Oleh: Sil Joni*
Ketika "Musafir Kebenaran" Baku Hantam (foto ist.) |
Status ontologis manusia sebagai "makhluk terbatas", ternyata punya implikasi logis yang di satu sisi memungkinkannya untuk 'terus mencari', dan di sisi lain 'mengakui kekurangannya' dalam menggenggam kebenaran secara utuh. Factum keterbatasan itu, memacu daya kreatif manusia untuk menyingkap esensi dari sebuah kebenaran. Kendati manusia tak sanggup 'merengkuh kebenaran' secara absolut, tetapi dirinya selalu termotivasi untuk menggapai apa yang disebut 'benar' itu.
Baca: Bincang-bincang Politik Ala Anak Muda Mabar
Tidak heran jika terdapat perbedaan pandangan atau pendapat tentang sebuah obyek. Kita coba membahasakan 'keapaan' sesuatu dari perspektif tertentu. Rasanya terlampau ambisius dan arogan jika kita mendaku bahwa semua 'sudut pandang' telah terakomodasi dalam cara kita membaca sesuatu.
Sadar akan 'keterbatasan' merupakan modal yang baik ketika terjadi 'baku hantam' dalam menyampaikan ide. Bahwa perbedaan pendapat itu merupakan hal wajar sebab kita menganalisis sesuatu dari cakrawala pemahaman yang terbatas. Baku kritik atau bantah-membantah dalam sebuah diskusi, menjadi sebuah keniscayaan sebab kita tidak pernah tiba di titik kebenaran yang final.
Perbedaan pemikiran inilah yang membuat sebuah perbincangan atau diskusi terasa lebih seru dan berbobot. Kebenaran yang dipercakapkan selalu dilihat dalam terang dialektika. Kita tidak bisa memonopoli kebenaran hanya karena merasa diri lebih superior dan punya otoritas yang kredibel terhadap sebuah pokok pembicaraan.
Perdebatan akan jauh lebih elegan dan berwibawa ketika kita tidak menegasikan semacam etika diskursus yang baik. Tidak salah juga jika kita menyadap ‘nafas keilmiahan’ dalam perbincangan tersebut. Dunia pemikiran akan berkembang jika dan hanya jika kita tidak terjebak dalam absolutisme atau dogmatisme yang akut. Mentalitas ilmiah sebetulnya ‘pemali’ untuk mengkultuskan pemikiran sendiri. Kita menyajikan pemikiran yang bersifat diskursif, bukan kumpulan dogma yang mesti diterima oleh siapa saja.
Perspektif seseorang entah diadaptasi dari doktrin keilmuan tertentu, tentu bersifat terbatas. Klaim bahwa ‘tafsiran kita lebih baik dari orang lain’ tentu saja bisa dibaca sebagai ekspresi arogansi intelektual.
Baca: Mengabadikan Tubuh
Karena itu, dalam membangun perdebatan di ruang publik, kita perlu ‘menghargai perspektif’ partner debat. Bagaimanapun juga, persepsi individual itu mesti dikonfrontir dengan gagasan orang lain. Kebenaran yang kita sajikan tidak bersifat absolut, tetapi bersifat dialogis dan terbuka untuk diperdebatkan.
Atas dasar itu, maka manusia sebetulnya bukan sebagai 'pemilik kebenaran', tetapi sang pencari/penjelajah (musafir) kebenaran. Manusia berziarah dalam lintasan arus waktu untuk terus mencari dan mengabdi kepada kebenaran.
Tentu, jika kesadaran sebagai 'musafir kebenaran', terinternalisasi dalam diri setiap partisipan diskursus, maka perbincangan itu menjadi semakin alot dan menarik. Mengapa? Kita pasti selalu haus untuk 'menggali dan mencari' akar terdalam dari status quetionis sebuah isu yang tentu saja tidak pernah dijawab secara tuntas.
Kehausan intelektual itulah yang saya tangkap ketika mampir di serambi Komodo Lawyers Club (KLC) hari ini, Rabu (8/3/2023). Seusai santap siang di restoran 'Mari Makan' bersama salah satu Bakal Calon Bupati (Bacabup) Manggarai Barat (Mabar), Irenius Surya, saya 'tergoda' untuk singgah di markas KLC itu. Pasalnya, di ruang depan, sudah bersanding manis dua sosok yang menurut saya layak dijuluki 'musafir kebenaran sejati', yaitu Stefan Rafael dan Plasidius Azis De Ornay (Presiden KLC).
Mereka 'menyambut saya' dengan penuh kehangatan. Tak butuh waktu lama untuk 'menghadirkan diskusi berkelas' dalam momen informal itu. Kerja intelektual dan proyek idealisme yang sedang digodok KLC, menjadi isu pertama yang dikupas. Stefan Rafael coba membedah topik itu dalam terang pemikiran sang proklamator, Soekarno. Jika proyek idealisme KLC dalam bentuk media 'KLC Podcast' terwujud, maka KLC akan berperan sebagai 'penyambung lidah rakyat' sekaligus 'mewartakan kebaikan' kepada sesama.
Sementara itu, sang presiden KLC, Azis De Ornay, terlihat begitu antusias mempresentasikan 'mega proyeknya' bagaimana mengubah markas KLC dari sekadar 'wadah kumpul-kumpul', menjadi 'dapur intelektual'. Rencananya, bagian tengah dari kantor itu akan dipakai sebagai 'Ruang Podcast'. Sebelum dan sesudah 'acara Podcast mengudara', para nara sumber dan kru akan menikmati aneka minuman dan kudapan yang terletak di pojok depan. Dengan itu, maka tidak hanya 'otak yang diisi', tetapi juga perut kita bakal dilayani dengan baik. Rasanya tidak salah jika Azis cum suis membaptis tempat itu sebagai 'dapur intelektual'. Sisi intelektualitas dan asap dapur terintegrasi dalam sebuah kemasan acara yang menarik.
Obrolan 'selepas santap siang' itu, semakin intens dan asyik. Boleh jadi, karena hangatnya perbincangan itu, seorang Jon Kadis 'keluar juga dari persembunyiannya'. Beliau tanpa ragu menyambangi markas KLC untuk coba 'berpartisipasi' dalam sesi debat itu. Kehadiran beliau, ternyata justru membuat suasana dan tensi diskusi semakin tinggi.
Baca: Pastor Tidak Sedang Baik-Baik
Jon Kadis dikenal luas sebagai salah satu 'penulis artikel opini paling produktif di Mabar sekaligus komentator isu sosial-politik yang sangat kritis. Tilikannya selalu tajam dan menukik ke inti persoalan. Tidak jarang kritikan beliau membuat 'telinga para pejabat publik merah dan terasa panas'. Jon Kadis adalah tipe pribadi yang omong apa adanya dan transparan (blak-blakan).
Gaya bertutur blak-blakan dan kritis ini diperlihatkan juga dalam diskusi di 'pondok KLC' kali ini. Beliau tanpa ampun 'menggunting/memotong' argumen Stefan Rafael soal 'relativitas kebenaran'. Bagi Jon, ada satu kebenaran yang tidak bisa dibantah lagi, yaitu Tuhan Allah. Dunia akan kacau jika kita tidak mengakui 'pondasi dan sumber utama' dari kebenaran.
Kendati Stefan Rafael coba menggunakan filsafat Hegel untuk memperkuat argumentasi perihal 'kebenaran yang tidak absolut' itu, Jon tetap pada pendirian. Diskusi semakin ramai sebab 'bantahan dan guntingan' Jon itu, seakan memacu adrenalin intelektual kami untuk 'berpikir lebih keras' lagi.
Tidak ada jawaban definitif tentang topik ini. Pertanyaan soal absolutisasi kebenaran dan implikasi dari dictum itu, dibiarkan menggantung. Semua kami sepakat bahwa 'otak kita' terlampau kecil untuk menyelami samudra kebenaran yang maha-luas itu sampai tuntas. Selubung misteri kebenaran yang tak tuntas itu, memungkinkan kita untuk terus menjadi 'musafir' yang rindu ada dalam pelukan Sang Kebenaran.
Manusia boleh 'baku hantam' dalam menyelami esensi kebenaran itu. Tetapi, hal itu bukan sebuah 'garansi' untuk bisa memeluk kebenaran secara utuh. Baku hantam itu, sebetulnya dilihat sebagai 'metode' dalam mencari jejak kebenaran di muka bumi ini.
*Penulis adalah warga Mabar. Tinggal di Watu Langkas.