"Terpujilah Wahai Engkau Ibu/Bapak Guru" |
Oleh: Sil Joni*
Syair lagu 'Himne Guru' diawali dengan kata 'terpujilah'. Secara lengkap, kalimat pertama dalam syair lagu itu adalah "terpujilah wahai engkau ibu bapak guru". Dalam dan melalui syair itu, terbersit sebuah pengakuan dan penghargaan terhadap guru sebagai pribadi yang terpuji. Jasa dan kontribusi guru dalam 'mendidik generasi hebat', rasanya tidak perlu diragukan lagi.
Baca: Dalam Rangka Peringati HGN 2022, Kepala SMK Negeri 1 Satarmese Tegaskan "Ini" Saat Upacara Bendera
Bahkan, saking besarnya sumbangsih seorang guru dalam 'memanusiakan manusia', masih dalam teks lagu yang sama, guru itu dilihat sebagai 'patriot pahlawan bangsa tanpa tanda jasa'. Kendati perannya sangat besar dan vital, namun guru hanya diberi gelar hiburan yang menyedihkan, yaitu 'pahlawan tanpa tanda jasa'.
Kendati demikian, julukan itu tidak mengaburkan status guru sebagai pribadi yang terpuji. Guru tetap menjadi profesi yang mulia, meski tidak mendapat pengakuan secara legal-formal. Kemuliaan yang memancar dari profesi itu, membuat guru dianggap sebagai subjek yang digugu dan ditiru.
Tulisan ini coba melihat secara predikat terpuji yang melekat dalam tubuh guru. Apakah dalam kenyataannya, sikap para guru mencerminkan pribadi yang terpuji? Masikah guru dianggap sebagai 'tokoh model' yang layak digugu dan ditiru? Apakah ada indikasi bahwa bobot keterpujian dari profesi guru itu mengalami dekadensi?
Tidak ada maksud untuk menarik sebuah 'generalisasi yang sesat' dalam tulisan ini. Rasanya, tidak mungkin semua guru sudah kehilangan auranya sebagai figur yang digugu dan ditiru. Apa yang tersaji di sini, hanya sebuah keprihatinan berdasarkan menguatnya gejala yang tampak pada sebagian guru, di mana unsur 'digugu dan ditiru' itu, mulai dipertanyakan.
Pertama nian, tetap disadari bahwa guru adalah profesi yang sangat mulia. Untung ada guru. Berkat keberadaan guru, 'seorang anak manusia', boleh dilahirkan kembali. Guru adalah bidan yang membantu 'melahirkan manusia baru' itu. Bisa dibayangkan, jika guru tidak ada, maka 'proses menjadi lebih manusiawi' (peristiwa kelahiran kedua) itu, tak pernah terjadi. Itu berarti peradaban kita berjalan stagnan dan statis.
Baca: Mengapa Harus Program Guru Penggerak? (Sebuah Ajakan untuk Para Guru)
Ungkapan yang mengatakan 'guru itu mungkin figur yang tidak hebat, tetapi semua orang hebat lahir dari guru', bisa mewakili betapa mulianya peran seorang guru. Pada pundak seorang guru, proyek perampungan masa depan seorang anak manusia, didesain dan dieksekusi secara kreatif. Prestasi yang diukir seorang peserta didik, tidak terlepas dari asupan 'perhatian dan layanan kasih pedagogi' yang total dari seorang guru.
Barang kali karena betapa agungnya peran yang telah dimainkan oleh guru dalam lintasan sejarah peradaban, maka guru selalu dicitrakan sebagai 'figur yang patut diteladani'. Guru selalu menjadi referensi ideal dan praktis di tengah masyarakat.
Jika kita membolak-balik kitab sejarah bangsa ini, maka akan ditemukan kepingan narasi bagaimana kiprah dan kontribusi para guru ditorehkan dengan sangat meyakinkan. Citra mereka sebagai 'sosok istimewa' melekat abadi dalam ingatan publik. Penilaian itu, saya kira sangat terasa pada masa awal kemerdekaan hingga awal tahun 2000-an.
Bahwasannya guru adalah sosok yang begitu mulia dan diagungkan, baik di lingkungan sekolah maupun lingkungan masyarakat. Tentu, anggapan ini tidak bersifat rekaan atau spekulatif semata, tetapi berbasis factum empiris yang valid. Betapa tidak, di sekolah, guru begitu dihormati dan menjadi teladan bagi murid-muridnya, sedangkan di lingkungan masyarakat guru menjadi rujukan, baik dalam ucapan, perbuatan, maupun pemikiran.
Lalu, apakah 'image' itu masih kokoh (tidak goyah) di tengah terpaan badai tantangan yang menerpa profesi guru itu sendiri? Masihkah citra guru sebagai sosok yang digugu dan ditiru tetap aktual, relevan, dan tak bergeser saat ini?
Pada peringatan HUT ke-77 PGRI dan Hari Guru Nasional (HGN) hari ini, Juma't (25/11/2022), refleksi yang kita telurkan ke ruang publik, terlampau terfokus ke persoalan eksternal. Energi atensi kita lebih banyak dipakai untuk menyinggung soal tanggapan dan keterlibatan pemerintah dalam memperhatikan kesejahteraan guru, tetapi kita 'jarang melihat ke dalam (inward looking)', sudah sejauh mana keberterimaan dan kebertahanan citra guru sebagai manusia mulia yang digugu dan ditiru itu.
Sudah dijelaskan sebelumnya bahwa posisi guru yang begitu agung pada masa lalu, tidak tanpa sebab. Pasalnya, guru pada saat itu sangat menjadi panutan bagi orang-orang yang ada di sekitarnya. Slogan “guru; digugu dan ditiru” benar-benar melekat pada dirinya, bukan sekadar ungkapan tanpa makna. Seluruh perilaku, tutur kata, perbuatan dan pemikirannya benar-benar menampilkan sosok yang memang 'pantas digugu dan ditiru' itu.
Dewasa ini slogan digugu dan ditiru, hemat saya perlahan mulai luntur dari diri sebagian guru di negeri ini. Ada yang 'terpaksa' menjadi guru yang sebetulnya 'hati dan pikirannya' berada di tempat lain. Efeknya adalah mereka menjalankan tugas profesionalnya tidak sepenuh hati atau asal-asalan. Mereka menjalankan profesinya hanya sebatas untuk melaksanakan tugas atau terjebak pada rutinitas mengajar yang kadang minim akan pemaknaan.
Pada sisi yang lain, kita menjumpai aneka fakta miris yang diperlihatkan oleh sebagian guru. Masih ada yang menggunakan cara-cara kekerasan dalam 'mendidik siswa', terjebak dalam pola pikir yang fanatik dan radikal, kurang disiplin, sering menyebar hoaks, dan tampil kurang percaya diri di tengah masyarakat. Masyarakat mulai 'ragu' dengan kapasitas dari sebagian guru kita. Akibatnya, ucapan dan tindakan mereka kurang dipercayai oleh masyarakat.
Padahal, ungkapan guru sebagai orang yang bisa digugu dan ditiru mempunyai makna yang sangat dalam. "Digugu" memiliki arti dipercaya atau dipatuhi, sedangkan 'ditiru' berarti diikuti atau diteladani. Tetapi, bagaimana mungkin 'seorang guru bisa dipercayai dan diteladani', jika dirinya juga sebagai pelaku penyebar kebohongan, pribadi yang malas, tak cakap dalam berbicara dan menulis, tak mempunyai pengetahuan yang cukup dan kurang cermat dan cakap dalam menggunakan metode ajar yang efektif di sekolah.
Idealnya seorang guru memiliki dua hal tersebut (potensi untuk digugu dan ditiru). Perkataan dari guru harus mengandung kebenaran yang menumbuhkan keyakinan kepada setiap yang mendengarnya. Tingkah lakunya haruslah menjadi contoh bagi setiap yang melihatnya. Tetapi, jika guru hanya sibuk 'bermain judi' dan minum mabuk setiap hari, maka masih pantaskah guru tersebut digugu dan ditiru?
Keunggulan seorang guru, hemat saya terletak pada penguasaan empat kompetensi dasar yang melekat padanya. Untuk itu, kemampuan guru untuk bisa digugu dan ditiru sebenarnya berkaitan erat dengan empat kompetensi tersebut, yakni kompetensi pedagogis, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Saya sangat optimis bahwa jika empat kompetensi tersebut dimiliki oleh guru, maka predikat sebagai figur yang digugu dan ditiru, tentu tidak diragukan lagi.
Kita tidak mungkin percaya dan patuh terhadap guru yang dangkal pengetahuannya. Oleh sebab itu, agar bisa dipercaya dan dipatuhi, seorang guru mesti memiliki pemahaman yang luas dan mendalam terhadap ilmu pengetahuan yang digelutinya dan yang akan dibagi masyarakat umumnya dan peserta didik khususnya.
Selain itu, seorang guru juga harus memiliki pengetahuan yang baik mengenai metode dalam menyampaikannya. Cerdas dan terampil dalam mengaplikasikan metode ajar menjadi prasyarat tersampaikannya pengetahuan kepada murid secara efektif. Saya kira seorang guru tidak bisa meyakinkan muridnya kalau ia lemah dalam pemahaman dan penyampaian. Jadi, tidak ada opsi lain bagi seorang guru, selain harus memperbaharui dan mengasah kompetensinya, baik dalam hal keilmuan maupun metode pembelajarannya.
Seorang guru juga harus bisa menjadi teladan atau panutan. Lusinan kata-kata yang keluar dari mulut guru, menjadi tidak berguna atau sia-sia, jika dirinya tidak mampu memberikan teladan hidup yang baik di depan peserta didik. Saya berpikir, dimensi keteladanan inilah yang sebenarnya jauh lebih penting dari peran seorang guru dalam pendidikan.
Rasanya tidak cukup kalau guru hanya mengandalkan kecakapan dalam 'mentransfer pengetahuan' kepada siswa, tanpa diimbangi dengan contoh hidup yang nyata. Boleh jadi, kita berhasil mengajar murid hingga menjadi orang pintar, namun gagal dalam menanamkan karakter yang baik melalui keteladanan. Akan sangat memalukan kalau sebagian dari guru di republik ini malah mempertontonkan sikap yang tak seharusnya dilakukan oleh seorang guru.
Jadi, HUT ke 77 PGRI dan HGN, semestinya menjadi momen introspeksi diri. Sudah sejauh mana, masing-masing kita yang sudah memilih guru sebagai 'medan pengabdian', sudah tampil sebagai figur yang pantas untuk ditiru dan digugu? Apakah diri kita sudah berkontribusi optimal dalam mempertahankan citra guru sebagai profesi yang mulia?
*Penulis adalah Staf pengajar di SMK Stella Maris. Tinggal di Watu Langkas.