Oleh: Fransiskus Ndejeng
Upacara Adat Saka Wela Po’ong di Melar Matim (foto ist.) |
Upacara Saka Wela Po’ong, dapat diterjemahkan secara harafiah, adalah upacara merawat dan menjaga kebun pertanian agar dijauhkan dari gangguan penyakit dan hama yang menyerang komoditasi pertanian dan perkebunan para petani di Melar, Desa Ruan, Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai Timur. Mungkin saja, identik dengan semacam upacara mengusir semua penyakit; berupa jamur, virus dan hama yang mengganggu dan menyerang tanaman para petani dan atau pekebun serta holtikultura.
Baca: Kampung Bebong Diserbu Oleh Anggota PLN
Biasa disebut juga dengan istilah budaya Minang, adalah upacara tolak bala, di kalangan budaya Sumatera dan Aceh. Saat ini, para petani galau karena tanaman pisang terserang virus. Batang pisang tersebut layu sejak tahun lalu, yang membunuh hampir semua pisang di wilayah Manggarai Timur, dan saat ini sedang merambah ke wilayah Kabupaten lainnya di Flores bagian Barat. Kalau di sawah petani padi diserang ham penggerek batang padi, disebut dengan hama wereng coklat batang.
Menurut pengakuan beberapa petani dari Melar, seperti diungkapkan oleh kraeng Yohanes Hami, virus layu batang pisang sudah menyerang dan merambat ke tanaman lainnya; seperti Singkong dan Keladi (Talas), Kebun Coklat, Kemiri, Ubi Jalar dan ubi Tatas.
Dampaknya, omzet penjualan pisang antar kota dan antar pulau di daratan Flores bagian Barat, seperti kota Labuan Bajo terancam terputus. Apalagi untuk kebutuhan ekonomi makan minum sehari-hari akan berdampak pada kelaparan hebat. Di samping itu, kebutuhan batang pisang untuk cadangan makanan bagi ternak Babi dan Sapi terputus, karena stock makanan tidak ada lagi.
Baca: Program Misa Ekologis Paroki Roh Kudus
Oleh karena itu, roda perputaran ekonomi untuk kebutuhan pendidikan anak sekolah akan ikut terganggu. Sebab, persediaan stok pangan pisang terputus. Dilanjutkan dengan dampak sistemik terhadap kematian ternak babi dan atau Sapi karena ketiadaan makanan.
Rakyat pasti mengalami kelaparan, dan anak sekolah akan terancam putus sekolah karena ketiadaan biaya hidup dan pembayaran SPP.
Atas dasar inilah kraeng Sebastinus Anis, yang diikuti oleh tetua adat Melar, kraeng Aleks Jama (71), melaksanakan ritus upacara Saka Wela Po’ong (menjaga dan merawat tanaman Coklat, Vanili, Kopi, dan tanaman lainnya), agar terhindar dari gangguan dan serangan hama yang akan menyerang tanamannya di kebun sekitar Wae Labe, Ngangat dan sekitarnya.
Upacara ini dibuat di tengah kebun Coklat, dan tanaman lainnya, dengan fasilitas adat sesuai pedoman adat para leluhur orang Manggarai Timur. Seperti kurban persembahan, seekor ayam jantan warna putih, dan bakar Kolo, diikuti dengan upacara dan pernyataan persembahannya oleh sang penutur adat, kraeng Aleks Jama. Semacam melakukan upacara persembahan untuk memberi makan kepada arwah luhur, dan mempersembahkan korban bakaran dan asap api di tengah kebun. Dilengkapi dengan “upacara bakar Kolo”, red. Manggarai Timur (sejenis nasi yang dimasak pakai bambu muda yang telah dilapisi daun pisang muda, dan atau daun kelapa muda).
Upacara atau ritus budaya Saka Wela Po’ong, ini perlu terus dilestarikan sebagai aset budaya dari Melar, Manggarai Timur, bernilai sakral untuk menyelamatkan alam lingkungan kebun tanaman petani, dan hortikultura; agar dijauhkan dari gangguan dan serangan hama penyakit tanaman.
Selain itu juga, ritus ini dibuat untuk melindungi penduduk kampung dari semua jenis penyakit dan gangguan lainnya, yang menyerang warga dan berbagai jenis tanaman.
Inti dari upacara berupa ritus budaya” Saka Wela Po’ong”, yang telah dilakukan di Kebun Wae Labe, Melar, Dusun Watu, Desa Po’ong Ruan, Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai Timur, ini, bertujuan (1). untuk menyelaraskan kepentingan alam lingkungan, seperti kebun petani, holtikultura. (2). Mendinginkan suasana alam yang terserang dan terganggu oleh pergeseran keseimbangan alam yang terjadi akibat perubahan musim yang ekstrem. Dampak dari alam yang ekstrem, muncul berbagai jenis penyakit dan bakteri, virus, dan jamur yang timbul dan menyerang tanaman pertanian dan hortikultura. Bisa juga, terjadi pada manusia dan penduduk di kampung, desa; dibuat upacara silih dan atau tolak bala. Disebut dengan upacara Saka Wela Po’ong (dialeg Manus Matim).
Ada ungkapan dan tutur adat berupa doa dan ujud persembahan, “ One Leso Salen agu one Wae Laun” (red. Mengalir bersama air yang mengalir dan jatuh bersama mata hari yang terbenam semua hal yang membawa mala petaka, sakit dan penyakit yang menyerang tanaman petani). Porong uwa haeng wulang agu porong langkas haeng Ntala (Semoga tumbuh subur sampai mencapai bintang dan mencapai bulan). Bahasa adat Uwa gula bok leso (red. Manggarai, semoga tumbuh subur dan sehat selalu).
Di dalam ritus budaya Saka Wela Po’ong, seorang pawang adat biasa menarasikannya, untuk menghormati arwah leluhur, dan mempersembahkan sesajian kepada Sang Ilahi, pencipta langit dan bumi, agar mendapat kekuatan dan kenyakinan, terjadi proses tumbuh subur setiap tanaman yang sudah ditanami.
Selain itu, terhindar dari gangguan dan serangan berbagai jenis penyakit yang akan menyerang tanaman di kebun petani, baik di ladang maupun di sawah.
Oleh karena itu, menurut penulis, bahwa upacara atau ritus adat Saka Wela Po’ong seperti ini perlu disatukan lagi secara kolektif dengan ritus liturgi gereja di kelompok umat basis, atau pun di tingkat Stasi (Kapela), berupa Misa Ekologis.
Baca: Ketika "Calon Pastor" Meracik Kelor Bersama Para Ibu Guru
Korban persembahan selalu disiapkan oleh umat kelompok, atau tingkat Stasi, ataupun ditingkat Paroki dalam wujud nyata, berupa hasil panen umat dari kebun. Atau dengan cara lain dibuat perencanaan misa ekologis di tengah kampung untuk mengusir semua roh jahat, berbagai jenis penyakit, yang menyerang tanaman para petani, peternak, dan jenis lainnya. Sehingga terjadi hubungan antara alam sekitarnya dengan segala seluk beluknya secara harmonis antara budaya dan alam sebagai media kehidupan manusia, tanaman, dan segala isinya dengan sang pencipta alam semesta dalam suatu keseimbangan konstan, tidak bergeser.
Mungkin saja, ada sejenis upacara yang tidak boleh dilewatkan dalam budaya kita orang Manggarai umumnya, barong uma duat, barong wae teku, barong nantas bate labar, barong boa. (Red. Manggarai: minta permisi atas restu hasil atas kebun, minta permisi di wae teku sebagai sumber air yang hidup; minta permisi di kampung dan munta restu dari orang yang telah meninggal di kubur). Semuanya, disatukan dalam suatu upacara yang bersifat liturgis gereja dalam bentuk misa ekologis.
Rekomendasi penulis untuk para tetua adat dan tokoh Gereja katolik untuk bersatu dalam menanggapi setiap persoalan lingkungan hidup dan hasil panen yang merosot akhir-akhir ini akibat dari serangan berbagai jenis penyakit dan hama adalah bentuk ujian iman bagi umat Allah di keuskupan Ruteng khususnya dan dunia secara global.
Oleh sebab itu, dalam kaitan dengan tema Tahun 2023 sebagai Tahun Pastoral Ekonomi Berkelanjutan SAE (Sejahtera, Adil dan Ekologis), dianjurkan untuk membuat Misa Ekologis di setiap wilayah paroki dan Stasi di seluruh wilayah keuskupan Ruteng. Tidak hanya berpusat pada kelompok umat yang dianggap rentan (miskin, lemah dan tak berdaya), namun untuk umat secara keseluruhannya. Karena dampaknya bagi kepentingan dan kebutuhan bagi semua umat.
Antara budaya dan agama (gereja Katolik) berjalan bersama secara inkulturatif. Tawaran yang diberikan dalam bentuk catatan penulis ini barangkali dapat dipertimbangkan bagi para pengambil kebijakan di tingkat pastoral sebagai bahan evaluasi dan refleksi untuk bisa ditindaklanjuti dalam bentuk tataran implementasi di tingkat kelompok umat basis gerejawi, stasi atau paroki masing-masing.
Tantangan ekonomi dan ekologis, yang bermaksud untuk mencapai kesejahteraan, sangat tergantung dari ketersediaan pangan, logistik, yang telah direncanakan alam sekitar untuk kemakmuran umat Allah di Keuskupan Ruteng. Dengan kata lain, alam sehat, ekonomi berlimpah susu dan madu, maka umat juga sehat dan makmur sejahtera. Semoga!
Labuan Bajo, 6 Pebruari 2023. Penulis tinggal di jln. Bandara Soehadun, Labuan Bajo.