"Bersatu Padu Membangun Bangsa" |
Indonesia terkonstruksi di atas factum pluralitas. Ke-Indonesia-an itu merupakan buah dari perjuangan 'menyatukan' realitas kepelbagaian tersebut. Seandainya fakta kemajemukan itu tak terjembatani atau sulit disatukan, maka rasanya entitas yang bernama Indonesia itu tak pernah ada.
Sisi heterogenitas itu, bila dikelola dengan bijak, ternyata bisa menjadi kapital dalam mencapai cita-cita bersama sebagai bangsa. Dengan perkataan lain, Indonesia yang serba bhineka itu, menjadi sumber energi yang vital dalam membangun bangsa. Kebhinekaan menjadi kekuatan sebab masing-masing entitas tampil dengan keunikan dan kapasitas masing-masing yang tentu saja sangat kontributif dalam meraih kemajuan bangsa.
Baca: "Merevitalisasi Nilai 'Sumpah Pemuda' dalam Bingkai SMAN 1 Komodo"
Jadi, modal sosial terbesar kita adalah 'persatuan'. Karena itu, saya berpikir, tema perayaan dalam rangka memperingati peristiwa Sumpah Pemuda yang ke-94 pada tahun 2022 ini sangat relevan dan aktual untuk konteks bangsa kita. "Bersatu Padu Membangun Bangsa". Itulah tema utama Sumpah Pemuda secara nasional kali ini.
Hemat saya, tema ini sangat urgen untuk direfleksikan di tengah menguatnya upaya untuk merongrong persatuan bangsa. Tak bisa dielak bahwa masih ada kelompok tertentu yang coba 'merombak ulang' model ke-Indonesia-an. Mereka coba memperkenalkan paham yang berbasis sektarian untuk dijadikan panduan dalam kehidupan bersama.
Selain itu, ketika realitas ketimpangan antara daerah semakin lebar, tuntutan untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) kian menguat. Gerakan yang mengarah ke disintegrasi bangsa, bukan kabar bohong belaka.
Sementara itu, ideologi transnasional yang cenderung 'menghancurkan sisi pluriformitas bangsa', terus menyusup dalam panggung politik kita. Kelompok pengusung ideologi yang anti-keberagaman, tak pernah lelah untuk meruntuhkan bangunan ke-Indonesia-an yang plural ini.
Ideologi terorisme dan radikalisme ditengarai sudah menjalar di tengah masyarakat. Tak sedikit orang muda kita yang terpapar dengan ideologi buruk itu. Bahkan, paham radikalisme itu, ditengarai telah merambah ke lembaga yang secara tradisional dikenal sebagai pranata moral seperti Perguruan Tinggi, sekolah, lembaga agama dan keluarga.
Baca: Komunitas Pemuda dan Literasi Digital
Tentu, paham-paham radikal yang cenderung 'menolak kehadiran kelompok yang berbeda aliran' semacam itu, menjadi tantangan besar bagi bangsa yang heterogen ini. Masalahnya adalah kelompok yang mengibarkan ideologi radikalisme ini, sangat 'terganggu' dengan kenyataan serba bhineka dalam taman yang bernama Indonesia. Mereka hendak menyingkirkan 'bunga, tanaman yang lain' dengan jalan kekerasan. Bagi mereka, hanya orang yang sealiran dengan mereka yang boleh mendiami republik ini.
Kondisi semacam itu, tentu saja sangat kontraproduktif dalam melanjutkan proyek membangsa. Itu sebuah situasi yang tidak ideal. Bagaimana mungkin kita bisa 'menghimpun kekuatan' dalam membangun bangsa jika energi kita lebih banyak terkuras untuk menghadapi 'musuh dari dalam' itu?
Oleh sebab itu, saya pikir, tidak salah jika generasi muda kita perlu secara terus menerus 'membaharui janji, komitmen, sumpah' untuk setia pada unsur persatuan bangsa itu. Spirit Sumpah Pemuda, satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa, mesti terinternalisasi dalam diri kaum muda sehingga mereka tidak lagi hadir sebagai 'beban bangsa', tetapi sebagai penyuplai energi perubahan.
Stok anak muda kita begitu melimpah. Indonesia sedang dan akan menikmati periode 'bonus demografi'. Jumlah orang muda yang masuk dalam kategori usia produktif begitu menjanjikan. Kondisi seperti ini, di satu sisi perlu disyukuri. Namun, pada sisi yang lain, jumlah yang besar jika tidak ditunjang dengan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang baik, maka tentu saja bisa mendatangkan 'bencana demografi'.
Mungkin penguatan kapasitas dalam membendung penetrasi paham radikalisme dan terorisme, menjadi salah satu fokus perhatian dalam proyek pembangunan SDM itu. Orang muda perlu dibiasakan untuk berpikir kritis-analitis agar tidak mudah 'terjebak' dalam kubangan ideologi sesat. Akan menjadi sebuah 'tragedi besar', jika sebagian anak muda begitu latah dan naif menjadi pengikut para pengusung paham sesat tersebut.
Semangat 'Sumpah Pemuda', terbukti masih efektif dan terlampau kokoh untuk diruntuhkan oleh segelintir orang. Keberhasilan Indonesia dalam meraih prestasi demi prestasi, baik pada level nasional, regional, maupun internasional, tentu tidak terlepas dari pengejawantahan spirit persatuan yang digelorakan oleh para pemuda 94 tahun yang lalu itu.
Baca: Skripsi, Sarjana, dan Keterampilan Menulis
Sudah tidak terbilang pencapaian yang ditorehkan oleh kaum muda bangsa ini. Semuanya itu, tidak terlepas dari kemauan dan perjuangan yang keras untuk merawat persatuan di tengah latar keberagaman bangsa ini. Realitas perbedaan, ternyata bukan sebagai 'penghalang' bagi kemajuan, tetapi justru sebagai penguat dan penopang dalam meraih impian bersama.
Tesis utama kita adalah proyek membangun bangsa bisa termanifestasi jika dan hanya jika 'kita bersatu padu'. Tanpa persatuan yang otentik, rasanya sulit sekali untuk meneruskan proyek untuk menjadi 'bangsa Indonesia'. Ketika kita lengah, dalam arti membiarkan 'musuh' menghancurkan tali persatuan itu, maka cepat atau lambat Indonesia tinggal sebagai 'hikayat'. Indonesia bakal tamat riwayatnya, jika kita gagal menjaga unsur persatuan di tengah fakta perbedaan yang sudah menjadi 'identitas khas' dari bangsa ini.
Dari halaman tengah SMK Stella Maris, saya mengucapkan selamat merayakan Hari Sumpah Pemuda kepada segenap 'pemuda' di Manggarai Barat (Mabar). Pemuda mesti menjadi yang terdepan dalam menjaga 'persatuan' di daerah ini agar proses pembangunan berjalan lancar dan aman.
Oleh: Sil Joni*
*Penulis adalah warga Mabar. Tinggal di Watu Langkas.