Oleh: Sil Joni*
Wae Galangku Sayang, Wae Galangku Malang (foto ist.) |
Padang Terang, dalam satu tahun terakhir terlihat 'terang'. Setelah jalan utama Nggorang-Terang 'ranpung' pengaspalannya, wilayah ini juga 'mendapat pasokan energi listrik. Boleh dibilang, orang Terang baru 'mencicipi' situasi merdeka dalam arti sesungguhnya.
Baca: "Liang Rodak dan Tiwu Empo": Spot Wisata Potensial Nampar-Mabar
Masih ingat dalam layar ingatan kita, bagaimana Viktor Bungtilu Laiskodat (VBL), gubernur NTT, dalam sebuah kunjungannya ke salah satu kampung di padang itu, 'disorak-soraki warga bahkan digendong lantaran tak kuasa menahan gembira perihal keberadaan jalan raya yang sudah beraspal kategori hotmix. Bagi warga Terang, VBL adalah gubernur yang 'menuntaskan' pekerjaan jalan yang nyaris tidak pernah diperhatikan oleh para gubernur sebelumnya.
Publik padang Terang 'bersorak riang' meski sungai 'Wae Galang' di kampung Kaca, belum dibuat jembatan. Kita tidak tahu pasti mengapa Wae Galang menjadi satu-satunya sungai di ruas jalan Propinsi Nggorang-Golo Welu yang belum dibuat 'jembatannya'.
Padahal, setiap musim hujan tiba, Wae Galang kerap hadirkan 'persoalan besar', baik bagi pengguna jalan, maupun bagi anak-anak sekolah dari Kaca. Soalnya, baik SD maupun Sekolah Menengah Pertama (SMP), terletak di seberang sungai itu. Praktisnya, ketika banjir bandang datang, mereka mesti 'bertarung' antara hidup atau mati dalam menyeberangi jalan itu.
Persis kondisi semacam itulah yang terjadi di kampung Kaca beberapa hari yang lalu. Ketika padang Terang 'diguyur hujan lebat', air sungai Wae Galang 'meluap'. Banjir bandang pun tak bisa dihadang.
Sebagian warga di tempat itu coba mengambil inisiatif dengan membuat 'jembatan darurat' dari batang bambu. Hanya dengan upaya dan 'kreativitas manual' semacam itu, anak-anak sekolah bisa tiba di sekolah masing-masing dengan selamat. Meski jalanan dipenuhi air dan becek, mereka tidak menyerah. Semangat untuk menimba ilmu di sekolah, tetap terpelihara dengan baik.
Sementara itu, rasanya sulit bagi pengendara kendaraan roda dua dan roda empat untuk 'melewati' arus sungai yang deras itu. Mereka terpaksa mengikuti 'rute lain', di kampung Nggieng yang kondisi jalannya sangat memprihatinkan. Jika tidak, para pengendara harus 'rela antri' sampai arus banjir agak surut. Bagi pengendara sepeda motor, jika ingin segera melewati sungai itu, mereka harus membayar jasa warga lokal untuk 'memikul' kendaraan itu ke seberang kali.
Baca: Destinasi Wisata Pasir Panjang, Dusun Soknar, Desa Golo Mori
Di satu sisi, banjir di sungai Wae Galang membuat perjalanan para pengguna jalan dan anak sekolah terhalang. Tetapi, pada sisi yang lain, justru mendatangkan 'rezeki' bagi sebagian warga di kampung itu. Mereka menawarkan 'jasa' mengangkut kendaraan roda dua, dengan tarif yang variatif. Boleh jadi, kelompok yang 'mendulang untung' itu, berharap agar jembatan itu tidak perlu dibangun atau setidaknya pembangunannya diundur.
Terlepas dari kisah sedih dan gembira itu, satu yang pasti bahwa Wae Galang bagi orang Kaca dan sekitarnya, sangat vital perannya. Bukan rahasia lagi bahwa Wae Galang merupakan salah satu 'sumber air', baik untuk keperluan domestik, maupun untuk kepentingan pengairan di persawahan. Orang Kaca, dengan demikian, sangat 'sayang' dengan kali Wae Galang itu.
Rasa sayang itu, mungkin semakin tebal dan kuat jika area aliran sungai yang membelah jalan di ujung kampung Kaca itu, dibangun jembatan representatif. Dengan itu, ketika musim hujan tiba dan banjir bandang datang, tidak menghadirkan 'situasi malang' bagi warga Kaca khususnya dan para pengguna jalan umumnya.
Kehadiran jembatan dirasa sangat mendesak sebab 'rute' menuju Terang-Noa-Golo Welu yang lebih mulus, hanya di kampung Kaca. Kondisi jalan yang lebar dan beraspal hotmix, membuat para pengendara 'melaju' dengan kecepatan yang konstan. Tentu, situasinya semakin 'nyaman' jika kali Wae Galang dibangun jembatan.
Karena itu, kita berharap agar para 'pengambil kebijakan' di daerah ini, segera merespons kenyataan miris ini dan mendengar 'jeritan' warga yang merasakan efek buruk dari ketiadaan jembatan di Wae Galang. Benar bahwa status jalan Nggorang-Golo Welu adalah 'jalan Propinsi'. Tetapi, tidak salah juga jika Pemerintah bersama DPRD Mabar 'meneruskan' keluh-kesah warga ini ke telinga gubernur NTT.
Baca: "Belajar Beratap Langit" (In Memomorian Yohanes Wao Lewar)
Kekuatan dan kapital politik mesti segera 'digalang' agar Wae Galang tidak menghadirkan 'situasi malang' yang menyebabkan warga 'tunggang langgang' kala banjir bandang datang. Rasa sayang terhadap Wae Galang kian membuncah ketika jembatan sudah terpasang. Kita menunggu tanggapan kreatif dari para pemimpin politik kita.
Jalan dan jembatan adalah instrumen vital yang membuat publik sejahtera. Pemerintah mempunyai tanggung jawab moral untuk membangun infrastruktur fisik seperti jembatan agar kondisi kemaslahatan warga lekas termanifestasi.
*Penulis adalah warga Mabar. Tinggal di Watu Langkas.