Ketika "Lurah" Bersanding dengan 'Politisi' |
Oleh: Sil Joni*
Relasi politik antara 'pemerintah (eksekutor) dengan politisi, idealnya bersifat kolaboratif dan sinergis. Mereka mesti bermitra untuk 'mengurus' kepentingan publik. Namun, dalam prakteknya, tidak seindah langit idealisme itu.
Komunikasi dan interaksi politik antara keduanya kadang bercorak antagonistik. Hal itu bisa dimaklumi sebab tugas dan fungsi mereka memang berbeda. Selain itu, kepentingan yang dikejar pun berbeda. Realitas perbedaan ini, jika tidak dimediasi dengan bijak, maka bisa menimbulkan konflik.
Baca: KLC, Bagaimana Kabar?
Karena itu, ketika eksekutor seperti 'lurah' dan politisi bersanding di satu meja, maka boleh jadi itu sebuah 'sinyal' bahwa relasi mereka sedang baik-baik saja. Dengan perkataan lain, jurang perbedaan kepentingan antara keduanya, relatif teratasi dengan baik. Spirit kolaboratif dalam 'menata kebaikan publik' dijalani secara produktif.
Tetapi, 'kedekatan' itu juga bisa dibaca sebagai upaya untuk menyatukan energi politik dalam meraih kursi kekuasaan. Bukan rahasia lagi bahwa dalam setiap episode kontestasi, eksekutor dan politisi berada dalam 'satu perahu' untuk berlayar menuju pantai kekuasaan itu. Kita mengenal istilah duet birokrat-politisi. Pasangan calon (Paslon) dalam merebut tiket kuasa itu, umumnya kombinasi antara dua 'jabatan prestisius' itu.
Posisi dalam 'duet' itu bersifat bebas, tergantung kesepakatan. Ada paslon yang posisi kandidat bupatinya birokrat dan wakilnya politisi. Pun sebaliknya, ada juga yang posisi calon bupati, berasal dari politisi. Paslon Edi-Weng yang sekarang menjadi bupati dan wakil bupati Manggarai Barat (Mabar) menjadi salah satu contohnya.
Kita tahu bahwa Edistasius Endi merupakan salah satu 'politisi jempolan' di level lokal. Beliau pernah menjadi anggota DPRD Mabar selama empat periode. Bahkan pada periode terakhir, sebelum dirinya maju dalam kandidasi bupati, pernah menjadi 'Ketua DPRD' Mabar. Selain itu, bupati Edi juga merupakan Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) partai Nasdem di Mabar.
Sedangkan Yulianus Weng adalah seorang 'birokrat tulen' yang sudah malang melintang di dunia pemerintahan. Beliau pernah mengabdi di Sumba dan Kabupaten Manggarai sebagai 'tenaga medis' yang sangat profesional dan kompeten. Jabatan terakhir yang disandangnya adalah Kepala Dinas Kabupaten Manggarai.
Baca: Idealisme Orang Muda "Mati" di Kandang Politik?
Kembali ke topik utama tulisan ini. Kemarin, Minggu, (16/10/2022) saya mengikuti acara syukuran penerimaan Komuni Pertama dari anak Patricia Angelica Welarana Mans, putri sulung dari classmate saya, pak Alfons Sastrimans di kampung Tebedo. Tenda pesta terlihat cukup ramai dan semarak.
Begitu tiba di pintu tenda, dari depan panggung, Rm. Ferdinandus Usman, Pr, pastor paroki Wangkung yang juga 'teman kelas' saya, langsung mengucapkan salam selamat kepada saya. Kebetulan waktu itu, dirinya hendak mendendangkan sebuah 'tembang manis' untuk menghibur yubilaris dan semua undangan.
Tak lama kemudian, pak Stanis Stan, ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Perindo Mabar dan mantan aktivis partai Golkar, datang juga di tenda itu. Beliau ditemani oleh pak Hendrikus Hardi dan Agustinus Albu.
Sebuah pemandangan dan 'suasana langka' pun terjadi. Pak Stanis bersanding akrab dengan pak Markus Randu, yang dikenal luas sebagai 'lurah' untuk kelurahan Wae Kelambu. Perbincangan yang beraroma politis mengalir secara spontan dalam tenda pesta itu.
Saya dan Rm. Ferdi sesekali merespons pembicaraan mereka. Kehadiran pastor dalam momen itu, seolah hendak 'menaburkan berkat' agar rencana politik dari dua sosok itu lekas terlaksana. Sedangkan saya, yang lebih sering tampil sebagai 'nabi politik' seakan-akan meniupkan rambu-rambu etis yang mesti dipatuhi oleh keduanya dalam 'mengejar impian politis bersama' tersebut.
Pertanyaannya adalah apakah politisi Stanis Stan dan birokrat Markus Randu memiliki semacam 'chemistry politik' untuk berada dalam perahu yang sama dalam kontestasi politik 2024? Saya kira pertanyaan itu masih terlalu pagi. Tentu tidak ada jawaban pasti. Semuanya bersifat kemungkinan belaka.
Baca: "Mabar Bangkit" Terhadang Krisis Panjang
Satu yang pasti bahwa perjumpaan antara politisi dan birokrat, selalu menghadirkan percakapan politik yang renyah. Sudah sepatutnya komunikasi politik itu berlangsung dalam suasana yang akrab, santai, dan rileks. Politik tak melulu soal 'pertarungan' merebut kuasa, tetapi juga 'seni memperbincangkan' kepentingan bersama dan terutama seni memungkinkan terwujudnya proyek kesejahteraan publik.
*Penulis adalah warga Mabar. Tinggal di Watu Langkas.