Oleh: Sil Joni*
Memangkas "Gulma Kehidupan" (foto ist.) |
Pagi itu, saya melakukan 'aktivitas' yang tidak biasa. Saya merasa 'terganggu' dengan banyaknya 'rumput liar' yang tumbuh berimpitan dengan pelbagai jenis bunga yang ada di halaman rumah kami. Kebetulan cuaca tak terlalu gerah, dengan penuh semangat, saya coba 'menyingkirkan' pelbagai rumput liar tersebut.
Baca: Kapolres Manggarai Ungkap Penyebab Kematian Kepala SMAK St. Klaus Kuwu, Romo Ansi Syukur Pr
Tulisan ini, tentu saja, terinspirasi dari 'kisah kecil' itu. Meski sederhana, tetapi saya coba 'membingkainya' dalam horizon yang lebih luas. Tindakan 'memangkas gulma' di beranda rumah, coba dihubungkan dengan ikhtiar 'melenyapkan' gulma yang tumbuh, baik dalam taman hati, maupun dalam taman hidup kemasyarakatan.
Musim hujan sudah tiba. Semua makhluk hidup bersorak riang menyambut datangnya 'hujan penuh berkat' itu. Rerumputan dan bunga-bunga ikut tersenyum. Hujan membuat mereka tampil lebih segar setelah sebelumnya 'layu' terpanggang sinar mentari yang sangat panas.
Boleh jadi, halaman rumah kita yang biasanya ditata menjadi sebuah 'taman bunga', terlihat lebih memesona saat ini. Pelbagai jenis puspa yang kita tanam dan rawat, semakin sedap dipandang. Tetapi, meski tidak ditanam, pada taman itu, akan tumbuh pelbagai rumput liar sebagai tanaman pengganggu. Kehadiran tanaman pengganggu semacam itu, tidak hanya 'menodai panorama taman', tetapi juga bisa merusak dan mengerdilkan pertumbuhan bunga.
Kehidupan manusia bisa diibaratkan sebagai sebuah taman. Semua hal yang dibutuhkan oleh manusia dapat bertumbuh subur di dalamnya. Tetapi, tak bisa dihindari bahwa pada taman itu juga, muncul hal-hal negatif yang bisa mengganggu perkembangan unsur positif dalam hidup kita. Hal-hal destruktif semacam itu, dapat dikategorikan sebagai 'gulma kehidupan'.
Baca: Kepsek SMA Santu Klaus Kuwu Akhiri Hidupnya Dengan Gantung Diri Di Kamar Tidur
Beberapa 'gulma' yang tumbuh dalam taman hati kita adalah egoisme, iri hati, tamak, dendam kesumat, angkuh, fanatisme yang berlebihan, apatisme, ingin menang sendiri, glorifikasi berlebihan terhadap kemampuan diri, malas, dan pelbagai sifat negatif lainnya. Jika 'gulma kehidupan' ini, begitu mendominasi 'taman hati' kita, maka boleh jadi, kita menjadi manusia yang suram dan kerdil.
Gulma kehidupan tersebut selain 'merusak' taman dalam jagat mikrokosmos, juga berpotensi 'menodai' taman dalam ruang makrokosmos (kehidupan sosial). Jika sebuah kelompok masyarakat dihuni oleh pribadi-pribadi yang 'dikuasai' oleh gulma kehidupan, maka rasanya sulit untuk mencapai suasana yang damai dan harmonis. Kehidupan sosial akan lebih banyak diwarnai dengan situasi yang antagonistik dan konfrontatif.
Kita tahu bahwa gulma adalah tanaman yang tumbuh di sekitar tanaman yang dibudidayakan pada taman atau kebun. Kehadirannya tentu saja tidak diinginkan. Untuk itu, gulma merupakan hama yang harus dikendalikan bahkan diberantas karena menyebabkan kerugian secara langsung maupun tidak langsung.
Kerugian secara langsung dari keberadaan gulma pada budidaya tanaman adalah terjadinya kompetisi antara tanaman pokok dengan gulma dalam memperoleh cahaya, ruang, hara dan air. Besar kemungkinan, tanaman yang kita pelihara, tidak bisa tumbuh secara maksimal, alias kerdil. Sedangkan kerugian secara tidak langsung terjadi apabila gulma tersebut menjadi tanaman inang dari hama dan penyakit tanaman.
Oleh sebab itu, pengendalian gulma yang tepat merupakan faktor penting untuk dapat meningkatkan produksi dari tanaman. Demikian halnya dengan kehidupan seorang anak manusia. Saya kira, agar hidup kita bermutu dan produktif, maka pelbagai gulma kehidupan, harus disingkirkan. Jika 'gulma kehidupan' tidak ditangani dengan baik, maka besar kemungkinan hidup kita bersifat stagnan dan kerdil.
Tetapi, untuk terlaksananya program pengendalian gulma dengan baik, ada beberapa faktor yang harus diperhatikan antara lain; biologi gulma, daur hidup, perkembangbiakan, cara penyebaran dan cara tumbuh. Hal yang sama berlaku juga dalam upaya pemberantasan terhadap 'gulma kehidupan'. Kita mesti tahu jenis gulma yang mengganggu perkembangan kepribadian kita, paham pola perkembangbiakannya, cara penyebaran dan proses pertumbuhannya dalam diri kita. Dengan pengetahuan dan pemetaan yang akurat, kita bisa mengambil langkah konkret untuk mengatasi isu gulma kehidupan itu.
Pada prinsipnya, pengendalian gulma dapat dilakukan dalam bentuk pencegahan dan pengendalian. Pencegahan dapat dilakukan dengan menerapkan peraturan perundang-undangan untuk mencegah masuk dan menyebarnya suatu jenis gulma dari suatu daerah atau negara lain. Salah satu caranya adalah dengan karantina.
Dalam beberapa literatur tentang 'tanaman pengganggu', ditemukan beberapa metode yang efektif perihal pemangkasannya. Secara umum, pengendalian gulma itu dapat dibagi dalam beberapa metode berikut. Pertama, pengendalian secara fisik. Pengendalian dengan metode ini dapat dilakukan dengan cara pengolahan lahan, penggenangan air, pencabutan dan pembakaran, sehingga pertumbuhan gulma dapat dihambat.
Baca: "Liang Rodak dan Tiwu Empo": Spot Wisata Potensial Nampar-Mabar
Kedua, metode kimia. Pengendalian gulma dengan memanfaatkan senyawa kimia yang disebut herbisida. Herbisida yang digunakan dapat berupa racun kontak ataupun sistemik. Keuntungan dari metode pengendalian ini lebih cepat dan efektif dalam pengendalian gulma, tetapi dapat menimbulkan efek residu pada tanaman pokok dan lingkungan.
Ketiga, metode biologis. Pada metode ini pertumbuhan dan perkembangan dari gulma dikendalikan secara biologis dengan memanfaatkan organisme seperti ikan, bebek, hewan ternak (sapi, kerbau, kambing dan ayam.
Keempat, metode budi daya. Metode ini lebih dikenal dengan pengendalian secara ekologis dengan memperhatikan prinsip pengelolaan lingkungan ekologi tumbuh tanaman, sehingga lebih menguntungkan tanaman padi dengan metode pergiliran tanaman.
Kelima, budi daya pertanaman. Metode ini dikembangkan dengan cara memanfaatkan varietas adaptif, pengaturan jarak tanam, pengaturan pemupukan dan pengaturan waktu tanam.
Keenam, pengendalian secara terpadu. Metode ini memanfaatkan beberapa cara tersebut di atas secara bersamaan dengan tujuan untuk mendapatkan hasil yang terbaik untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman pokok yang dibudidayakan.
Tentu setiap metode mempunyai sisi plus dan minusnya. Ada metode yang bersifat instan tetapi bisa membawa bencana bagi keberadaan tanaman yang kita budidayakan. Saya berpikir, tidak salah juga jika kita belajar dari metode pengendalian gulma dalam pengertian denotatif itu. Kita mesti menerapkan cara atau proses yang benar dalam memangkas 'hama atau gulma', baik dalam kehidupan personal, maupun kehidupan sosial.
Kita tidak ingin metode yang kita pakai bersifat kontraproduktif, dalam arti mendatangkan malapetaka dalam hidup kita. Sebagai contoh, kita tidak bisa menggunakan cara-cara kasar atau anarkis dalam menghalau pelbagai penyakit sosial dalam komunitas di mana kita hidup. Membunuh atau menembak pencuri misalnya, tentu sebuah sikap instan yang justru menghadirkan persoalan yang lebih besar.
Jadi, sikap sabar dalam melemahkan 'daya rusak' dari gulma kehidupan itu, menjadi sebuah kemestian. Kita harus berhati-hati dan cermat agar 'cara yang digunakan' dalam memangkas gulma itu, tidak menghancurkan diri kita sendiri. Jangan sampai, hanya karena 'tergesa-gesa' dalal menyingkirkan sikap negatif, kita mengambil jalan pintas dengan 'menyiksa diri atau orang lain', dan bahkan memilih jalan yang sadistis 'bunuh diri'. Bukan hanya gulma yang tercabut, tetapi nyawa kita atau sesama pun ikut melayang.
*Penulis adalah warga Mabar. Tinggal di Watu Langkas.