Religiusitas Kosmis dalam Ritual 'Tuke Sekang' |
"Sekang ka'eng" (rumah tempat tinggal), bagi orang Kempo, Nggorang-Boleng, tidak dilihat sebagai 'bangunan fisik semata', tetapi juga 'kemah kediaman' yang mendapat perlindungan dari alam, arwah leluhur, dan Mori Jari Agu Dedek. Itu berarti sebuah 'sekang' menjadi ruang perjumpaan dan perwujudan relasi antara manusia dengan roh semesta, leluhur, dan Pengada Tertinggi.
Karena itu, komunitas etnis yang mendiami wilayah paling Barat Nusa Bunga ini, merasa perlu menggelar sebuah 'ritual khusus' sebelum 'sekang' itu dihuni secara resmi. Upacara adat itu dikenal luas dengan istilah 'tuke sekang'.
Baca: Sulung “Sang Perintis” Dari Nusa Cendana Untuk Misi Seluruh Dunia: “Belis” Tidak Hilang!
Secara literal ungkapan itu terdiri dari dua kata; yaitu tuke yang berati 'naik' dan sekang berarti 'rumah'. Tuke sekang, dengan demikian, berarti 'naik atau masuk ke dalam rumah'. Tuke Sekang bertujuan untuk mengucap syukur dan mohon berkat Tuhan, leluhur, dan alam bagi segenap penghuni rumah. Para penghuni rumah meminta izin kepada roh leluhur dan semesta untuk mendiami 'rumah baru' itu sehingga tidak terjadi semacam 'salah pengertian atau ketersinggungan' dalam membangun relasi yang harmonis pada hari-hari selanjutnya.
Ekspresi religius yang bersifat kosmis itu dinyatakan lewat 'upacara korban bakaran dan darah'. Biasanya, ada dua ekor ayam yang dijadikan 'persembahan' dalam upacara 'Tuke Sekang' itu. Ayam yang berwarna putih (manuk bakok) merupakan simbol hati yang bersih, tulus, dan ikhlas dalam memberikan penghormatan yang pantas kepada arwah leluhur dan roh semesta. Para penghuni rumah baru itu, dengan hati yang murni, meminta izin dan memohon perlindungan agar rumah itu dijauhkan dari segala macam bencana.
Sedangkan, manuk lalong sepang (ayam jantan berwarna-warni) merupakan lambang kegembiraan atau sukacita karena proses pembangunan 'rumah' itu sudah kelar. Keberhasilan itu, tidak terlepas dari 'campur tangan' dari para leluhur, alam, dan Sang Arsitek Agung. Rasa syukur itu dinyatakan bentuk 'Manuk Sepang' tersebut.
Sampai detik ini, orang Kempo-Boleng masih mempraktekan tradisi Tuke Sekang itu. Tadi malam, Kamis (3/11/2022), saya mengikuti ritual 'Tuke Sekang' dari saudari saya di Wae Nahi, Labuan Bajo. Dalam upacara itu, saya bersama P. Wilfridus Ribun, SVD berposisi sebagai keluarga 'ineame (pemberi istri).
Selain mengikuti secara khusuk pelbagai item acara, saya juga berusaha 'menggali makna' dari setiap upacara dan materi adat yang digunakan dalam ritual itu. Dari 'penggalian' itu, saya menemukan bahwa orang Kempo-Boleng meyakini bahwa segala sesuatu, termasuk 'sekang ka'eng' terjadi berkat penyelenggaraan de Mori, Jari Agu Dedek.
Baca: Deklarasi, Komunikasi Politik, dan Mimpi Jadi Bupati Super Premium
Dalam terang pemikiran ini, maka membangun rumah, bagi orang Kempo-Boleng, merupakan sebuah momen penuh rahmat, penting dan istimewa di mana semua elemen dalam komunitas kosmis terlibat. Artinya, rumah yang dibangun itu, tidak hanya dilihat sebagai ekspresi kesanggupan pemiliknya, tetapi juga berkat 'kemurahan' dari Tuhan, para leluhur, dan alam semesta.
Masih tertanam keyakinan dalam diri orang Kempo-Boleng bahwa batu, kayu, pasir, semen dan semua bahan untuk membangun sebuah rumah itu, memiliki roh. Boleh jadi, semua bahan itu, dalam relasi dan komunikasi, bisa saja tidak cocok satu sama lain. Fakta 'ketidakrukunan' itu bisa berimbas pada penghuni rumah.
Untuk itu, dalam ritual 'Tuke Sekang', penghuni rumah memohon agar semua bahan itu membangun semacam 'saling pengertian', terikat dalam sebuah persatuan yang kuat sehingga menciptakan rumah yang kokoh. Pelbagai anasir dalam rumah itu, hidup dalam suasana yang solid, tidak terpecah-pecah, dan dilanda konflik.
Selain itu, ada juga kepercayaan bahwa rumah memiliki pelindung (ata lami). Dalam acara Tuke Sekang, para penghuni rumah memohon izin si pelindung agar bersedia untuk tinggal bersama di rumah itu dan memohon agar mereka turut menjaga dan melindungi segenap penghuni rumah tersebut.
Oleh sebab itu, menurut orang Kempo-Boleng, rumah baru yang siap ditempati harus dibuatkan ritual khusus. Salah satu tujuannya yaitu menjauhkan gangguan roh halus dari penghuni rumah. Masih ada anggapan bahwa roh-roh jahat dapat mengganggu penghuni rumah baru kapan saja. Gangguan itu, umumnya hadir melalui melalui mimpi-mimpi buruk, penyakit, kecelakaan, dan lain-lain.
Ritual 'Tuke Sekang' ini, sangat penting artinya bagi penghuni rumah baru. Bahkan ada keyakinan bahwa jika pemilik rumah baru 'tak mengindahkan' upacara ini, maka muncul pelbagai cobaan atau gangguan dalam hidup mereka. Kehidupan para pemilik rumah kemungkinan tidak tenang sebab selalu 'digempur' oleh kelompok yang merasa 'tersinggung' tadi. Jadi, jika penghuni rumah mau hidu 'aman', sebelum rumah baru itu ditempati, upacara adat berupa 'Tuke Sekang' wajib dibuat.
Baca: Peragaan Busana, Perayaan Kebhinekaan
Sejauh mana kebenaran dari anggapan ini? Apakah ada relasi kausalitas antara 'ketidaktentraman' dalam hidup dengan sikap mengabaikan ritual adat Tuke Sekang? Betulkan roh leluhur, alam dan Wujud Tertinggi akan murka jika 'pemilik rumah' lupa atau tidak tertarik untuk menggelar acara semacam itu?
Oleh: Sil Joni*
*Penulis adalah warga Mabar. Tinggal di Watu Langkas.