Oleh: Sil Joni*
Atas Nama 'Citra Investasi'? (dari Golo Mori Menjadi 'Tanah Mori') |
Sebelum ditetapkan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) oleh Pemerintah Pusat (Pempus), kawasan Golo Mori, relatif tak dikenal oleh publik luas. Golo Mori tak pernah menjadi pusat pembicaraan khalayak, minimal di tingkat Manggarai Barat (Mabar).
Tetapi, situasi ketakterkenalan itu, sudah berlalu. Kini, Golo Mori menjelma menjadi 'ikon baru' destinasi wisata potensial di Mabar. Tak tanggung-tangung, Pempus 'membabtis' wilayah Selatan Labuan Bajo ini sebagai KEK sekaligus 'disulap' menjadi tempat digelarnya pelbagai event berskala internasional.
Intervensi Pempus dalam menata 'kawasan Golo Mori', begitu mengumkam dalam dua tahun terakhir. Proyek pembangunan infrastruktur bernilai triliunan rupiah, telah mengucur deras di wilayah ini. Hasilnya adalah Golo Mori menjadi kawasan elit dan mewah. Tidak ada jalur transportasi yang selebar dan semulus rute Labuan Bajo-Golo Mori. Dalam waktu relatif singkat, Golo Mori menjadi daerah wisata dan rekreasi yang cukup ramai.
Pempus telah 'mengkapling' titik tertentu dalam kawasan itu sebagai 'KEK'. Untuk kepentingan pencitraan (branding), lokasi KEK itu diberi nama 'Tanah Mori'. Dalam nomen klatur resmi yang dirilis oleh Pempus, KEK itu terletak di Tana Mori. Nama 'Tana Mori' itulah yang kini 'melambung juah dan menggelinding bebas' di hampir semua sudut dunia saat ini.
Perubahan atau pergantian nama itu, pada awalnya tak menuai protes dari masyarakat lokal. Tidak ada persoalan yang berarti ketika 'nama baru' itu, dihembuskan ke ruang publik. Namun, entah mengapa, belakangan 'perubahan nama' itu, ditentang oleh sebagian orang yang mengatasnamakan 'warga adat Golo Mori'. Mereka 'mengecam' dengan keras perubahan nama itu.
Dasarnya adalah Golo Mori merupakan nama yang bernilai historis dan budaya. Mengubah nama Golo Mori menjadi Tana Mori, bagi kelompok ini, identik dengan 'memperkosa' tata budaya dan tata sejarah orang Golo Mori. Golo Mori adalah penanda adat atau identitas khas yang tidak bisa seenaknya dipertukarkan dengan nama lain.
Karena itu, kelompok yang kontra dengan 'nama baru' itu, meminta pemerintah untuk segera membatalkan pergantian nama itu. Dengan kata lain, mereka mendesak agar KEK itu, tetap diberi nama asli, nama yang sesuai dengan 'warisan leluhur', Golo Mori.
Baca: Pariwisata yang Rentan Bencana (Politik)
Argumentasi kubu pro Golo Mori ini, mengingatkan kita pada ungkapan Latin, nomen est omen yang berarti 'nama adalah tanda'. Ada sejumput karakter dan identitas primordial dari 'nama asli Golo Mori'. Ketika nama itu diganti, maka 'hilang juga pelbagai tanda dan nilai' di seberang nama itu. Dengan demikian, protes atau perlawanan kelompok yang mengatasnamakan komunitas adat Golo Mori, tentu memiliki pendasaran yang kuat.
Sementara itu, argumen yang dikemukakan oleh pihak yang pro terhadap nama 'Tana Mori', terkesan dibuat-buat. Pasalnya, pergantian itu hanya dilatari oleh kepentingan menaikkan citra (branding) dari wilayah itu. Selain itu, ada juga yang memakai logika otoritas dan hak dalam menjustifikasi pergantian nama itu. Dijelaskan bahwa pergantian itu sangat bergantung pada pihak yang 'menguasai KEK' dan hal itu juga dilihat sebagai 'hak' dari pemiliknya.
Pertanyaan kritisnya adalah apakah 'citra' lokasi itu sebagai KEK akan suram atau tenggelam hanya karena tetap mempertahankan nama Golo Mori? Sebegitu burukah nama Golo Mori sehingga berimbas pada runtuhnya citra lokasi itu sebagai KEK? Benarkan ada yang 'janggal' dalam nama Golo Mori sehingga tidak layak untuk ditempelkan di titik KEK itu? Apakah sisi popularitas dari KEK itu sangat bergantung pada 'nama baru'? Mengapa Pempus enggan dan bahkan alergi 'menggunakan' nama asli dari kawasan itu?
Penamaan sebuah tempat, dalam literatur ilmiah, dikenal dengan istilah 'toponimi'. Nama, baik nama orang (antroponimi) maupun nama tempat (toponimi) merupakan bagian tak terpisahkan dari manusia dan kehidupan manusia. Itu berarti nama Golo Mori itu merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan orang Golo Mori. Dengan demikian, nama Tana Mori, justru membuat orang Golo Mori semakin 'tersingkir'. Mereka tidak dianggap sebagai bagian dari Golo Mori. Pempus seolah-olah hendak 'memisahkan' lokasi KEK itu dari denyut kehidupan orang Golo Mori.
Benar bahwa 'nama' sangat diperlukan untuk berkoordinasi, berkomunikasi, dan menyampaikan informasi. Tetapi, tidak dengan itu, kita degan gampang dan sesuka hati 'mengganti nama tempat tertentu' hanya karena kita sudah membeli dan atau menguasai lokasi baru itu.
Sebetulnya, pemberian nama tempat (toponimi) memiliki peran dan makna dalam menjaga kedaulatan bangsa. Mengubah nama 'Golo Mori menjadi Tana Mori', dalam arti tertentu, dilihat sebagai bentuk pengingkaran terhadap kedaulatan bangsa Golo Mori. Warga Golo Mori tidak lagi 'berdaulat' di atas tanah mereka sendiri sebab 'rohnya' telah digenggam oleh pihak lain.
Organisasi global seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengafirmasi soal signifikansi dimensi 'toponimi' dalam rangka menghormati kekhasan masing-masing daerah ketika berinteraksi dan berkomunikasi lintas bangsa dan lintas budaya. Bahkan PBB secara khusus membentuk dua organisasi yang menangani isu toponimi ini. Kedua organisasi tersebut adalah UNGEGN (United Nations Group of Experts on Geographical Names) dan UNCSGN (United Nations Conference on Standardization of Geographical Names).
Diberitakan bahwa dalam UNGEGN, pakar toponimi dari tiap negara tergabung dalam divisi berdasarkan pembagian geografis atau linguistik. Indonesia masuk dalam Asia South-East Division.
Dari studi mengenai toponimi diketahui bahwa pemberian nama itu mesti dilatari oleh alasan yang kuat. Artinya ruang lingkup kajian toponimi meliputi penginventarisasian dan kajian nama tempat tidak hanya terbatas pada unsur-unsur yang berada di permukaan tanah dan laut. Kajian toponimi juga mencakup nama pada unsur bawah tanah, bawah laut hingga unsur luar angkasa. Referensi untuk unsur bawah laut harus mengikuti kesepakatan internasional yang dikeluarkan oleh International Hydrographic Burea.
Dengan perkataan lain, argumentasi yang dikemukakan dalam 'membabtis' nama tempat itu, harus bersifat holistik. Semua sisi mesti diakomodasi dan dipertimbangkan. Pertanyaannya adalah apakah 'nama Tana Mori' untuk lokasi KEK di kawasan Selatan Labuan Bajo itu, sudah mempertimbangkan semua aspek yang menjadi keunikan tempat itu?
Kajian toponimi tertua mengenai nama rupa bumi atau nama unsur geografi di Indonesia dilakukan oleh Schnitger pada tahun 1936 mengenai kawasan Muarajambi dalam karyanya “Hindu-Oudheden aan de Batang Hari”. Meski demikian, di Indonesia, toponimi masih belum dikenal secara luas, sehingga perlu dibentuk sebuah organisasi toponimi bagi para pakar dan masyarakat. Dalam konteks ini, kita patut bertanya apakah nama Tana Mori itu sudah melalui kajian para pakar dan diskusi yang intensif dengan masyarakat lokal?
Sekadar untuk diketahui bahwa salah satu komunitas yang mewadahi peminat kajian toponimi di Indonesia adalah Komunitas Toponimi Indonesia (Kotisia) yang dibentuk pada 15 Januari 2015. Komunitas yang digagas oleh sekelompok dosen Universitas Indonesia (UI) dari berbagai disiplin ilmu ini membantu pemberdayaan pelestarian budaya Indonesia melalui preservasi nama lokal.
Jika mengacu pada tujuan pembentukan Kotisia ini, maka tindakan mengubah nama Golo menjadi Tanah, untuk KEK di Golo Mori justru dilihat sebagai 'pelenyapan' budaya dan kearifan lokal. Padahal, dari sisi toponimi, sebuah nama tempat mesti mengandung upaya pelestarian sisi budaya setempat.
Konklusi semakin kuat ketika disandingkan dengan proses pembakuan nama unsur geografi yang harus mengikuti ketetapan PBB yang mewajibkan penamaan menggunakan bahasa lokal/daerah untuk mengekalkan sejarah migrasi penduduk dan jati diri penduduk setempat. Kata 'Golo' lebih merepresentasikan sejarah dan jati diri penduduk setempat ketimbang kata 'Tanah'.
Pada sisi lain, nama unsur geografi sangat sentral dalam Gasetir Nasional karena berfungsi sebagai acuan tunggal, terutama ketepatan penulisan nama yang sangat berkaitan unsur generik dari bahasa daerah. Gasetir adalah daftar nama resmi dan baku yang berfungsi sebagai acuan tunggal untuk semua dokumen resmi, baik cara penulisannya maupun pelafalannya oleh semua pihak. Karena itu, sekali lagi, nama Golo Mori jauh lebih tepat ketimbang 'Tanah Mori'.
Saya berpikir, sangat penting bagi para pengambil kebijakan untuk memperhatikan kajian toponimi dalam 'membabtis sebuah tempat' dengan nama baru. Kajian toponimi, sebenarnya bukanlah pekerjaan sepele dan hal yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Sebaliknya, kajian studi semacam itu sudah merupakan pekerjaan besar berskala nasional dan internasional demi kenyamanan dan ketertiban sosial. Untuk itu, demi kenyamanan dan ketertiban sosial, maka rasanya nama Golo Mori tetap dipertahankan meski titik itu sudah menjadi KEK. Status sebagai KEK itu tidak identik mencabut identitas wilayah itu sebagai 'Golo Mori'.
Baca: WALHI NTT : Tambang bukan masa depan NTT
Tegasnya, nama tempat (toponimi) memiliki nilai tinggi karena dapat mengekalkan jati diri melalui bukti tahapan migrasi penduduk dan sejarah permukiman di suatu wilayah, walaupun semua bukti telah tergerus oleh waktu. Selain membantu penulisan nama yang tepat di peta dan gasetir, toponimi juga membantu penetapan batas administrasi untuk mengurangi konflik, serta berperan meningkatkan efisiensi kehidupan masyarakat perkotaan modern dalam berkomunikasi dan berkoordinasi.
Jadi, nama Golo Mori, hemat saja bisa mengekalkan kisah orang Golo Mori, ketimbang nama Tanah Mori. Jika nama Tanah Mori dipaksa untuk dijadikan 'label' KEK, maka kita sedang memutuskan rantai sejarah warga Golo Mori dengan KEK itu. Pertanyaannya adalah apakah KEK dimaksudkan untuk 'menyingkirkan' orang lokal? Apakah dalam dan melalui KEK itu, kita bisa berbuat apa saja teramasuk mengimpor nama dan memasukkan unsur serba baru dan seraya mendepak penduduk lokal?
Alasan demi 'citra investasi' tidak bisa dikredit untuk 'membantai' alur sejarah dan budaya warga Golo Mori dengan KEK itu. KEK sejatinya bagian yang tak terpisahkan dari Golo Mori. KEK dan Golo Mori adalah satu. Kalau dapat, para penentu kebijakan tidak boleh 'menceraikan' dua entitas ini.
*Penulis adalah warga Mabar. Tinggal di Watu Langkas.