Diskursus Soal Makna "Auktor Intelektualis" |
Seorang penulis yang saat ini berprofesi sebagai 'advokat', Jon Kadis menggugat pemilihan diksi 'auktor intelektualis' yang tertera dalam sebuah judul salah satu media dalam jaringan (daring) di NTT. Dalam bayangan pak Jon, dengan menggunakan frase 'auktor intelektualis', si wartawan menampilkan sisi positif dari pelaku korupsi dalam pemberitaan itu. Faktanya, justru narasi negatif yang muncul dalam berita itu.
"Kesimpulan saya: si wartawan bodoh dalam penggunaan kata dalam bahasa Indonesia, lagian kata itu tidak akan ditemukan dalam kamus bahasa Indonesia versi apapun. Dan karena itu rupanya ia tidak memiliki pengetahuan arti sesungguhnya dari Auctor Intelectualis. Nafsu untuk keren, tapi munculnya keran bocor. Bikin malu dunia media terbitan NTT saja," tulis Jon Kadis dalam akun facebook pribadinya, Sabtu (22/10/2022).
Baca: "Ubah Hutan Jadi Padang Gurun"
Ini sebuah kritik yang 'menohok dan menukik' tidak hanya untuk pekerja pers, tetapi juga pengguna bahasa Indonesia pada umumnya. Poinnya adalah kita mesti memiliki pemahaman komprehensif terkait makna sebuah istilah dan bagaimana sejarah pengadopsian dan penggunaannya dalam panggung sejarah politik bangsa ini.
Menurut pak Jon, istilah 'aktor intelektual' agaknya lebih tepat karena selain asosiasi maknanya yang bersifat negatif, juga istilah 'auktor intelektualis' itu, tidak ditemukan dalam kamus bahasa Indonesia dalam pelbagai versi. Itu sebuah fakta yang tak terbantahkan.
Tetapi, pertanyaan saya adalah apakah 'aktor intelektual' itu selalu bersifat negatif? Apakah predikat 'aktor intelektual' layak disematkan kepada 'seseorang yang dianggap dalang sebuah peristiwa kejahatan'? Benarkan terdapat perbedaan pengertian yang signifikan antara istilah 'auktor intelektualis' dan aktor intelektual.
Harus diakui bahwa sampai detik ini belum ada kaidah resmi yang mengatur soal penulisan yang benar antara kedua ungkapan itu. Tidak heran, jika kita menemukan penggunaan yang tumpang tindih dalam pelbagai media. Ada yang menulis 'auktor intelektualis', tetapi tidak sedikit yang lebih suka menulis aktor intelektual.
Tulisan ini tidak berpretensi untuk memberikan jawaban definitif terkait penggunaan dua versi ungkapan yang menimbulkan polemik itu. Saya hanya berusaha membeberkan pengertian itu secara netral dan coba menjelaskan mengapa istileh yang netral itu mengalami pergeseran arti dalam sejarah politik bangsa kita.
Uraian ini diawali dengan sebuah contoh penggunaan istilah itu oleh para pekerja pers lokal yang meliput secara intensif perkembangan kasus Kerangan yang melibatkan mantan bupati Manggarai Barat (Mabar), Agustinus Ch. Dulla (ACD). Sidang pra-peradilan yang diajukan ACD terkait dugaan korupsi jual beli aset Pemda di Kerangan, Kelurahan Labuan Bajo yang digelar dua tahun lalu 'memunculkan' kasus baru. Dua orang yang dihadirkan sebagai saksi dalam persidangan itu (HF dan ZD) diduga memberikan keterangan yang tidak benar (palsu) sehingga harus ditahan dan diperiksa lebih lanjut oleh pihak penegak.
Hasil pemeriksaan atau investigasi penegak menunjukkan bahwa ada semacam 'dalang' di balik pemberian keterangan palsu itu. Setelah ditelusuri, dugaan itu mengarah ke AA yang tidak lain sebagai pengacara dari ACD sendiri. Seperti yang diberitakan oleh sejumlah media on line, AA akhirnya dipanggil dan ditetapkan sebagai 'tersangka'. AA diduga sebagai 'auktor intelektualis (aktor intlektual) dalam tindak pidana pemberian keterangan palsu itu. Kandungan pengertian frase 'auktor intelektualis' yang kerap dinilai negatif, menjadi fokus tilikan ini.
Bentuk penulisan frase 'auktor intelektualis' agaknya kurang populer dalam dunia berita dan tradisi postingan di media sosial. Tetapi, dalam langgam penulisan ilmiah di jurnal, buku teks, dan media mainstream bentuk penulisan seperti ini yang dipakai ketimbang 'aktor intelektual'.
Baca: Surat Cinta, Olah Rasa, dan Budaya Menulis
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, setidaknya yang versi daring, memang kita tidak menemukan arti dari ungkapan 'auktor intelektualis'. Kita hanya menemukan pengertian dari ungkapan 'aktor intelektual' yang berarti otak berbagai tindakan deviatif seperti kerusuhan, pembakaran, pembunuhan, dll.
Padahal, jika term kompositip itu dibedah per kata, tidak terdapat nuansa negatif seperti ketika keduanya digabungkan. Kata aktor memiliki dua pengertian. Pertama, pria yang berperan sebagai pelaku dalam pementasan cerita, drama, dan sebagainya di panggung, radio, televisi, atau film. Kedua, orang yang berperan dalam suatu kejadian penting.
Sedangkan kata intelektual memiliki sekurang-kurangnya tiga pengertian. Pertama, intelektual berarti cerdas, berakal, dan berpikiran jernih berdasarkan ilmu pengetahuan. Kedua, intelektual berarti mempunyai kecerdasan tinggi; cendekiawan. Ketiga, kata itu juga berarti totalitas pengertian atau kesadaran, terutama yang menyangkut pemikiran dan pemahaman. Jadi, secara terpisah, baik aktor maupun intelektual memiliki makna yang netral.
Pertanyaannya adalah mengapa ketika kedua kata itu digabungkan mengandung pengertian yang negatif? Apakah pantas seseorang yang dijuluki sebagai 'aktor intelektual' mendapat stigma sebagai pribadi yang jahat? Bukankah kita sangat menghargai dan menjunjung tinggi kiprah dari para intelektual? Ketika seseorang dituduh sebagai 'dalang sebuah aksi pidana', masih relevankah predikat intelektual melekat pada tubuhnya?
Konotasi negatif yang dibebankan kepada frase auktor intelektualis' itu' kian problematis ketika kita melacak definisinya secara etimologis. Term aktor intelektual dalam bahasa Latin adalah actor intellectualis. Namun, menurut K. Bertens, dalam bahasa Latin actor intellectualis tidak digunakan. Yang lazim dipakai adalah auctor intellectualis. Kata auctor berasal dari kata Latin augere, yang mempunyai banyak arti, antara lain meningkatkan, memperbesar, dan menumbuhkan. Jadi, arti auctor adalah orang yang menumbuhkan, orang yang meletakkan dasar, perintis, pencipta, pengarang. Auctor merupakan asal-usul untuk kata Inggris author yang berarti pengarang atau penulis.
Auctor intellectualis inilah yang, menurut Bertens, berarti pencetus ide, orang yang untuk pertama kali mengemukakan suatu pikiran atau rencana, otak atau brain di balik suatu peristiwa. Jelas bahwa maknanya tidak selalu negatif. Belakangan sejumlah media memperkenalkan bentuk adaptasi auctor intellectualis, yaitu auktor intelektualis. Namun, rupanya adaptasi seperti itu kurang familiar. Umumnya publik cenderung menggunakan bentuk aktor intelektual ketimbang auktor intelektualis (Kompas, 1 Mei 2000).
Kita tidak tahu pasti soal pergeseran makna dari ungkapan itu dalam ranah politik Indonesia. Sebagai sebuah hipotesis, istilah itu agaknya sangat kuat 'dibengkokkan' oleh rezim Orde baru (Orba), terutama menjelang kejatuhan Soeharto. Untuk melanggengkan kekuasaannya, Soeharto dan rezim Orde Barunya kerap menuding bahwa kerusuhan, unjuk rasa, atau kejadian-kejadian lain yang tidak terpuji digerakkan oleh aktor intelektual. Bagi penguasa Orba itu, aktor intelektual merupakan antagonis sehingga harus ditangkap dan diseret ke pengadilan.
Selain istilah auktor intelektualis, rezim Orba juga memproduksi diksi yang 'sangar' untuk orang atau kelompok yang memicu kerusuhan atau berniat melawan pemerintah. Sebut saja di antaranya oknum, provokator, pihak ketiga, dan tangan jahat. Mereka dituduh melakukan tindakan makar, subversif, anti pembangunan dan anti Pancasila. Semua bentuk aksi protes itu tentu disutradarai oleh seoarang 'auktor intelektualis'.
Karena itu, boleh jadi definisi aktor intelektual menurut KBBI yang negatif menunjukkan adanya pengaruh kuat rezim Orba terhadap KBBI. Mengapa tidak misalnya aktor intelektual juga bermakna orang yang berinisiatif melakukan gerakan positif? Aktor berasal dari kata bahasa Latin agere, yang berarti berbuat, melakukan hal yang konstruktif.
Baca: Seni Berbicara
Dari penjelasan di atas, bisa disimpulkan bahwa sebenarnya istilah auktor intelektualis itu bersifat netral bahkan berkonotasi sangat positif. Namun, kuatnya pengaruh politik dalam bidang kebahasaan menyebabkan ungkapan itu 'ditafsir' sesuai dengan kepentingan politik penguasa. Ungkapan auktor intelektualis tidak selalu bermakna negatif seperti yang tersirat dalam kamus maupun yang secara eksplisit diperbincangkan dalam pelbagai forum diskursus publik.
Kata auktor dan intelektualis dalam dirinya sendiri (in se) bersifat positif. Pun ketika kedua kata itu digabungkan menjadi auktor intelektualis tidak melulu mengarah kepada para pelaku kejahatan.
Oleh: Sil Joni*
*Penulis adalah warga Mabar. Tinggal di Watu Langkas.