Oleh: Sil Joni*
Menjadi Pers Publik (Selamat Hari Pers Nasional), //foto ist.// |
Pertama nian, kita mengucapkan Selamat Hari Pers Nasional (HPN) pada segenap insan pers yang berkarya di Kabupaten Mabar ini. Berharap para awak pers tak pernah jedah memproduksi karya jurnalistik yang bermutu untuk peningkatan kualitas kehidupan politik demokratis di Kabupaten ini. Kontribusi para jurnalis dalam 'membetulkan' praksis demokrasi di sini, sangat dinantikan.
Baca: Satu Lembar Kelor, Beta Hidup Berpuluh Tahun
Perayaan HPN tahun ini mesti menjadi momentum bagi 'pekerja pers' untuk mengevaluasi komitmen keberpihakannya pada kepentingan publik. Imperasi etis-profetis ini kian relevan dan urgen di tengah maraknya tendensi 'kooptasi institusi pers' oleh politisi dan pebisnis (pengusaha). Idealisme pers 'kian menjauh' sebab terhimpit oleh 'beban kontrak kerja' yang lebih melayani interes dari kelompok tertentu tersebut.
Benar bahwa seorang jurnalis mesti menjunjung tinggi azas netralitas dan independensi dalam melakukan aktivitas jurnalistiknya. Namun, azas independensi yang berlaku dalam dunia pers tidak dimaksudkan untuk 'tidak mengambil sikap' dalam menghadapi sebuah kasus (peristiwa). Pers bagaimana pun juga, secara esensial 'terpanggil' untuk mengabdi dan membela kebenaran yang umumnya melekat dalam tubuh masyarakat kecil (publik). Atas dasar itu, saya kira para agen dan awak media mesti memposisikan diri sebagai 'pers publik'. Sedapat mungkin dalam pemberitaannya, pers tampil sebagai 'pengeras suara' dari kaum tak bersuara, masyarakat kecil yang kerap menjadi obyek manipulasi dan pembungkaman para elit (penguasa).
Nurani dan rasionalitas seorang jurnalis harus diasah secara reguler agar tak ragu dalam menjabarkan preferensi fundamentalnya sebagai 'abdi kebenaran'. Dengan itu mata pena seorang jurnalis tidak 'terbelalak' pada cahaya kepentingan parsial dari kaum penguasa dan pengusaha.
Selain itu, sebagai orang yang bergelut dengan 'dunia tulisan', seorang jurnalis mesti tergerak untuk secara teratur 'mengasah kapasitasnya' dalam mengulas sebuah peristiwa sesuai pakem penulisan jurnalistik yang standar dan berbobot. Bagaimana pun juga, merangkai fakta dalam sebuah narasi yang koheren, logis, simpel, praktis, dan elegan tentu membutuhkan kecakapan berbahasa yang mumpuni. Kita akui bahwa 'menulis' itu, apalagi menulis dalam langgam jurnalisme, membutuhkan skill yang bagus. Tidak ada jurnalis yang 'sudah selesai atau sempurna' dalam hal kecakapan menulis sesuai kriteria yang diidealkan.
Melalui latihan yang kontinyu dan tolak tunduk pada skenario politik sempit dari kelompok tertentu, media mainstream kemungkinan tetap 'dicintai oleh publik pembaca'. Mengapa? Ketika pers arus utama sangat konsisten menampilkan konten pemberitaan yang bermutu, maka media itu tetap menjadi 'rujukan publik' dalam membaca dan mengolah informasi yang bernas.
Baca: Engkau Tidak Akan Mati
Sudah bukan rahasia lagi bahwa animo publik dalam mengonsumsi konten pers disinyalir mengalami penurunan. Penyampaian informasi secara tekstual kehilangan daya pikatnya. Mayoritas publik lebih tertarik pada konten informasi visual yang beredar secara cepat dan massif.
Media alternatif (digital) dengan pelbagai platform aplikasinya menawarkan kemudahan tersebut. Pers konvensional (baca: media cetak) mendapat tekanan serius dari media digital saat ini. Media cetak harus berjibaku "beradaptasi" di era disrupsi teknologi internet agar tidak kehilangan pelanggan (penggemar).
Penetrasi media digital di ruang publik begitu massif saat ini. Kita tahu bahwa media sosial sangat mengandalkan kecepatan dalam mendistribusikan informasi. Efeknya adalah kebanyakan informasi yang berseliweran di media baru ini bersifat bohong (hoaks). Tidak ada tim khusus yang mengedit dan memverifikasi akurasi dari pemberitaan tersebut.
Celakanya, tingkat lietarasi media kita belum terlalu menggembirakan. Publik kerap kurang kritis dalam merespons aneka kabar palsu tersebut. Alih-alih membuat analisis kritis, justru publik dengan antusias merayakan kebohongan demi kebohongan. Berita sensasional dan fenomenal lebih digemari ketimbang isu substansial yang dipaparkan secara mendalam di media mainstream.
Kini, media cetak dituntut untuk terus berinovasi dan berkreasi sesuai dengan watak teknologi digital. Pertanyaannya adalah apakah media cetak harus mengadopsi ideologi kebohongan dan sensasional yang ditawarkan oleh media sosial saat ini?
Hari ini, 9 Februari 2023, publik Indonesia merayakannya sebagai Hari Pers Nasional. Peringatan ini menjadi momentum bagi insan pers untuk merefleksikan fungsi vitalnya sebagai bentara kebenaran yang mencerahkan publik.
*Penulis adalah warga Mabar. Tinggal di Watu Langkas.