"Belajar Beratap Langit" |
Oleh: Sil Joni*
Kalimat dalam judul di atas, saya 'ambil' dari salah satu judul berita langsung (straight news) pada kolom Fokus Media Indonesia, Rabu (5/10/2022), hlm. 19. Yohanes Lewar, jurnalis Media Indonesia, dengan sangat detail 'memotret' beberapa kondisi bangunan sekolah di Manggarai Barat (Mabar) yang sudah rusak parah. Kondisi kerusakan itu diterangkan secara gamblang melalui narasi tekstual yang elegan dan bermutu.
Baca: Melampaui Intensi 'Menjaring Opini Publik'
Kondisi bangunan Sekolah Dasar (SD) di Desa Pontianak dan Pasir Panjang di Kecamatan Boleng serta SD di Pulau Seraya Kecil, Kecamatan Komodo, menjadi fokus reportase sang jurnalis kali ini. Fakta kerusakan itu dinyatakan secara amat plastis dalam teras berita (lead) itu. "Jika dibandingkan dengan kandang ternak, sekolah rusak di Manggarai Barat lebih mengenaskan. Tanpa atap, tanpa alas, tanpa sekat dan dinding".
Mengacu pada realitas faktual dan keseluruhan narasi dalam berita itu, saya kira judul di atas, rasanya tidak terlalu berlebihan. Memang faktanya, beberapa gedung SD di Mabar, terutama di wilayah pedalaman dan Pulau-pulau terluar, mengalami nasib yang mengenaskan. Para guru dan siswa seolah belajar pada bangunan yang beratapkan langit.
Sementara itu, di Labuan Bajo, kota wisata super-premium itu, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) bersama Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo Flores (BPOLBF), menggelar sebuah 'acara mewah' bertajuk 'Biannual Tourism Forum (BTF)'. Pertemuan dua tahunan itu dihelat di sebuah Hotel Berbintang. Entah berapa dana yang dikucurkan negara untuk membiayai kegiatan yang relatif tidak berdampak pada perbaikan mutu kehidupan publik itu.
Menurut BPLBOF, BTF itu merupakan bagian dari dukungan investasi pariwisata di Destinasi Pariwisata Super Prioritas (DPSP), namun secara empiris, kehadiran program itu, baru berhasil pada tataran wacana. Pihak Kemenparekraf dan BPOLBF hanya rutin membuat seminar, pertemuan, lokakarya, dan kegiatan sejenisnya yang terkesan sekadar menghabiskan anggaran negara. Publik belum merasakan dampak konkret dari semua kegiatan yang digelar di beberapa Hotel mewah itu.
Dengan sangat bangga, direktur BPOLBF, Shana Fatina melaporkan bahwa investasi pembangunan di Labuan Bajo oleh Pemerintah Pusat (Pempus) mulai tahun 2020 sampai tahun 2022 ini sudah mencapai 11,2 triliun rupiah (Jurnalflores.co.id, 5/10/2022).
Siapa yang menikmati hasil dari investasi yang fantastis itu? Apakah setelah orkestrasi pembangunan infrastruktur pendukung pariwisata itu digelar, mutu kemaslahatan publik meningkat? Apa efek konkret investasi kepariwisataan dengan wajah pendidikan di Mabar? Apakah ada semacam aliran keuntungan dari dunia pariwisata yang bisa dipakai untuk membangun infrastruktur pendidikan? Jika iya, mengapa masih banyak gedung sekolah di Mabar, tidak diurus dengan baik?
Baca: Deklarasi, Komunikasi Politik, dan Mimpi Jadi Bupati Super Premium
Anehnya, dari ruang pertemuan atau seminar itu, narasi tentang peningkatan kapasitas sumber daya manusia (SDM), digemakan secara elegan. Bagaimana mungkin kapasitas SDM penduduk lokal makin terdongkrak, jika sisi pendidikan di tingkat dasar tidak diperhatikan dengan baik? Mungkinkah warga yang sekolah di gubuk dan gedung yang hampir roboh, bisa mengikuti standar mutu SDM yang ditetapkan oleh pihak Kemenparekraf atau BPOLBF itu?
Saya membayangkan seandainya uang yang digunakan untuk 'membiayai pertemuan, seminar, workshop kepariwisataan' yang tidak jelas tujuannya itu, dialihkan untuk membangun dan memperbaiki gedung SD yang rusak, maka mungkin kondisi pendidikan di Mabar tidak terlalu parah seperti sekarang ini. Kita buat sebuah kalkulasi sederhana. Dalam satu kali pertemuan, Kemenparekraf atau BPOLBF menghabiskan dana sebesar 500 juta rupiah, maka jika dipakai untuk bangun gedung, mungkin sudah bisa bangun 3 bangunan yang permanen.
Sumbangan yang diberikan oleh BPOLBF untuk Festival Golo Koe dan Konser 1000 Suara Sasando, jika dipakai untuk bangun gedung, maka mungkin 5 bangunan SD bisa dibangun tahun ini. Tetapi, rupanya, negara lebih memilih mengeluarkan dana untuk membiayai event dan kegiatan yang tidak berdampak langsung bagi hajat hidup orang banyak.
Miliaran dan bahkan triliunan dana dikucurkan untuk pembangunan infrastruktur kepariwisataan, sementara masih banyak gedung sekolah dan fasilitas kesehatan yang masih jauh dari kata layak. Seandainya, pemerintah tidak terkecoh dengan narasi wisata super premium ciptaannya sendiri, mungkin kebutuhan elementer publik, bisa terpenuhi dengan baik. Sayangnya, negara lebih mengejar citra pariwisata yang bertaraf internasional, ketimbang memperhatikan kebutuhan dasar publik.
Ketika anak-anak Mabar lebih banyak 'menimba ilmu' di gedung yang beratap langit, masihkah BPOLBF optimis bahwa upaya mendongkrak kapasitas SDM kepariwisataan, bisa terealisasi? Seberapa besar kans keberhasilan program pemberdayaan yang dibuat oleh BPOLBF di tengah latar pendidikan yang memprihatinkan itu?
Baca: Spirit Politik Kepemimpinan yang Baru dan "Tampil Beda" (Materi Orasi politik Iren Surya, S.H)
Satu yang pasti bahwa dengan kondisi semacam itu, anak-anak Mabar, relatif kurang mampu berkompetisi dalam merebut akses ke pasar pariwisata super premium. Kita cenderung tersingkir atau lebih tepat disingkirkan tersebab oleh kurangnya perhatian negara dalam memperbaiki mutu pendidikan. Tidak heran jika aktivitas industri pariwisata lebih banyak dikuasai oleh orang dari luar Mabar.
*Penulis adalah warga Mabar. Tinggal di Watu Langkas.