Remaja dan Perilaku Agresif (Catatan Kritis Kasus Water Front) |
Oleh: Servasius S. Ketua*
Tragedi Water front city beberapa waktu lalu menggugah rasa kemanusiaan publik. Banyak pihak mengecam dan mengutuk tindakan anarkis sekelompok orang yang tega melakukan kekerasan yang menyebabkan kematian bagi orang lain.
Ini adalah duka masyarakat Labuan Bajo, masyarakat Manggarai Barat, dan duka bagi kemanusiaan. Semoga ini menjadi tragedi yang terakhir.
Baca: Tergantung Pada Perut
Hingga saat ini, Polres Mabar telah menetapkan 5 orang menjadi tersangka. Ke-5 tersangka kasus pengeroyokan Pedagang Cilok di Waterfront Marina, Labuan Bajo yang menyebabkan korban MJ (29) meninggal dunia ini adalah F (20), MGA (20), AR (22), F (21) dan A (20). Atas perbuatan itu, para tersangka dijerat Pasal 170 ayat (2) ke 3 KUHP dengan ancaman pidana 12 tahun penjara.
Publik mengapresiasi langkah cepat penegak hukum. Namun selain pendekatan hukum, ada hal menarik yang perlu menjadi perhatian serius publik dari "tragedi Water front City-Labuan Bajo", yakni kelima pelaku tersebut berusia antara 18 s.d 22 tahun, rentang usia yang menurut WHO masuk kategori remaja!
Ada apa dengan remaja kita saat ini? Mengapa anak-anak berusia remaja berani melakukan aksi kekerasan (pembunuhan)? Mengapa remaja kita berani melakukan kekerasan secara terbuka di tempat publik? Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang tentu akan muncul dalam benak.
Aksi kekerasan bahkan kriminalitas merupakan fenomena sosial yang bisa saja terjadi pada siapa saja, pada semua lapisan masyarakat, kapanpun dan di manapun, termasuk anak muda/remaja (kelompok remaja).
Remaja adalah kelompok usia rentan, karena berada pada masa peralihan ini, ada banyak perubahan yang terjadi, mulai dari perubahan fisik, kognitif, emosional maupun psikologis. Pada masa ini, mereka mulai melakukan interaksi secara bebas dan mandiri dengan orang, lingkungan dan dunia luar.
Mereka mulai dipertemukan dengan situasi baru, nilai-nilai baru, yang menuntut kesiapan yang seimbang dari dalam diri mereka. Jika tidak maka, akan terjadi ketidakseimbangan dan gejolak yang bisa berdampak pada kebingungan bahkan membuat mereka hanyut terbawa arus pengaruh.
Baca: Idealisme Orang Muda "Mati" di Kandang Politik?
Hal ini menjadi alasan mengapa masa remaja juga disebut sebagai "masa kritis", karena jika mereka mampu merespon pengaruh secara tepat, maka mereka akan siap memasuki masa selanjutnya, yakni masa dewasa. Namun jika tidak, maka yang terjadi akan sebaliknya, jika tidak berhasil, mereka akan terhanyut, bahkan memunculkan perilaku-perilaku negatif yang menyimpang, baik secara tertutup, maupun secara terbuka.
Aksi menyimpang (kekerasan fisik) yang dilakukan sekelompok remaja tersebut di fasilitas publik dan terbuka (arena water front city- Labuan Bajo), menunjukan perilaku agresif dan berani yang mereka lakukan.
Remaja-remaja itu tidak segan-segan mempertontonkan aksi kekerasan. Mereka secara berani dan terbuka menunjukan aksi negatif tersebut di sekitar lingkungan tempat tinggal, dan di fasilitas publik. Ini adalah perilaku kekerasan yang sudah berada pada level yang lebih tinggi.
Perilaku kekerasan yang dilakukan para remaja sungguh mengusik nurani. Ada kecemasan dan rasa takut, tapi kita tidak boleh merasa tidak berdaya. Kita harus optimistis agar remaja-remaja kita tetap dalam jalur dan rel yang tepat.
Perlu keterlibatan semua pihak, mulai dari keluarga, lingkungan sosial dan pemerintah, agar anak-anak kita dapat melewati masa remaja dengan hal--hal positif, sehingga terhindar dari perilaku menyimpang.
*Keluarga*
Keluarga berperan penting dalam membentuk karakter seseorang. Keluarga sebagai tempat belajar (pendidikan) pertama dan utama. Lingkungan keluarga adalah tempat pertama belajar bersosialisasi. Keluarga harus menjadi lingkungan yang sehat, aman dan nyaman sebagai tempat menanamkan nilai-nilai sosial, budaya, moral dan cinta kasih. Lingkungan keluarga harus selalu munculkan perilaku positif, sehingga menjadi teladan bagi anak-anak.
*Lingkungan sosial dan budaya*
Masa remaja adalah masa 'pencarian jati diri', dan lingkungan sosial (di luar keluarga) adalah tempat yang lebih luas bagi mereka sebagai ajang pembuktian. Dalam masa pencarian inilah, mereka rentan terpengaruh. Oleh karenanya, perlu ada kontrol sosial, lingkungan dan masyarakat sekitar.
Masyarakat dengan kontrol sosial dan budaya yang kuat, tentu akan menjadi media pengawasan yang efektif bagi perilaku remaja. Masyarakat juga harus tetap menjaga kondisi sosial yang sehat, nyaman dan berbudaya.
Lingkungan harus bisa menjadi "keluarga kedua" bagi remaja. Lingkungan dengan iklim yang positif bagi remaja dapat dilakukan dengan banyak cara, misalnya dengan mengadakan kegiatan-kegiatan sosial, kegiatan-kegiatan kepemudaan (karang taruna), kegiatan keagamaan dan kegiatan kebudayaan, sehingga konsentrasi mereka dapat diarahkan pada hal-hal positif.
*Pemerintah*
Pemerintah memiliki peran penting pada perilaku remaja dan menjamin rasa aman bagi masyarakat.. Untuk mengontrol perilaku remaja, kehadiran pemerintah sangat dibutuhkan, karena peran keluarga dan lingkungan (masyarakat) dirasa belum cukup.
Baca: Bermazmurlah dan Bernyanyilah Bagi Tuhan
Ada banyak intervensi yang dapat dilakukan pemerintah, salah satunya pada sektor pendidikan. Pendidikan merupakan faktor yang cukup berpengaruh pada perilaku remaja. Oleh karenanya, perlu perhatian khusus agar anak-anak dan remaja mendapatkan hak akan pendidikan yang layak dan tuntas, melalui beasiswa, pendidikan gratis, pelatihan, pemberdayaan, dan pendampingan. Contoh lain adalah pemerintah dapat mencegah perilaku negatif remaja dengan menyiapkan tempat yang cukup bagi remaja untuk menyalurkan bakat dan hobi.
Intervensi-intervensi pemerintah ini dilakukan dalam rangka memperkuat dan menopang peran keluarga dan Lingkungan sosial.
Perilaku menyimpang remaja tentu berdampak bagi ketenteraman masyarakat (rasa aman). Oleh karena itu, pemerintah juga memiliki peran dalam menjamin rasa aman bagi masyarakat.
Untuk konteks tragedi Water Front City -labuan Bajo, perilaku kekerasan tersebut harus disikapi secara serius oleh pemerintah Kabupaten Manggarai Barat. Selain faktor tersebut di atas, rasa aman adalah faktor kunci menjaga citra Labuan Bajo sebagai destinasi pariwisata.
Labuan Bajo harus menjadi tempat nyaman dan aman bagi semua orang. Pemda Mabar smestinya segera hadir secara nyata merespon kejadian ini, walaupun arena water front city bukanlah aset Pemda Mabar.
*Penulis adalah pemerhati masalah sosial. Tinggal di Labuan Bajo.