Memasak "Sayur Kebersamaan" |
Oleh: Sil Joni*
Situasi kebersamaan dan kekeluargaan itu, tidak muncul begitu saja, tetapi buah dari perjuangan dalam waktu dan lokus tertentu. Garis genealogis dan faktor hereditas, tidak selalu menjadi garansi hadirnya suasana kekeluargaan. Untuk itu, manusia berusaha untuk 'memasak sayur kebersamaan' itu dalam latar kuali tertentu.
Baca: Remaja dan Perilaku Agresif (Catatan Kritis Kasus Water Front)
Ketika senja menjelang, semangat dari anggota keluarga besar kami untuk memasak menu keakraban itu, tidak hilang. Bahkan, suasana keakraban itu semakin menguat. Tungku api yang hangat, menjadi tempat ideal untuk melebur dalam situasi bahagia itu.
Harapannya, kemesrahan seperti ini tidak cepat berlalu dan bersifat sesaat. Spirit kolektivitas dan fraternitas yang otentik merupakan 'barang langka' di tengah menguatnya gaya hidup yang bercorak individualisme dan liberalisme saat ini.
Semangat kebersamaan itu terjelma seutuhnya ketika menerima atau menyambut 'tamu spesial'. Sore ini, Senin (31/10/2022), semua anggota kelurga serumpun, berkumpul di rumah. Kita sehati dan sejiwa menyambut kehadiran Pater Wilfridus Ribun, SVD, seorang misionaris yang selama ini berkarya di negara Brazil.
Kedatangan Pater Wilfrid ini dilihat sebagai rahmat yang mengalirkan sukacita. Betapa tidak. Sudah 5 tahun beliau mengabdi di negeri Samba dan baru kali ini, ada kesempatan untuk berlibur. Maklum, hampir 3 tahun negara terbesar di kawasan Amerika Latin itu, diterjang badai Covid-19. Rencana untuk pulang kampung yang semestinya terjadi pada tahun 2020, terpaksa ditunda.
Kebetulan, badai Corona sudah reda dan melandai. Pater Wilfrid tidak membiarkan peluang itu berlalu begitu saja. Setelah melalui serangkaian tes dan penyelesaian segala urusan perjalanan ke luar negeri, akhirnya beliau hadir di tengah keluarga besar di kampung Watu Langkas.
Baca: Tergantung Pada Perut
Keluarga menyiapkan acara spesial untuk memaknai kehadirannya di sini. Selain penyambutan dan penerimaan secara adat, kami juga berkumpul untuk 'berdoa bersama' dan dilanjutkan dengan acara 'makan bersama'. Dipastikan semua anggota keluarga, mulai dari anak-anak, remaja, orang muda hingga orang dewasa, turut berpartisipasi dalam acara ini.
Ada yang menarik dari proses 'pengolahan menu' untuk santap malam kali ini. "Sang tamu" begitu antusias dan semangat untuk terlibat dalam kegiatan memasak di dapur, mulai dari meracik bumbu hingga mengaduk makanan yang sementara mendidih dan setengah matang dalam kuali. Para ibu dan saudari kami, terlihat sangat bahagia menyaksikan dan menikmati momen kebersamaan itu.
Rupanya, misionaris yang satu ini, ingin memperlihatkan sebuah spiritualitas sebagai seorang pelayan. Beliau tidak mau tampil seperti seorang bos, yang hanya duduk pangku kaki sambil mengisap cerutu dan menyeruput segelas kopi di beranda rumah. Sebaliknya, Pater Wilfrid memperlakukan dirinya sebagai 'hamba' yang siap melayani tuannya.
Pelayanan itu tidak hanya terjadi di kawasan seputar altar, tetapi mesti dimulai dari 'dapur'. Kehidupan manusia dirancang dan ditenun di area ini. Karena itu, para agen pastoral tidak boleh sungkan untuk "berpastoral di wilayah" ini. Seorang pastor mesti memperlihatkan bahwa Firman Tuhan bisa diwartakan di tempat ini. Setidaknya, kesaksian dan keteladanan yang diberikan para agen agama, menjadi instrumen pewartaan Sabda yang menghidupkan itu.
Mengolah sebuah hidangan yang lezat, sebetulnya bisa menjadi metafor untuk menggambarkan kehidupan manusia dalam sebuah komunitas. Kita tahu bahwa manusia itu pribadi yang unik dan berbeda. Meski demikian, kita hidup bersama dalam komunitas.
Itu berarti, setiap elemen perbedaan itu perlu 'diolah, dimasak' hingga menghasilkan hidangan kehidupan yang lezat. Saya kira, setiap hari, kita berjuang agar 'menu kebersamaan' itu tidak terasa hambar, pahit, asam dan rupa-rupa rasa negatif lainnya. Kita berusaha agar rasa negatif itu menjauh sehingga suasana penuh harmoni bisa termanifestasi.
Baca: Idealisme Orang Muda "Mati" di Kandang Politik?
Sayur lodeh kehidupan perlu diberi bumbu yang pas dan dikombinasikan dengan bahan-bahan lain dalam takaran yang proporsional. Dengan itu, publik boleh menyantap 'sayur kehidupan' kita, dengan rasa bangga dan bahagia. Kita telah memberi warna yang indah pada pelangi peradaban sebab 'komponen egoisme' telah dibakar, dipanggang sehingga menyebarkan aroma yang menyenangkan bagi sesama.
Ketika 'menu makanan' diolah dengan hati, maka pasti membuahkan masakan bercitarasa yang khas dan mengundang selera. Saya cukup optimis bahwa jika kita memberi hati untuk memaknai sebuah kebersamaan, maka hasilnya pasti bermutu dan sangat pantas untuk dikecap oleh orang lain.
*Penulis adalah warga Mabar. Tinggal di Watu Langkas.