Skripsi, Sarjana, dan Keterampilan Menulis |
Oleh: Sil Joni*
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), skripsi adalah karangan ilmiah yang wajib ditulis oleh mahasiswa (strata satu) sebagai bagian dari persyaratan akhir pendidikan akademisnya. Semua calon sarjana strata satu (S1) pasti 'berhadapan' dengan tugas akademik ini.
Baca: Labuan Bajo, Kota Literasi?
Sebenarnya, penulisan skripsi itu lebih dari sekadar 'memenuhi' persyaratan dan tuntutan akademik semata. Setidaknya, skripsi itu bertujuan agar mahasiswa mampu menyusun dan menulis suatu karya ilmiah sesuai dengan bidang ilmunya. Mahasiswa yang mampu menulis skripsi dianggap mampu memadukan pengetahuan dan keterampilannya dalam memahami, menganalisis, menggambarkan, dan menjelaskan masalah yang berhubungan dengan bidang keilmuan yang digelutinya.
Itu berarti ketika seorang mahasiswa dinyatakan 'lulus' dalam mempertanggungjawabkan 'skripsi', maka itu sebuah afirmasi bahwa mahasiswa itu sudah memiliki keterampilan menulis yang memadai. Dengan itu, seorang mahasiswa sangat pantas menyandang 'gelar sarjana' S1.
Para calon sarjana 'dibentuk' dalam sebuah ekosistem pendidikan yang menjunjung tinggi penerapan 'budaya ilmiah'. Selain menulis paper, laporan, makalah dan tugas akademik lainnya, mereka juga harus menyusun sebuah ‘karya tulis ilmiah raksasa' yang lazim disebut Skripsi. Suka tidak suka, jika ingin meraih gelar sarjana untuk ‘strata satu (S1), seorang mahasiswa/i tingkat akhir, mesti merampungkan jenis tulisan ilmiah itu sesuai batas waktu yang ditentukan oleh pihak kampus.
Jika skripsi dilihat sebagai 'tanda' seorang calon sarjana terampil dalam menulis, maka seharusnya 'kultur literasi' bertumbuh subur di tengah masyarakat. Setidaknya, para sarjana itu bisa memberikan teladan dan spirit bagaimana menghidupkan kultur baca-tulis itu. Para guru yang mengabdi di lembaga pendidikan, pasti tidak mengalami kendala yang berarti dalam menyebarkan virus literasi kepada peserta didik.
Idealnya, para mahasiswa semester akhir tidak mengalami banyak kendala teknis dan substantif dalam menggodok skripsi. Mengapa? Mereka sudah dibekali dengan seperangkat ilmu, metodologi, dan latihan yang cukup untuk menuangkan ide secara sistematis dalam sebuah tulisan. Hampir setiap hari mereka berurusan dengan ‘latihan menulis’ melalui berbagai tugas akademik yang diberikan oleh para dosen. Dunia menulis, praktisnya bukan ‘barang asing’ bagi seorang calon sarjana.
Baca: Merintis Komunitas Praktisi di SMK Stella Maris
Selain itu, pihak kampus tetap ‘bermurah hati’ di mana proses penggarapan tulisan itu dibantu atau dibimbing oleh seorang dosen yang berkompeten dalam isu yang dikaji. Dengan itu, seorang penulis skripsi tidak ‘sesuka hati’ membangun argumentasi dan memformat hal teknis-metodologis pada tubuh tulisan itu. Tegasnya, proses pengerjaan itu berjalan dalam kerangka dan koridor aturan yang berlaku dalam sebuah komunitas ilmiah (Perguruan Tinggi).
Dengan demikian, maka asumsinya adalah para calon sarjana punya ‘kapasitas/potensi’ dalam menyelesaikan salah satu persyaratan akhir untuk meraih gelar sarjana itu. Tentu, tidak salah jika ada penilaian bahwa para sarjana adalah kelompok intelektual yang bisa menulis secara sistematis dan berbobot. Dasarnya adalah mereka sudah teruji dan diuji dalam proses penggarapan skripsi yang bermutu. Tidak ada cerita bahwa para sarjana kita menderita simpton ‘kurang percaya diri’ ketika diberi tantangan untuk menuangkan pikiran dalam bentuk tulisan.
Namun, faktanya masih banyak sarjana yang ‘gagap’ dalam membuat tulisan baik yang bersifat ilmiah maupun bergaya populer, fiksi atau non-fiksi. Pertanyaannya adalah apakah ‘skripsi’ itu dilihat sebagai ‘parameter’ untuk mengukur kemampuan sarjana dalam menulis? Apakah ada korelasi antara ‘lulus ujian skripsi’ dengan peningkatan keterampilan menulis dari seorang sarjana?
Saya berpikir, kita mesti ‘menguji kembali’ anggapan bahwa skripsi merupakan indikator mutu analisis seorang sarjana terhadap sebuah isu yang tertuang dalam bentuk tulisan. Mengerjakan ‘Skripsi” boleh jadi hanya karena ‘keterdesakan’, tidak ada alternatif lain, bukan karena memiliki kapasitas yang memadai dalam menulis. Dengan rumusan lain, skripsi itu merupakan ‘kewajiban akademik’ yang mesti dipenuhi, bukan sebagai sarana untuk meningkatkan ‘kualitas berliterasi’.
Kita sering mendengar atau membaca berita tentang isu plagiarisme (penjiplakan) karya ilmiah di kalangan mahasiswa dan para staf pengajar. Mental cari gampang (easy going, instan, menerabas) sudah menjalar di dunia kampus. Sarjana yang ‘tidak bisa menulis”, patut diduga bahwa selama mengikuti proses perkuliahan, dirinya mengidap virus pencurian karya orang lain.
Disinyalir bahwa biro penulisan karya ilmiah seperti skripsi, tesis, dan disertasi sudah beroperasi di beberapa kota besar di Indonesia. Tentu, ini sebuah lonceng kematian bagi pengembangan dan penghayatan ‘kultur akademik’ dalam lembaga pendidikan tinggi kita. Saya menduga, para sarjana yang ‘tidak tahu menulis’, kemungkinan menggunakan ‘jasa biro penulisan’ dalam menggarap tugas akhir seperti skripsi itu. Sebuah fakta yang membuat hati kita miris.
Baca: Guru Penggerak (Literasi)
Kita berharap agar peserta didik 'dibiasakan' oleh para gurunya untuk menerapkan kultur ilmiah secara kreatif di sekolah. Dengan itu, ketika berada di Perguruan Tinggi dan menjadi 'calon sarjana', mereka tidak menderita 'rabun menulis'. Menulis dan membaca mesti menjadi 'habitus' yang dihayati sejak dini. Cerita tentang 'sarjana' yang gagap menulis, mesti segera diakhiri.
*Penulis adalah warga Mabar. Tinggal di Watu Langkas.