Surat Cinta, Olah Rasa, dan Budaya Menulis |
Oleh: Sil Joni*
"Tala yang terkasih. Perpisahan kita selama ini, tak pernah menyurutkan rinduku padamu. Aku masih seperti yang dulu. Dan tak akan pernah berpaling darimu, walau langit runtuh". Itulah salah satu penggalan isi surat balasan dari Wulang kepada Tala.
\
Baca: Seni Berbicara
Kisah cinta antar Tala dan Wulang itu dinarasikan dengan sangat apik oleh Dr. Bernadus Barat Daya dalam tulisannya yang berjudul: "Dalam Cinta Ada Pengertian, Tunggu Aku!" Artikel itu bisa dibaca dalam sebuah buku dengan edisi terbatas yang dieditori oleh Julia Utami. Tetapi, jangan khawatir karena tulisan itu sudah diunggah oleh sang penulis di akun facebook pribadinya, Bernard Barat Daya, Senin (26/9/2022).
Boleh jadi 'kisah romantika masa muda' yang tertuang dalam 'cerita pendek (cerpen)' itu, merupakan pengalaman nyata dari penulis sendiri. Jika tafsiran ini benar, maka tidak terlalu mengejutkan jika saat ini Dr. Bernadus Barat Daya dikenal luas sebagai salah satu penulis dan dalam arti tertentu 'sastrawan' yang sangat produktif. Karier kepenulisannya ternyata sudah dirintis sejak usianya relatif muda.
Surat cinta, selain sebagai wahana 'olah rasa', juga menjadi salah media sederhana' dalam mengasah kemampuan menulis. Membaca potongan kisah yang tertuang dalam 'surat cinta' yang ditulis kepada sang kekasih pujaannya, terbaca dengan jelas bahwa Barat Daya memiliki bakat sastra yang menawan. Penggunaan bumbu sastra dengan ukuran yang pas, membuat tulisan Barat Daya 'enak dan sedap' dibaca.
Saya tidak mau mengulas lebih jauh perihal 'debut dan reputasi' Barat Daya dalam dunia literasi. Pesona atau daya magis sebuah 'surat cinta' menjadi fokus perhatian saya. Tentu saja, refleksi ini berangkat dari 'keterpikatan' saya dalam mengunyah goresan indah Barat Daya itu, terutama soal optimalisasi penggunaan 'surat cinta' untuk mengisi dan mengobati rasa rindu antara dirinya dengan sang pacar.
Pertama nian, perlu ditegaskan bahwa menulis 'love letter' yang dimaksudkan dalam refleksi ini, mengacu pada gaya menulis manual berbasis kertas dan pena. Sebuah tradisi yang rasanya 'mulai punah' di kalangan anak muda saat ini.
Baca: Guru dan "Gerakan Literasi Sekolah"
Itu berarti, tulisan ini hendak mengintip sebuah 'kebiasaan' yang begitu memesona pada masanya, terutama remaja SMP dan SMA yang hidup pada era pra-teknologi digital. Saya sendiri termasuk 'salah satu pemain' yang terlibat dalam urusan menulis surat cinta secara manual itu dan merasakan 'daya magisnya' baik sebagai wadah pengolahan afeksi maupun sebagai sarana 'membangun kultur literasi'.
Kisah cinta (monyet) yang biasa dialami seorang bocah remaja 'terpahat indah' dalam aneka surat yang diraciknya secara kreatif. Seseorang bisa dengan bebas mengungkapkan dan mengolah 'gelombang rasa' yang menerpa kalbunya itu. Pena dan kertas adalah 'alat ucap ideal' untuk membahasakan romansa dan dinamika rasa cinta itu.
Dalam dan melalui 'sepotong kertas', seorang remaja tempo doeloe, mengekspresikan 'seni mengungkap rasa' pada sang kekasih idamannya. Rasa yang terpendam dalam dada coba dinyatakan melalui untaian kata dan huruf yang begitu mengesankan.
Saya kira, ada semacam kebanggaan kala itu, ketika kita dengan gagah berhasil 'menulis dan mengirim surat cinta' itu kepada sang pacar. Apakah wanita impian itu menerima dan membalas surat itu, rasanya itu hal lain. Intinya, saya sebagai remaja laki-laki, sudah menghasilkan sebuah 'karya seni' yang mendokumentasikan dengan baik pernak-pernik rasa dalam hati.
Menulis surat umumnya dan surat cinta khususnya sebetulnya sebuah 'tradisi yang sangat positif' dan berguna tidak hanya untuk mengasah keterampilan menulis, tetapi juga media ideal pengolahan emosi secara kreatif. Penulis buku The Secret Letter Project: A Journal for Reflection, Growth and Transformasion Through the Art of Letter Writing, Juliet Madison’s mengatakan, surat sangat istimewa terutama pada proses pembuatannya.
Menurut Juliet, kekuatan menulis surat ada pada prosesnya. Yang dimaksudkan di sini tentu saja aktivitas menulis surat secara manual. Menulis surat (dengan tangan) berbeda dengan menulis surat berbasis ketik keyboard atau tuts-tuts komputer atau Telepon pintar. Surat tertulis tangan menggambarkan upaya yang tidak sederhana.
Dalam dan melalui kegiatan 'menulis surat' itu, totalitas emosi kita terekspresi secara kreatif. Kita mengungkapkan 'rasa dan pikiran' secara teratur dan sistematis dalam media kertas. Kertas surat itu menjadi semacam 'medium penyambung rasa' antara penulis dan penerima surat.
Dengan demikian, menulis surat itu sesungguhnya punya dampak pisau bermata dua. Kedua subjek yang 'terlibat' dalam aktivitas surat menyurat itu, merasakan efek positif dari keseriusan mereka berkomunikasi melalui medium itu. Untuk si pengirim surat misalnya, menulis surat mampu memecah kebuntuan di kepala. Sekaligus melatih kelihaian menata aksara, menjadi baris kata yang meneduhkan.
Selain itu, menulis surat juga mampu melelehkan dan meluluhkan kerasnya hati si penerima surat. Bagaimana tidak meleleh, membayangkan upaya menulis surat yang tak sederhana, seseorang bisa tahu betapa besarnya perjuangan si pengirim surat. Boleh jadi, sikap si penerima 'berubah total' ketika surat itu mendarat di hatinya.
Aneka ekspresi rasa akan terlihat ketika membaca dan mengetahui 'isi sebuah surat cinta'. Ada yang tertawa, senyum, mata berkaca-kaca, melompat kegirangan dan dengan penuh semangat menceritakan isi surat itu kepada sahabat atau orang terdekatnya. Tetapi, tidak sedikit yang kecewa, marah, jengkel, menangis, membanting diri, tidak bisa tidur, stres dan beragam ekspresi lainnya ketika sang pacar mengirim 'berita buruk' dalam sepucuk surat itu.
Baca: SMK Stella Maris "Melawan Kemustahilan"
Sayang sekali, kisah romansa penulisan surat cinta di atas, hanya tinggal kenangan. Pesatnya perkembangan teknologi digital dan elektronik, menyebabkan tradisi menulis surat cinta dengan tangan di atas kertas, sudah tersingkir. Kita jarang melihat, mendengar, dan membaca 'surat-surat cinta' dari anak remaja SMP dan SMA yang ditulis menggunakan tangan tersebut.
Lain zaman, lain pula warnanya. Ekspresi "cinta" anak muda (remaja) termasuk dalam "warna lain" itu. Surat cinta yang sangat "akrab dengan remaja tempo doeloe, sudah tergusur dan terkubur. Mungkin karena usianya sudah usur.
Goresan ini tidak bermaksud untuk "mengajak kita" berenang dalam nostalgia masa lalu. Untaian refleksi ini hanya sebuah "ratapan plus gugatan" akan "riwayat tradisi" menulis surat cinta yang sangat fenomenal dan emosional di masa lampau.
Harus diakui bahwa "pengungkapan rasa cinta" pada era menjelang akhir milenium II mempunyai "nuansa keindahan" yang tiada duanya. Seni dalam bercinta menjadi panorama yang sangat dominan kala itu. Medium estetika yang lazim dipakai adalah "surat cinta" dengan sekian banyak cerita manis di dalamnya.
Hampir separuh dari rasa cinta kita "tertuang" dalam "lembaran putih yang kerap ditulis sebagai "yang tidak berharga" itu. Emosi cinta kita terasah secara kreatif dalam lembaran sederhana itu.
Tradisi "menulis surat cinta" sudah punah seiring pesatnya penetrasi dan invasi produk kultur modern yang mewujud dalam wajah teknologi digital saat ini. Mayoritas anak muda (remaja) zaman now tidak tahu (bisa) menulis surat cinta secara elegan. Mereka lebih suka "mengirim pesan tanpa emosi" melalui Hp (aplikasi teknologi digital).
Tidak heran jika "kebanyakan siswa SMA/SMP tidak bisa menulis dengan baik. Mutu tulisan siswa kita sangat memprihatinkan karena memang mereka tidak terbiasa mengolah rasa melalui media tulis yang ideal dan efektif.
Dengan mengangkat kembali sebuah 'tradisi klasik' yang ternyata punya daya magis, apakah kita tidak 'tertarik' untuk menggauli kembali kebiasaan semacam itu? Mungkinkan 'sepotong narasi soal penulisan surat cinta berbasis kertas dan pena itu', diterapkan kembali di zaman yang serba digital saat ini?
Ini menjadi tantangan dan mungkin semacam pekerjaan rumah bagi orang tua dan guru untuk memotivasi para remaja dalam menghidupkan tradisi yang dianggap kuno itu. Saya kira, upaya merevitalisasi tradisi menulis surat cinta itu, sangat relevan di tengah gencarnya program membangun budaya literasi di sekolah saat ini.
Selain mengoptimalkan penggunaan catatan harian (diari), kebiasaan menulis surat cinta juga, bisa menjadi salah satu instrumen mengasah talenta berliterasi dalam diri remaja SMP dan SMA.
*Penulis adalah Staf Pengajar SMK Stella Maris. Tinggal di Watu Langkas.