"Pahlawan Pariwisata" Mabar? |
Oleh: Sil Joni*
"Pahlawan Pariwisata" Mabar? - Pada peringatan Hari Pahlawan tahun lalu (10 November 2021), Komodo Lawyers Club (KLC) mengadakan semacam 'seremoni' pemberian gelar pahlawan pariwisata kepada pribadi tertentu. Setelah melalui diskusi yang intens dan studi yang mendalam, pihak KLC memilih presiden Joko Widodo sebagai 'Pahlawan Pariwisata' Manggarai Barat (Mabar).
Baca: Teater Brutalitas di Water Front City
Presiden Jokowi, di mata KLC sangat berjasa dan berkontribusi dalam proses akselerasi kemajuan pembangunan sektor kepariwisataan di Mabar. Intervensi kebijakan politik yang begitu besar terhadap pembangunan pariwisata, membuat wajah pariwisata Mabar terlihat sangat elegan dan semarak. Saat ini, kita tahu Labuan Bajo menjadi salah satu destinasi super prioritas yang bertaraf super premium.
Pertanyaannya adalah apakah gelar pahlawan itu hanya diukur dari kemajuan pembangunan infrastruktur? Benarkah ketersediaan infrastruktur fisik itu berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan publik di Mabar? Dengan perkataan lain, apakah presiden Joko Widodo sudah berhasil mengantar publik Mabar keluar dari kubangan kemiskinan dan keterbelakangan melalui seabrek pembangunan fisik itu?
Benar bahwa kata 'pahlawan' telah mengalami perluasan arti. Pahlawan itu tidak hanya mengacu pada 'prajurit atau pasukan bersenjata' yang gugur dalam medan perang. Dewasa ini, mereka yang telah berjasa dan berkontribusi bagi kemajuan dan perubahan dalam bidang tertentu, bisa masuk dalam kategori pahlawan. Dalam bidang pariwisata misalnya, ketika ada sosok yang memberikan pengaruh dan berdedikasi untuk kemajuan sektor ini, maka gelar pahlawan sangat layak disematkan kepadanya.
Dalam konteks pemikiran ini, kita bertanya adakah figur yang dianggap sebagai 'pahlawan' dalam bidang kepariwisataan kita? Jika ada, mengapa julukan itu pantas disematkan kepadanya? Apakah pariwisata Mabar membutuhkan sumbangsih dari pahlawan?
Baca: Pariwisata yang Rentan Bencana (Politik)
Pemikir dan sastrawan Jerman, Bertold Brecht pernah berujar: "Kasihan bangsa yang membutuhkan pahlawan". Ketika sebuah bangsa 'membutuhkan pahlawan', maka itu sebuah indikasi bahwa negara itu 'sedang bermasalah'. Kita butuh sosok heroik untuk keluar dari aneka kemelut yang melanda sebuah negara.
Dengan analogi yang sama, ketika bidang pariwisata di Manggarai Barat (Mabar) membutuhkan sentuhan 'para pahlawan', maka tentu ada yang 'kurang beres' dalam pengelolaan pariwisata itu. Saya kira, harus diakui bahwa kondisi pariwisata Mabar tidak 'setenar' sekarang, jika para pahlawan tak hadir di sini.
Kalau kita mengakui bahwa memang ada 'figur' yang sangat berjasa dalam menata potensi kepariwisataan kita, maka pertanyaannya adalah apakah sosok seperti itu layak dan pantas diberi gelar 'pahlawan pariwisata Mabar'? Apakah pemberian gelar semacam itu sudah merepresentasikan penghargaan kita terhadap jasa dan peran besarnya? Apakah beliau membutuhkan pengakuan dari publik Mabar?
Bagi bangsa Indonesia, 10 November merupakan hari yang spesial dipersembahkan untuk mengenang dan memperingati jasa para pahlawan Nasional. Tentu, terminologi 'pahlawan' dalam konteks momentum peringatan itu, selalu dikaitkan dengan 'para prajurit dan masyarakat Indonesia' yang gugur dalam medan pertempuran dalam rangka 'membebaskan' bangsa ini dari cengkeraman para kolonialis dan imperialis.
Namun, mungkin untuk konteks 'pariwisata Mabar', predikat pahlawan itu mengacu pada 'mahakarya' yang diukir oleh seseorang atau sekelompok orang di mana potensi pariwisata Mabar 'berhasil' dikonversi menjadi lumbung ekonomi dalam meningkatkan aspek kemaslahatan publik. Itu berarti pahlawan yang dimaksud tidak hanya berkaitan dengan desain dan eksekusi pembangunan infrastruktur pendukung pariwisata, tetapi juga bagaimana mendorong warga untuk menjadi 'pemain utama' dalam industri turisme. Dirumuskan secara sederhana, seorang pahlawan pariwisata mesti 'memperhatikan juga' sisi peningkatan sumber daya manusia lokal sehingga bisa berkompetisi secara fair dalam lapangan pariwisata itu.
Sektor pariwisata di Mabar mengalami lompatan kemajuan yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Kondisi kemajuan itu, setidaknya terlihat dari 'pesatnya' pembangunan infrastruktur pendukung, terutama yang ada di kota Labuan Bajo. Wajah kota ini terlihat semakin elegan dan elok saat ini.
Harus diakui bahwa presiden Joko Widodo (Jokowi) punya andil yang besar dalam 'mengangkat pamor bidang pariwisata Mabar umumnya dan merombak wajah kota Labuan Bajo khususnya. Pemerintah Pusat (pempus) telah menetapkan Labuan Bajo sebagai sebagai salah satu destinasi wisata super prioritas yang berkelas super premium.
Citra dan status sebagai "destinasi super premium', jelas berimplikasi pada peningkatan anggaran dan besarnya intensitas perhatian Pempus terhadap keberadaan aset wisata di sini. Presiden Jokowi sudah 'mencurahkan' segenap sumber daya politik untuk mengubah kondisi pariwisata di Mabar sekaligus menjadikan Labuan Bajo sebagai 'kota yang dipersiapkan untuk menyelenggarakan pelbagai event berskala internasional'.
Baca: Mengeksplorasi 'Keindahan Labuan Bajo' Melalui 'Film Pendek'
Saya kira, prestasi Jokowi dalam 'mengangkat' derajat pariwisata Mabar, tak perlu diperdebatkan. Jika indikatornya adalah kemajuan dalam pembangunan infrastruktur, maka nama Jokowi layak dicatat dengan dawat kencana. Andaikan Joko Widodo tidak menjadi presiden RI saat ini, mungkin kisah kebangkitan sektor turisme di Mabar, tidak seterang sekarang.
Terhadap kiprah dan debut Jokowi yang menawan itu, ada pihak yang coba melemparkan gagasan untuk memberikan 'penghargaan yang tulus' kepada bapak Joko Widodo ini. Salah satu ide yang sempat bergulir di ruang publik adalah 'mendirikan patung Joko Widodo di Labuan Bajo'. Dalam dan melalui patung itu, masyarakat Indonesia umumnya dan Mabar khususnya akan terus mengenang dan mengingat bahwa 'pada suatu masa, muncul sosok istimewa yang dengan gilang-gemilang' menata dan menghadirkan perubahan demi perubahan di wilayah ini.
Sayang wacana itu tidak ditanggapi secara serius oleh para pemangku kepentingan di sini. Ide yang brilian itu, akhirnya hilang begitu saja. Kendati demikian, poinnya adalah publik sudah memberikan apresiasi dan mengafirmasi soal 'kerja konkret' Jokowi dalam bidang pariwisata di Mabar.
Kini, pada momen peringatan Hari Pahlawan Nasional, 10 November, apakah tidak berlebihan jika kita mewacanakan 'sosok pahlawan' dalam bidang pariwisata di Mabar. Tetap diakui bahwa tidak mudah untuk menentukan dan memberikan 'gelar pahlawan' kepada figur tertentu dalam bidang tertentu pula. Parameter yang digunakan pasti menimbulkan perdebatan yang sengit.
Sebagai contoh, untuk prestasi atau pencapaian yang ditunjukkan Jokowi pada sektor pariwisata di Mabar, ada kelompok yang mulai menggulirkan gagasan tentang 'menyematkan gelar pahlawan' kepada presiden Joko Widodo. Argumentasi mereka adalah Jokowi sudah berkorban dan berjuang optimal dalam memajukan sektor pariwisata di Mabar melalui implementasi skema pembangunan infrastruktur berstandar super premium di Mabar.
Labuan Bajo yang sebelumnya biasa-biasa saja, kini telah menjelma sebagai kota dengan pesona yang 'tiada duanya'. Bagi kelompok 'pengagum kerja politik Joko Widodo pada sektor pariwisata, rasanya gelar pahlawan itu lebih dari pantas disandang oleh Joko Widodo. Bagi mereka, Joko Widodo is the real hero'. Beliau adalah pahlawan benaran yang berhasil mewujudkan mimpi publik untuk mencicipi kue pembangunan pariwisata di sini.
*Penulis adalah warga Mabar. Tinggal di Watu Langkas.