"Guru Penggerak": Motor Penggerak Gerakan Literasi |
Oleh: Sil Joni*
Beberapa teman Calon Guru Penggerak (CGP) begitu antusias dalam membagi pengetahuan dan pengalaman mereka selama mengikuti Program Guru Penggerak (PGP). Salah satu yang mesti saya sebutkan namanya di sini adalah ibu Lusiana Frince, guru bidang studi Matematika di SMK Stella Maris, Labuan Bajo. Dari sekian poin yang mereka sampaikan, saya tertarik dengan poin pentingnya kompetensi literasi dalam menyelesaikan seluruh tahapan seleksi untuk menjadi 'Guru Penggerak" itu.
Betapa tidak. Dari testimoni yang mereka angkat, seleksi untuk dapat ikut PGP itu ternyata sangat ketat. Dalam tahap pertama, mereka harus mengisi pemberkasan secara daring untuk lolos administrasi esai dan dokumen pendukung.
Tidak sedikit para guru yang ikut seleksi CGP ini, harus menerima kenyataan 'tidak lulus' untuk mengikuti tahapan selanjutnya. Persoalan utama, demikian kata mereka, para guru 'kurang terampil' dalam menjawab pertanyaan dalam bentuk esai (uraian). Masalahnya adalah dalam format itu sudah ditentukan soal jumlah karakter (umumnya 500-5000). Jika tulisan esai itu kurang dari yang ditentukan, maka sudah otomatis dokumen itu 'tidak bisa dikirim'.
Biasanya, mereka yang tidak terbiasa dengan dunia 'menulis', pasti sangat kesulitan untuk memenuhi kriteria tersebut. Jika memang harus 'dipaksa', maka besar kemungkinan, ide yang dituangkan cenderung 'tidak fokus', melebar, sekadar memenuhi tuntutan saja. Hemat saya, hal itu, patut diduga menjadi salah satu penyebab mengapa sebagian dari CGP itu 'gagal' pada tahap pertama ini.
Baca: Profesionalisme Guru Di Persimpangan Jalan (Refleksi Peran Guru di Akhir Tahun 2022)
Tahap selanjutnya (tahap 2) adalah proses simulasi praktik mengajar. Rasanya, mustahil kita bisa melaksanakan dengan baik 'sesi simulasi' ini, tanpa ditopang dengan kemampuan literasi yang mumpuni. Kecakapan literasi, hemat saya menjadi 'kapital dasar' dalam membuat simulasi praktik mengajar yang baik. Mengapa? Seorang CGP, sebelum tampil dalam aksi simulasi, pasti membuat persiapan secara tertulis agar simulasi itu berjalan secara sistematis dan teratur.
Jika tahap simulasi praktik mengajar ini berhasil, maka tahap berikutnya (tahap 3) adalah wawancara. Materi wawancara, demikian kesaksian dari beberapa teman CGP' itu, tidak lari jauh dari topik yang sempat ditanyakan dalam sesi pemberkasan administrasi esai di atas. Itu berarti, seorang CGP mesti mempunyai kemampuan membaca dan menganalisis secara cermat aneka tema yang berkaitan dengan PGP, motivasi mengikuti PGP, dan beberapa modal dasar yang dipunyai oleh CGP dalam mengikuti PGP itu.
Ketika seorang CGP dinyatakan lulus dalam mengikuti 3 tahap di atas, maka dia berhak untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan selama 6 bulan. Pendidikan Guru Penggerak adalah program pendidikan kepemimpinan bagi guru untuk menjadi pemimpin pembelajaran. Program ini meliputi pelatihan daring, lokakarya, konferensi, dan pendampingan bagi CGP. Porsi terbesar metode pelatihan para guru yaitu belajar di tempat kerja dan komunitas praktik yaitu sebanyak tujuh puluh persen. Selanjutnya belajar dari rekan dan guru lain sebanyak dua puluh persen. Sisanya merupakan pelatihan formal.
Misi yang diemban dalam PGP ini adalah terjadinya perubahan yang signifikan dalam peningkatan mutu pendidikan. Dasarnya adalah guru penggerak menjadi katalis perubahan di daerahnya. Apa langkah konkretnya? CGP itu akan menggerakkan komunitas belajar untuk rekan guru di sekolah dan di wilayahnya.
Selain itu, teman-teman CGP itu akan menjadi Pengajar Praktik bagi rekan guru lain terkait pengembangan pembelajaran di sekolah; mendorong peningkatan kepemimpinan murid di sekolah; membuka ruang diskusi positif dan ruang kolaborasi antar guru dan pemangku kepentingan di dalam dan luar sekolah untuk meningkatkan kualitas pembelajaran; dan menjadi pemimpin pembelajaran yang mendorong terbentuknya ekosistem pendidikan yang konstruktif di sekolah.
Dari paparan di atas, kita bisa lihat bahwa capaian-capaian ideal yang diharapkan bagi guru yang mengikuti PGP tersebut, harus memiliki kompetensi literasi yang tinggi. Bisa disimpulkan bahwa dengan desain belajar yang disebutkan, guru penggerak memiliki kemandirian belajar yang tinggi. Betapa tidak. Pelatihan yang dibuat selama ini lebih banyak berorientasi pada pemberian tugas secara mandiri. Pembelajaran berbasis modul dan daring, menjadi opsi utama. Karena itu, rasanya program ini tak bisa diselesaikan dengan baik jika guru tidak kompeten berliterasi.
Asumsinya adalah guru-guru yang lolos ikut PGP dan kelak mendapatkan sebutan Guru Penggerak tentu saja diharapkan dapat menggiatkan kembali program-program literasi di sekolah semisal Gerakan Literasi Sekolah (GLS). Guru penggerak mesti terlibat dan menjadi motor penggerak GLS. Hal ini tidak berarti bahwa Guru Non Penggerak tidak punya tanggung jawab yang sama untuk menumbuhkan kultur literasi di sekolah.
Tetapi, saya kira, Guru Penggerak sudah dibekali dengan 'pengetahuan dan keterampilan teknis' terkait bagaimana menularkan budaya literasi yang mereka geluti selama mengikuti PGP kepada segenap anggota komunitas sekolah. Ketika para 'Guru Penggerak' tampil sebagai motor penggerak literasi, saya sangat optimis bahwa budaya literasi bakal bersemi dan menjadi lebih semarak di sekolah.
Kita tahu bahwa pada saat ini minat dan kemauan untuk meningkatkan kompetensi literasi kita masih memprihatinkan. Karena itu, imperasi etis agar para Guru Penggerak menjadi motor penggerak GLS, semakin relevan dan urgen. Para guru umumnya dan para CGP khususnya, mesti berada pada garda terdepan untuk 'membangkitkan' batang kultur literasi yang kerap layu itu.
Harus diakui bahwa membaca dan menulis belum tumbuh secara optimal di lingkungan sekolah kita. Kemampuan membaca dan menulis para peserta didik masih sangat memprihatinkan. Persoalan semakin runyam ketika kebanyakan peserta didik lebih tertarik 'berselancar' di samudra maya, ketimbang larut dalam lautan perbukuan yang terpajang indah di perpustakaan sekolah.
Ironis memang. Padahal, secara teoretis, para siswa mengetahui dan sadar bahwa perpustakaan merupakan 'gudang ilmu'. Tetapi, ada kesenjangan yang lebar antara pengetahuan teoretis dengan dimensi penerapannya. para siswa yang memanfaatkan perpustakaan untuk menyadap dan menggali mutiara ilmu, bisa dihitung dengan jari. Tentu, ini menjadi tantangan yang maha-berat bagi para Guru Penggerak untuk menjalankan perannya sebagai 'Penggerak Budaya Literasi".
Baca: "Pahlawan" Menurut Milenials
Namun, sebetulnya kenyataan yang memprihatinkan tersebut membutuhkan kepedulian berbagai pihak untuk terus berupaya meningkatkan kompetensi literasi. Kita tidak bisa meletakkan harapan sepenuhnya kepada guru penggerak. Para guru yang lain, dengan kapasitas dan cara masing-masing, dituntut untuk mengambil prakarsa positif dalam mengakarkan budaya literasi di sekolah.
Harapan itu tidak berangkat dari ruang hampa, tetapi selaras dengan hasil Asesmen Nasional 2021 di mana hanya sekitar 43 persen pelajar memenuhi standar minimum untuk kemampuan literasi. Sang mentri Nadiem Makarim menyatakan bahwa temuan itu menunjukkan bahwa kita harus semakin mendorong inisiatif-inisiatif yang berfokus pada peningkatan kemampuan literasi.
Guru penggerak yang telah mendapatkan pengalaman pembelajaran yang cukup intensif terutama terkait dengan kepemimpinan pembelajaran, tidak salah jika didorong untuk dapat menghadapi tantangan konkret di sekolah. Apalagi sekarang dengan berlakunya kurikulum merdeka daya dorong untuk mewujudkan sekolah sebagai ekosistem yang baik bagi peningkatan kompetensi literasi akan semakin besar.
Dari uraian di atas, bisa disimpulkan bahwa kita mempunyai modal yang cukup, di mana salah satunya adalah 'para Guru Penggerak' yang potensial dan visioner. Ketika komunitas praktisi yang diinisiasi oleh para CGP yang peduli pada isu literasi terbentuk dan bekerja dengan baik, maka pada titik itu, publik akan berdecak kagum, ternyata Guru Penggerak telah 'tampil beda'. Mereka tidak hanya menanamkan dan menyebarkan spirit kepemimpinan pembelajaran yang berpusat pada peserta didik, tetapi juga 'meniupkan budaya literasi' melalui wadah Komunitas Praktisi.
Meski demikian, tetap diakui bahwa sebenarnya, tugas untuk menjadi penggerak literasi itu, tidak hanya dibebankan kepada guru tertentu. Semua guru, dituntut untuk memberikan teladan nyata bagaimana menghidupkan 'habitus literasi' yang kreatif dan produktif. Para guru mesti memfasilitasi dan mengkreasi ruang dan peluang yang luas bagi siswa dalam mengaktualisasikan potensi mereka dalam bidang baca-tulis itu.
Tetapi, karena 'para Guru Penggerak' sudah 'dibekali' dengan kompetensi yang memadai dalam menghidupkan ekosistem pendidikan yang bermutu, tentu tidak salah juga jika mereka tampil sebagai 'penggerak pertama' dalam mengakarkan kultur literasi di sekolah.
Kolaborasi yang positif antara Guru Penggerak dengan para guru dalam sebuah satuan pendidikan, menjadi kapital yang bagus untuk mewujudkan impian literasi menjadi 'trademark' sebuah lembaga pendidikan. Cita-cita menjadi 'Sekolah Literasi', dengan demikian, bukan lamunan kosong di siang bolong.
*Penulis adalah warga Mabar. Tinggal di Watu Langkas.