluasi kinerja para Kades terpilih itu. Indikatornya adalah sejauhmana sang Kades mengimplementasikan 'produk politik' itu dan seperti apa perkembangannya. Apakah dengan penerapan visi, misi, dan program itu, wajah Desa terlihat semakin elegan dan bermartabat?
Keberhasilan seorang kandidat, hemat saya, tidak semata-mata diukur dengan jumlah suara yang diperoleh dalam sebuah kontetasi, melainkan seberapa efektif sang pemimpin mendayagunakan kapasitasnya dalam mengubah kondisi Desa. Jadi, patokan kesuksesannya adalah kemajuan Desa yang bisa diverifikasi secara empiris.
Kita percaya bahwa kandidat Kades yang terpilih telah memenuhi prasyarat kualifikatif yang diinginkan publik. Mereka dipilih karena dinilai mempunyai 'tingkat kesanggupan' yang mumpuni dalam mewujudkan mimpi bersama warga Desa. Tidak salah jika publik meletakkan harapan yang tinggi pada pundak sang pemenang serta 'menyuntikkan' spirit heroisme dan militansi untuk bisa tampil sebagai 'pemenang sejati' dalam membangun Desa.
Gemuruh tepuk tangan dan sorak sorai para pendukung seusai mengetahui 'perolehan suara definitip' saat ini, menjadi mubazir manakala sang Kades terpilih tampil antiklimaks atau jauh dari performa terbaik ketika menjalankan roda pemerintahan di tingkat Desa.
Baca: Bidik Pemimpin dalam Bilik
Untuk itu, alih-alih mengalirkan suara apresiasi, mungkin baik jika 'disisipkan' juga suara provokatif agar sang Kades tidak boleh mengkhianati warga Desanya. Kades terpilih mesti secara kreatif, produktif, dan progreasif mengimplementasikan janji politiknya serta mendesain kerja politik bermutu agar suara sorak-sorai publik tetap membahana dan kian gegap gempita hingga tiba di penghujung masa kemimpinannya.
Sebagai ekspresi rasa bahagia atas peristiwa kemenangan itu, tentu wajar jika kita 'berpesta'. Tetapi, pesta yang sesungguhnya akan dihelat ketika Sang Kades menghadirkan 'warna cerah' untuk Desa tersebut. Itu adalah pesta publik yang otentik sebab 'telah merasakan' rahmat Tuhan melalui 'tangan kepemimpinan' sang Kades.
*Penulis adalah warga Desa Nggorang. Tinggal di Watu Langkas.