Labuan Bajo, Kota Literasi? |
Oleh: Sil Joni*
Pada Minggu malam, (9/10/2022), sebuah diskusi publik bertajuk 'Malam Literasi', digelar di Raes Cafe, Bumdes milik Desa Gorontalo Labuan Bajo. Salah satu isu yang diperbincangkan adalah upaya peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang memenuhi standar permintaan pasar pariwisata super premium.
Dua hari sebelum diskusi itu dihelat, pihak penyelenggara menghubungi saya terkait kesediaan menjadi salah satu 'narasumber' dalam acara itu. Sayang, dengan terpaksa saya tidak bisa memenuhi tawaran itu karena tubuh kurang fit. Padahal, tema diskusi itu sangat menarik untuk dibedah.
Baca: Merintis Komunitas Praktisi di SMK Stella Maris
Kendati raga tak ada di tempat acara, tetapi 'pikiran' saya sebetulnya 'hadir' dalam ruang itu. Saya coba 'berkontemplasi' secara khusuk perihal relasi dialektis antara pariwisata dan literasi. Pertanyaan kritisnya adalah apakah dua entitas ini (pariwisata dan literasi) bisa diintegrasikan untuk dikembangkan menjadi sebuah 'peradaban baru' yang melampaui peradaban pariwisata super premium? Apakah literasi bisa diandalkan untuk mendongkrak mutu SDM masyarakat lokal dalam memenuhi permintaan pasar pariwisata saat ini? Bagaimana upaya konkret terutama pada level pengambilan kebijakan publik untuk menghidupkan kultur literasi di Labuan Bajo? Apakah Labuan Bajo punya potensi untuk menjadi 'kota literasi'?
Labuan Bajo dan sekitarnya sudah ditetapkan oleh pemerintah Indonesia sebagai salah satu destinasi super prioritas yang berkelas super premium. Sebagai destinasi yang diproyeksikan sebagai 'the new Bali', pemerintah Pusat (Pempus) menggelontorkan dana yang fantastis untuk menata kota dan beberapa spot wisata favorit di sini. Pembangunan infrastruktur fisik untuk menopang aktivitas industri turisme begitu massif dalam beberapa tahun terakhir. Hasilnya adalah Labuan Bajo terlihat semakin cantik dan sedap dipandang.
Tidak hanya itu, untuk mengakselerasi kemajuan pembangunan pariwisata itu, Pempus merasa perlu untuk 'membentuk badan khusus' dalam menerjemahkan dan mengeksekusi setiap agenda politik terkait pengelolaan aset wisata di Labuan Bajo. Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo Flores (BPOLBF) dianggap sebagai semacam 'mesias pariwisata' yang akan menyelamatkan warga dari kubangan kemiskinan dan keterbelakangan.
Baca: Guru Penggerak (Literasi)
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) melalui BPOLBF terus mendesain dan mengeksekusi 'master plan' pembangunan pariwisata di kota ini. Pelbagai kriteria dan standar untuk masuk dalam arena 'pariwisata' itu digodok dan diberlakukan secara ketat. Satu yang paling menonjol adalah mereka yang boleh masuk dalam pasar pariwisata harus ditopang dengan mutu SDM yang baik. Penduduk lokal mesti menguasai dan memiliki keterampilan dan ilmu yang sesuai dengan standar pariwisata super-premium.
Sayangnya, mayoritas warga lokal, belum bisa memenuhi kualifikasi yang dimaksud. Efeknya adalah pasar pariwisata lebih banyak 'dikuasai' oleh orang dari daerah lain. Warga lokal relatif 'kalah berkompetisi' dengan 'orang luar' yang memang secara SDM sudah tidak diragukan lagi.
Baik Pempus maupun pemerintah daerah (Pemda) belum menjadikan pembangunan SDM sebagai 'isu politik' yang strategis dan prioritas. Energi politik pemerintah lebih banyak dihabiskan untuk menuntaskan proses pembangunan infrastruktur fisik. Pembangunan yang terlalu terfokus pada unsur fisik menyebabkan kualitas SDM kita tidak mengalami perubahan yang signifikan.
Benar bahwa Labuan Bajo merupakan 'kota wisata' bertaraf internasional. Tetapi, apa arti status 'kota wisata super premium' jika kebanyakan warganya 'kalah bersaing' untuk mengambil untung dalam pasar pariwisata itu? Jalan apa yang mesti ditempuh agar SDM warga lokal 'lekas terdongkrak' agar setidaknya tidak lagi menjadi penonton pasif di tengah gemuruh aktivitas industri jasa wisata di sini?
Hemat saya, jalan menuju arah itu adalah literasi. Namun, Labuan Bajo sepertinya bukan 'habitat yang subur' bagi tumbuhnya budaya literasi itu. Rasanya kota ini belum layak untuk dicanangkan sebagai 'kota literasi'. Budaya membaca dan menulis tidak menjadi fokus atensi pemerintah dan warganya.
Kondisi literasi di kota ini sangat 'mengenaskan'. Untuk menjustifikasi kesimpulan ini, kita bisa cek secara langsung kenyataan di lapangan. Taman Bacaan Masyarakat (TBM) dan Perpustakaan, bisa dihitung dengan jari. TBM dan perpustakaan yang ada pun, tidak digunakan dengan baik. Pengunjung atau peminatnya tidak terlalu banyak.
Selain itu, saya belum melihat dan mengetahui secara pasti keberadaan komunitas yang punya atensi khusus terhadap 'budaya literasi'. Aktivitas menulis buku dan acara 'bedah buku', tidak terdengar. Demikian juga dengan pelatihan menulis baik kategori fiksi maupun non-fiksi, tidak terlihat. Komunitas sastra juga tidak ada. Tegasnya, dari sisi literasi, tidak ada yang perlu dibanggakan dari Labuan Bajo.
Ketika mayoritas warga 'tak berani' untuk menelusuri 'jalan sunyi literasi' itu, maka ideal untuk meningkatkan kualitas SDM semakin sulit terwujud. Dengan demikian, kita akan selalu menjadi 'orang kalah'. Kita 'tersingkir' dari peta persaingan dalam pasar pariwisata yang kian mengglobal saat ini.
Karena itu, sebagai sebuah 'idealisme', seruan untuk kembali 'pulang' ke jalur literasi, menjadi relevan dan urgen di kota Labuan Bajo. Antara pariwisata dan literasi mesti sejalan dan saling menopang. Pariwisata tanpa literasi itu, pasti mandul. Sebaliknyam literasi tanpa pariwisata, tak berjejak di bumi alias hidup dalam dunia mimpi. Untuk itu, kita perlu mengembangkan sebuah peradaban baru, yang merupakan hasil sintesis kreatif antara spirit literasi dengan aktivitas industri turisme.
Baca: Terampil Menulis Saja Tidak Cukup
Dengan demikian, Labuan Bajo tidak saja menjadi episentrum peradaban pariwisata, tetapi juga peradaban literasi. Bila kekuatan pariwisata dipadukan dengan kekuatan literasi, maka akan muncul peradaban baru yang disebut peradaban litera-wisata. Gradasi atau tingkatan dan harga tawar peradaban litera-wisata itu jauh lebih tinggi dari wisata premium.
Menurut dia, tidak ada artinya wisata premium bila tidak didukung oleh narasi-narasi tertulis mengenai potensi alam dan budaya di Mabar ini. Bila ditumbuhkembangkan dengan baik, narasi-narasi ini dapat menjadi dasar gerakan litera-wisata, yang nantinya bisa menjadi ikon berharga bagi Labuan Bajo, yang mungkin tidak ada pada daerah lain di NTT ini, termasuk Manggarai dan Manggarai Timur.
Saya berpikir, konsep peradaban ‘litera-wisata’ ini bisa menjadi salah satu suplemen untuk mendongkrak popularitas sektor kepariwisataan kita. Dengan itu, pariwisata Labuan Bajo tidak hanya bertumpu pada keindahan obyek empiris, tetapi juga dari roh keunikan yang bersemayam dalam setiap narasi dari obyek yang tampak itu. Artinya, kita tidak semata-mata menjual ‘ produk fisik’, tetapi juga produk rohani yang terpancar dalam setiap kisah yang dinarasikan secara apik itu.
Peradaban litera-wisata ini, tentu sangat penting arti dan posisinya dalam mempromosikan aset wisata kepada para calon konsumen. Boleh jadi, para wisatawan potensial akan lebih tertarik dan begitu terpukau dengan ‘daya magis narasi’ ketimbang obyek wisata in se. Mungkin secara faktis, produk itu terlihat biasa-biasa saja. Tetapi, produk yang sama bisa menjadi begitu istimewa ketika calon wisatawan ‘mengunyah’ realitas tekstual yang kita kreasikan secara atraktif.
*Penulis adalah warga Desa Nggorang. Tinggal di Watu Langkas.