Idealisme Orang Muda "Mati" di Kandang Politik? |
Oleh: Sil Joni*
Ketika berada di luar ‘gelanggang politik’, orang muda, termasuk saya, biasanya sangat vokal dan tajam dalam mengkritisi kebijakan pemerintah. Suara kritis-profetis mereka diresonansikan secara militan dan produktif dalam pelbagai kanal komunikasi publik. Mereka cukup sukses membaca secara jernih setiap isu sosial-politik dan menentukan sikap politik yang tegas, di mana dimensi kemaslahatan publik menjadi referensi primer. Narasi yang bersifat kritis terus diproduksi secara kreatif yang kadang bisa ‘mengguncang’ posisi politik para penguasa dan pemuja status quo.
Sementara itu, dalam lingkup kemasyarakatan, energi kawula muda terus dibakar dengan pelbagai julukan heroik, seperti pemuda sebagai harapan bangsa, tulang punggung negara, penentu arah pembangunan, agen perubahan dan sebagainya. Apresiasi semacam itu, tentu saja membuat motivasi dan gairah kawula muda dalam berkontribusi bagi perbaikan negeri, semakin tinggi. Potensi sebagai 'nabi politik' coba dioptimalisasi. Cita-cita luhur diusung ke ranah politik agar idealisme lekas terwujud.
Baca: Bermazmurlah dan Bernyanyilah Bagi Tuhan
Tetapi, ternyata ada diskrepansi antara idealisme dengan realisme. Apa yang ada dalam dunia ide itu, tidak selamanya mempunyai ruang untuk tumbuh dalam dunia kenyataan. Daya kritis itu seolah tumpul ketika masuk dalam kandang politik. Boleh jadi, panggung politik bukan 'tempat ideal' untuk memanifestasikan aneka ideal politik. Hampir belum ada presedennya soal kiprah 'orang muda' yang konsisten dengan idealismenya. Spirit idealisme itu menjadi layu dan pudar ketika berada dalam sistem kekuasaan yang koruptif.
Sebagian orang muda menjadi pusat pembicaraan publik ketika musim kontestasi tiba. Dengan kapasitas dan integritas diri yang mumpuni mereka masuk dalam bursa kandidasi atau diorbitkan untuk menjadi pemimpin politik. Tetapi, kebanyakan langkah mereka terhenti di tengah jalan. Meski sukses menggenggam kursi kekuasaan, mereka gagal merealisasikan idealisme politik yang terpancar terang benderang ketika berada di luar pagar kekuasaan.
Itu berarti betapa sulitnya mewujudkan idealisme orang muda itu dalam latar budaya dan sistem politik yang bercorak oligarkis dan sentralistik. Visi kepemimpinan yang ditawarkan orang muda memang terlihat indah pada tataran wacana, tetapi tak punya cukup kekuatan untuk menerapkan visi itu dalam lapangan politik praktis. Karena itu, hemat saya kita tidak perlu ‘mengkultuskan’ atau merayakan dengan gegap gempita tampilnya orang muda dalam pentas politik, sebab itu hanya ‘citra sesaat’ yang relatif tak punya tenaga untuk mengubah keadaan. Soalnya, ruang politik kita sudah didominasi oleh ‘sistem yang koruptif’.
Dengan perkataan lain, usia seorang pemimpin tidak menjadi patokan dalam mewujudkan 'cita-cita politik' yang bermartabat. Kendati demikian, upaya regenerasi dan kaderisasi pemimpin politik, tetap menjadi diskursus publik yang relevan dan urgen. Bagaimana pun juga, kapasitas kepemimpinan dari para 'penguasa yang sudah uzur', tentu mulai menurun. Sosok pemimpin yang lebih segar dan energik, perlu diberi ruang yang luas.
Kontribusi orang muda dalam memperjuangkan Mabar menjadi 'daerah otonom', tidak bisa dipandang sebelah mata. Bahkan kalau mau jujur, Mabar ini 'lahir' dari perjuangan dan pengorbanan orang-orang muada yang cerdas, progresif, dan revolutif. Saya kira, hampir semua sejarah politik di dunia ini, dirakit dan dikonstruksi oleh orang muda.
Baca: Homo Cantat
Untuk itu, tidak berlebihan jika seorang Indonesianis, Ben Anderson pernah berkata bahwa revolusi Indonesia adalah “revolusi pemuda”. Para pemuda, katanya, selalu memiliki andil dalam konstelasi dan perubahan politik negeri ini. Hal ini dibuktikan dalam catatan sejarah, di mana tak ada peristiwa politik penting di negeri ini yang tak melibatkan peran kaum muda. Mulai dari pembentukan Budi Utomo 1908, Sumpah Pemuda 1928, Revolusi Agustus 1945, dan peristiwa Reformasi 1998.
Masih segar dalam pita memori kolektif publik perihal kiprah kawula muda dalam menumbangkan rezim otoritarian Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto. Para pemuda tentu saja berada pada garda terdepan dalam peristiwa pengunduran diri Soeharto sebagai presiden. Artinya konsep pemuda selalu identik dengan perubahan, kebaruan dan kemajuan. Dengan itu, 'muda' bukan lagi sebuah konsep yang hanya terbatas pada kategori “umur”, namun lebih sebagai sebuah konsep yang bertaut dengan “sikap” dan “mentalitas”.
Namun, sikap dan mentalitas yang progresif dari kaum muda, terbentur tembok pragmatisme politik saat ini. Ruang politik kita didominasi oleh kekuatan uang. Watak politik yang transaksional menyebabkan 'idealisme orang mudah' sulit mendapat tempat.
Berbicara tentang politik saat ini, yang hadir di benak kita ialah mengalirnya segelontor dana dalam upaya merebut kursi kekuasaan. Efeknya adalah kekuasaan dijadikan sarana untuk merebut sumber daya demi memenuhi interes politik personal. Perilaku politik yang pragmatis dan oportunis diperlihatkan secara vulgar. Idealisme hanya sebagai lip service untuk meraih simpati publik.
Ketamakan dirayakan dengan antusias. Praktek jual beli kekuasaan menjadi ritual tahunan. Kreativitas iblis menjadi semakin subur. Demokrasi menjadi semacam “pasar loak” di mana transaksi dan pertukaran antara uang, kekuasaan serta jabatan menjadi kebiasaan yang wajar.
Pertanyaan kritisnya adalah apakah politik gagasan yang diusung oleh figur muda, mempunyai pengaruh yang signifikan dalam mengubah latar budaya politik transaksional dan pragmatis? Seberapa efektif 'politik konsep' berperan sebagai 'budaya politik tandingan'? Bukankah idealisme kerap termarginalisasi dan menjadi isu yang kurang seksi dalam lanskap perpolitikan di kekinian? Lalu, apa artinya kita mewacanakan dan membanggakan sosok pemimpin yang relatif muda dari sisi usia?
Baca: "Budaya Komentar" Vs Budaya Literasi
Boleh jadi, sisi masih ada tokoh muda yang konsiten bersikap kritis ketika berkiprah dalam ruang kekuasaan. Hanya saja, suara kritis mereka tidak didengar. Mereka dianggap manusia sinting yang 'tidak ikut arus' dalam mengais rezeki instan dalam lapangan politik. Tetapi, orang muda potensial itu, tak punya power politik yang optimal untuk menghadirkan spirit perubahan dalam politik. Akibatnya adalah muncul kesan bahwa idealisme politik mereka kerdil atau mandul. Padahal, potensi kritis mereka 'sengaja dimatikan' agar mayoritas yang bermukim dalam kawasan kekuasaan, bisa dengan leluasa menerapkan skenario mengakumulasi kapital demi merebut dan mempertahankan kekuasaan itu sendiri.
*Penulis adalah warga Mabar. Tinggal di Watu Langkas.