Teater Brutalitas di Water Front City |
Oleh: Sil Joni*
Belum raib dari pita memori kolektif publik Mabar perihal kemeriahan event kolosal Festival Golo Koe dan Konser Suara 1000 Sasando yang digelar di Water Front, kini 'kisah tragis' tergelar juga di tempat yang menawan itu. Martinus Jeminta, seorang warga Desa Nanga Labang, Kecamatan Borong, Kabupaten Manggarai Barat, harus mengakhiri ziarah hidupnya secara tragis. Martinus diduga sebagai korban aksi brutal massa yang belakangan berjumlah 8 orang. Belum diketahui apa motif di balik peristiwa 'penganiayaan' terhadap pria yang memiliki dua anak itu.
Baca: Pariwisata yang Rentan Bencana (Politik)
Water Front, ikon baru kota wisata superpremium itu, ternyata bukan hanya panggung pentas 'seni' yang bermutu, tetapi juga sesekali bermetamorfosis menjadi tempat 'memamerkan' naluri animalitas. Dengan perkataan lain, bukan hanya 'budaya kehidupan' yang dirayakan di Water Front, tetapi juga berpotensi tempat dihelatnya 'festival budaya kematian' seperti yang terjadi pada Minggu (2/10/2022) dini hari itu.
Ini sebuah 'alarm' tegas bahwa hadirnya obyek wisata buatan yang indah, tidak menjadi garansi 'menyingkirnya' aksi kebinatangan dalam diri manusia. Mungkin bagi para pelaku pengeroyokan terhadap Martinus, Water Front merupakan 'arena' memperlihatkan sisi lain dalam hidup ini, yaitu bagaimana mengoptimalkan kekuatan 'otot' dalam membantai sesama. Ada semacam 'kepuasan sesaat' sebab telah sukses menggiring seseorang ke situasi tapal batasnya.
Tetapi, sayangnya mereka hanya 'membanggakan unsur hewani' yang memang melekat secara intrinsik dalam diri manusia. Dalam definisi klasik, manusia adalah binatang yang berakal budi. Belakangan, definisi itu dinilai terlalu reduksionistis dan esensialis. Setelah ditelaah lebih dalam, ternyata unsur pembeda antara manusia dan hewan itu, tidak hanya akal budi, tetapi juga bahasa, perasaan, hati, budaya, dan aneka fakultas mental lainnya.
Baca: "Salam Festival Golo Koe, Salam Pariwisata Holistik"
Itu berarti manusia dikatakan manusia jika dan hanya jika atribut eksistensial seperti yang disebutkan di atas, berfungsi dengan baik. Ketika para pelaku pengoroyokan Martinus di Water Front, gagal memakai nalar, hati, perasaan, dan unsur manusiawi lainnya dalam bertindak, maka persis pada titik itu, status ontologis mereka jatuh ke titik nadir, hanya sebagai 'binatang buas'.
Tentu, sangat riskan jika kota wisata super premium ini dihuni oleh sekawanan 'binatang' semacam itu. Karena itu, kita patut memberikan apresiasi kepada pihak Kepolisian Resort (Polres) Mabar yang dengan sigap membekuk dan mengamankan para pelaku. Manusia yang tidak memakai akal budi, hati, dan perasaan, pantas mendapat hukuman yang sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Water Front yang dibangun dengan uang publik itu, bukan sebagai tempat digelarnya teater brutal (dari kata brutus yang berarti binatang). Itu adalah panggung untuk mementaskan 'teater kehidupan manusia' yang penuh dengan nuansa keindahan dan kedamaian. Publik bisa sepuasnya menimba dan mengecap mata air kebahagiaan di Water Front. Jadi, itu bukan arena menghadirkan tragedi yang membuat hati kita diselimuti awan duka yang mendalam.
Untuk itu, rasanya tidak cukup bagi pihak keamanan untuk berfokus pada tindakan post factum saja. Peristiwa Minggu kelabu itu, menjadi pelajaran dan peringatan bahwa Water Front bukan tempat yang aman. Sikap antisipatif dalam bentuk 'penjagaan dan pengawasan' ekstra perlu dibuat secara rutin. Potensi terjadinya aksi kriminalitas di Water Front sebagai ruang publik terbuka, semakin besar di tengah semaraknya aktivitas industri turisme saat ini.
Baca: Mengeksplorasi 'Keindahan Labuan Bajo' Melalui 'Film Pendek'
Bukan tidak mungkin, teater kebinatangan di Water Front, menjadi 'kabar buruk' untuk dunia pariwisata. Citra Labuan Bajo sebagai 'the real paradise' sedikit tercoreng. Padahal, keamanan dan kenyamanan adalah unsur vital yang mesti dipenuhi oleh sebuah daerah tujuan wisata. Ketika sebuah destinasi 'diguncang' oleh isu ketidaknyamanan, maka besar kemungkinan ada calon wisatawan yang 'mengurungkan' niatnya berkunjung ke daerah tersebut.
Kita tidak ingin sektor pariwisata 'terganggu' oleh ulah segelintir manusia bernaluri binatang semacam itu. Pendewaan terhadap kapasitas kebinatangan menjadi 'momok' yang menakutkan. Itu berarti musuh terbesar dunia pariwisata adalah diri kita sendiri, terutama potensi animalitas yang bergerak liar, tak sanggup dipandu oleh rasio, hati dan rasa.
Berharap, teater kebinatangan ini, tidak terjadi lagi di masa mendatang. Water Front mesti 'steril' dari aksi kriminalitas. Pengunjung hanya boleh menyaksikan 'teater kehidupan' yang dipentaskan oleh manusia yang punya rasa, hati, dan akal budi. Benar bahwa manusia juga termasuk genus binatang. Tetapi, manusia tidak sepenuhnya 'dikendalikan' oleh naluri kebinatangan itu. Usaha memanusia sebenarnya tidak lain adalah berjuang untuk melawan, menjinakkan, dan melampaui unsur kebinatangan itu.
*Penulis adalah warga Mabar. Tinggal di Watu Langkas.