"Engkau Tidak Akan Mati" |
Oleh: Sil Joni*
Mereka yang 'telah beralih dari dunia fana' ini, tiba-tiba 'hadir kembali' pada Hari ini, Rabu, 2 November 2022. Kehadiran itu terbaca secara jelas dari setiap 'postingan yang diunggah di media sosial'. Nama dan wajah dari mereka yang telah berpulang itu, hidup kembali, setidaknya dalam jagat maya.
Baca: "Engkau Tidak Akan Mati"
Kenangan tentang 'mereka', memang tidak pernah terhapus oleh gelombang waktu. Apalagi jika 'pribadi yang beralih' itu adalah orang yang sangat kita cintai. Mereka yang memiliki ikatan cinta yang mendalam dan intim dengan kita, tentu saja 'hidup selamanya' dalam layar harapan dan memori kita.
Filsuf eksistensialisme asal Perancis, Gabriel Marcel melukiskan manusia sebagai makhluk mencinta. Bagi Marcel, mencintai berarti kita dengan tegas mengatakan 'Engkau tidak akan pernah mati'. Itu berati, meski jasad dari orang yang kita cintai itu sudah menyatu dengan tanah, tetapi sejatinya 'pribadi itu' tetap hidup. Kenangan tentang pribadi itu, tidak lenyap begitu saja.
Cinta kita terhadap 'mereka yang meninggal', melampaui ruang dan waktu. Kepergian mereka ke 'dunia lain', tidak mengurangi rasa cinta dan hormat kita, tetapi justru rasa itu kian menguat. Ekspresi cinta itu tidak bisa ditakar dari sisi fisik semata. Aspek ragawi menjadi tidak relevan ketika bahasa cinta merajai hati kita.
Setiap tanggal 2 November, Gereja Katolik merayakan Hari Arwah. Hari Arwah bertujuan untuk mengenang dan mempersembahkan doa bagi semua orang beriman yang telah meninggal.
Sadar akan dimensi keabadian dari jiwa manusia, Gereja Katolik menyiapkan hari khusus untuk memperingati Hari Arwah. Menariknya, Hari Arwah itu diperingati sehari setelah Hari Raya Semua Orang Kudus (1 November). Itu berarti, setiap tanggal 2 November, Gereja sejagat mempersembahkan korban dan doa bagi mereka yang hidup di alam baka itu.
Tradisi memperingati Hari Arwah ini, sebetulnya sudah setua uisa gereja itu sendiri. Boleh dibilang, sejak awal Kristianitas, Hari Arwah telah mendapat porsi perhatian yang signifikan di dalam gereja yang bisa dilihat melalui teks-teks liturgi awal. Bahkan praktik mendoakan arwah ini, telah dilakukan sejak Perjanjian Lama, tepatnya ketika Yudas Makabe mendoakan arwah orang-orang yang gugur dalam pertempuran melawan Gorgias (2 Mak 12:38-45).
Sedangkan dalam Perjanjian Baru (PB), sikap St. Paulus bisa menjadi referensi. Dikisahkan bahwa St. Paulus berdoa bagi Onesiforus, kawan yang mengunjunginya di Roma (2 Tim 1:18). Tradisi itu, terus dipertahankan dan berkembang dengan baik dalam sejarah gereja selanjutnya.
Pada abad ke-4 misalnya, St. Yohanes Krisostomus, Uskup Agung Konstantinopel, berpesan dalam homilinya, "Baiklah kita membantu dan mengenangkan mereka [yang telah meninggal]. Kalau anak-anak Ayub saja telah disucikan oleh kurban yang dibawakan oleh bapanya (Ayb 1:5). Bagaimana kita dapat meragukan bahwa persembahan kita membawa hiburan untuk orang-orang mati? Jangan kita bimbang untuk membantu orang-orang mati dan mempersembahkan doa untuk mereka."
Baca: Diskursus Soal Makna "Auktor Intelektualis"
Selanjutnya, praktik mendoakan orang-orang mati menjadi tradisi Biara Benediktin sejak abad ke-6 dan dirayakan pada hari Sabtu sebelum Pentakosta. Praktik ini bermunculan pula di Spanyol maupun Jerman. Pada tahun 1030, St. Odilo, Abbas Biara Benediktin di Cluny, menetapkan agar diadakan peringatan arwah setiap tahunnya di biara-biara ordonya.
Tradisi inilah yang di kemudian hari diikuti oleh keuskupan-keuskupan di Eropa sampai menjadi peringatan universal Gereja. Sebagai bagian dari 'gereja universal' itu, umat di tingkat keuskupan (gereja lokal), tentu saja menerapkan dan merawat tradisi itu hingga detik ini.
Sudah menjadi kebiasaan bahwa setiap tanggal 2 November itu, biasanya kita berziarah ke 'pusara' dari anggota keluarga yang sudah berpulang itu. Kita membersihkan 'rumah' tempat di mana mereka dibaringkan, memasang lilin dan mendaraskan doa dan harapan kepada Sang Pemilik Kehidupan agar mereka boleh bergabung dengan para kudus di Surga.
Mengapa kita perlu 'menghormati dan mendoakan para arwah' tersebut? Basis teologis dari perayaan Hari Arwah tidak dapat dilepaskan dari ajaran Gereja bahwa arwah semua orang beriman belum disucikan sepenuhnya dan masih harus menjalankan penyucian agar dapat masuk ke dalam kegembiraan surga (KGK 1030).
Gereja sadar bahwa sebagai 'insan yang rapuh', arwah umat beriman tidak langsung 'masuk bulat-bulat' dalam kerajaan Surga itu. Mereka, dalam perspektif gereja, mesti melewati semacam 'batu ujian khusus' agar bisa menjadi menjadi suci. Proses penyucian ini disebut Gereja sebagai purgatorium – api penyucian (KGK 1031). Selain itu, gereja juga menganjurkan amal, indulgensi, dan karya penitensi demi orang-orang mati (KGK 1032).
Intinya, gereja mengakui bahwa betapa eratnya relasi cinta antara orang yang berpulang itu dengan kita yang masih sedang dalam 'proses peralihan' itu. Keduanya saling membutuhkan dan bukannya saling meniadakan. Arwah dari 'orang yang meninggal' membutuhkan doa dari kita yang masih berproses di dunia ini dan kita pun, dalam arti tertentu membutuhkan 'doa' dari mereka. Bukankah kita sering mendengar bunyi doa kepada orang yang meninggal: 'semoga engkau menjadi pendoa bagi kami yang berziarah di alam fana ini'.
Relasi interpersonal antara 'orang yang hidup di dunia' dengan orang yang 'hidup di tempat penyucian dan keabadian' itu, semakin terang jika dikaitkan dengan kenyataan 'ketakterpisahan' antara peringatan Orang Kudus dan Arwan umat beriman. Bukan sebuah kebetulan ketika Gereja menetapkan Hari Arwah diperingati sehari setelah Hari Raya Orang Kudus.
Kedua perayaan tersebut menunjukkan suatu refleksi iman bahwa selalu ada ikatan kasih yang kuat antara yang masih hidup, yang sudah meninggal, dan yang sudah bahagia di surga. Relasi triadik antara gereja juang, gereja penyucian, dan gereja jaya, merupakan panorama yang dominan dari ekspresi iman orang Katolik. Penghormatan dan doa kepada arwah dan orang Kudus di keabadian, merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pengungkapan iman yang otentik.
Baca: "Ubah Hutan Jadi Padang Gurun"
Jadi, saya kira, ketika Hari ini, Rabu (2/11/2022) kita berziarah ke kubur dan berdoa bagi bagi segenap anggota keluarga yang telah berpulang di kuburan, itu bukan sebuah aktivitas yang sia-sia atau nir-arti. Selain kita mengenang dan mengingat segala 'butiran cinta' yang sempat mereka percikan ke dalam ruang kehidupan kita, sebetulnya kita terus menyalakan api harapan bahwa 'mereka tidak akan pernah mati' dan melantunkan doa agar mereka secepatnya menjadi pribadi suci sehingga boleh menjadi anggota komunitas para Kudus dalam kerajaan Firdaus abadi itu.
Last but not least, Hari Arwah juga merupakan momentum untuk merefleksikan perihal 'kerapuhan diri kita'. Cepat atau lambat, sebagai makhluk yang terbatas, kita pasti 'beralih ke alam keabadian' itu. Status sebagai 'arwah' tentu, tidak bisa kita hindari. Oleh sebab itu, mari kita investasikan modal kebaikan dalam hidup ini. Hidup yang ditaburi dengan pernak-pernik kebaikan, dalam kaca mata iman, merupakan kapital rohani untuk masuk dalam kawasan keabadian yang ditandai dengan kebahagiaan yang tiada tara itu.
*Penulis adalah warga Mabar. Tinggal di Watu Langkas.