Catatan Anak Kampung Yang Menjadi Misionaris untuk Pak Gubernur NTT dan Kadis Pendidikan Provinsi NTT (ilustrasi: detiknews) |
Saya dan bapak berdua adalah anak kampung, dari keluarga juga yang sederhana. Saya tidak tahu latar belakang keluarga orang tua bapak berdua, mungkin PNS dan saya anak seorang petani yang mengerjakan ladang orang, yang menjadi buruh pemetik kelapa orang lain dengan sewa dua buah kelapa per satu pohon yang dipetik. Namun kita sama-sama orang kampung. Tidak usah malu sebagai orang kampung. Orang kampung kualitas kota atau luar negri itu yang penting.
Baca: Penyingkap "Duduk Perkara"
Kita sekolah di kampung paling tidak SD hingga SMP. Kalaupun saat SMP atau SMA pindah sedikit agak ke “kota” namun tidak kota-kota amat. Ya, namanya kota Kabupaten atau Propinsi namun tidak sebandinglah dengan di Jawa atau Jakarta pada waktu itu atau hingga hari ini ada perubahan namun belum signifikan juga. Kita memiliki guru yang juga berasal dari kampung yang saat itu belum menyandang titel Sarjana Strata Satu, Master ataupun Doktor. Kalaupun ada itu ketika kita sudah duduk di bangku SMP dan SMA yang waktu itu masih bertitel BA dan Drs.
Tapi yang dari kampung itulah yang mengantarkan bapak menjadi Gubernur, Kepala Dinas Pendidikan dan saya menjadi Misionaris. Kalaupun bapak berdua adalah lulusan UGM atau Universitas ternama lainnya di Indonesia, bangga dan bersyukurlah tapi jangan lupa juga dengan nama besar Universitas kebanggaan kita di NTT yang paling tidak saya ketahui adalah Undana dan Unika. Jangan lupa pula bahwa bapak berdua pernah sekolah di kampung dengan para guru dari kampung pula yang berkualitas.
Saya bukan lulusan seminari, tapi lulusan sebuah SMA NEGRI di Lewoleba yang sekarang dikenal sebagai Kabupaten Lembata. Kondisi sekolah yang waktu itu jauh dari hiruk pikuk keramain, jalan kaki ke sekolah yang dipenuhi pohon gamal, bidara, asam, alang-alang di sekelilingnya tapi saya bangga, bangga pada para guru dan teman-temanku yang mengantarkan saya menjadi seorang imam dan misionaris.
Setelah menjadi misionaris, saya kemudian menyadari bahwa kualitas pendidikan sekolah saya SMAN Lewoleba waktu itu, bukan karena kami masuk jam lima pagi, bukan menumpangi kendaraan atau juga bukan karena para guru saya, tapi karena kemauan dan ketekunan saya untuk belajar, mengejawantahkan materi pelajaran yang diajarkan oleh para guru saya serta dukungan kedisiplinan dari kedua orang tua saya yang tidak pernah mengeyam pendidikan sekalipun pendidikan dasar.
Saya bisa menulis dan paling tidak dikenal oleh orang lain bukan karena saya sekolah di Seminaris, SMA Suradikara atau kuliah di UGM, atau di luar negeri, tetapi karena saya seorang lulusan SMAN yang dididik oleh para guru saya baik dan disiplin serta kemauan untuk mengembangkan pendidikan yang telah saya terima.
Baca: Lidah Tak Bertulang, Pembangunan Yang Diharapkan Tinggal Cerita
Memang kualitas SMAN untuk wilayah NTT seringkali diremehkan, tapi setelah saya merefleksikan bahwa sebuah sekolah seperti sekolah saya waktu SMA yaitu SMAN menjadi berkualitas karena saya pribadi sebagai alumni yang harus mampu menunjukan kualitas sekolah saya dengan mengembangkan talenta serta materi pengajaran saat itu sebagai penuntun moral dan iman saya serta ikut menjaga nama baik sekolah saya. Saya harus memberi kesaksian kualitas sekolah saya dengan mengembangkan talenta dan kreativitas dan bukan soal jam masuk sekolah.
Saya anak kampung tapi saya boleh bersyukur dididik oleh orang tua saya yang disiplin. Saya masih ingat ketika SD. Setelah pulang sekolah tidak langsung bermain tetapi disuruh ambil dan isi air sampai penuh terlebih dahulu. Setekah itu disuruh tidur siang. Sore boleh bermain tapi jam lima sore sudah di rumah. Mandi dan belajar sendiri diawasi kakak-kakak saya. Malam jam tuju makan bersama dan setelah itu ceritra bersama kakak, bapak dan mama di teras dapur dan sekitar jam 9 malam sudah tidur malam. Demikian juga ketika saya pulang ke rumah pada hari Sabtu saat SMP dan liburan saat SMA, kedisiplinan ini dijalankan.
Orang tua saya orang kampung, tidak pernah sekolah tetapi menurut saya mereka memiliki kualitas sarjana dalam mendidik kami anak-anak mereka. Sebagai bentuk penghormatan saya kepada bapak dan mama saya selalu mengatakan bahwa mereka adalah Pahlawan Kehidupan karena dari rahim yang sederhana lahirlah seorang imam dan misionaris.
Baca: Labuan Bajo "Berdemonstrasi Lagi"
Pada akhir tulisan ini saya hanya mengajak bapak berdua untuk tidak melupakan dari mana kita datang. Kita datang dari kampung. Juga jangan melupakan sekolah dan para gurumu yang telah mengantarmu menjadi seorang Gubernur dan Kepala Dinas. Semuanya dari kampung. Meski dari kampung tapi kualitas membanggakan. Jika hari-hari ini alasan masuk jam lima pagi untuk meningkatkan mutu pendidikan dan agar bisa kuliah di UGM bahkan Harvard, bapak berdua sedang mengkhianati kebaikan sekolah dan para gurumu termasuk sedang meremehkan universitas-universitas kebanggaan orang NTT dan meragukan kompetensi para dosen dan profesor yang mengajar pada universitas-universitas yang ada di NTT.
Manila: 01-Maret, 2023
Tuan Kopong, msf