Oleh: Sil Joni*
Loyola Memanggil (Sil Joni) |
Gong perayaan 40 tahun almamater kami, SMAK St. Ignatius Loyola, berdentang kencang dan lantang hari-hari ini. Suara lonceng peringatan itu, bisa dimaknai sebagai 'gema sapaan dan panggilan' dari sang ibu asuh kepada segenap putra-putrinya di seluruh penjuru dunia. Sang bunda memanggil kita untuk 'pulang sejenak' ke pangkuannya di momen istimewa ini.
Baca: Konsep Drama Membentuk Moral
Untuk diketahui bahwa tinggal menghitung hari, Sekolah Menengah Atas Katolik (SMAK) St. Ignatius Loyola (selanjutnya disebut Loyola saja), akan genap berusia 5 windu. Dalam sistem penanggalan Jawa, satu windu sama dengan 8 tahun. Itu berarti durasi 40 tahun bisa disebut 5 (panca) windu. Istilah populer untuk usia 40 tahun adalah Pancawindu.
Jauh hari, gong perayaan itu telah ditabuh. Serangkaian aktivitas persiapan baik yang diinisiasi oleh pihak sekolah maupun para alumni yang tersebar di berbagai daerah, telah dibuat. Hari-hari ini, rapat pemantapan terkait hal-hal teknis untuk menyukseskan pesta itu, semakin intensif.
Sekadar informasi bahwa pada Juma’t (17/2/2023) tiga orang perwakilan panitia perayaan di Labuan Bajo, Pak Jhon Hani, Pak Fery Adu dan Pak Albertus, datang ke Jakarta untuk mengikuti ‘pertemuan dengan para alumni yang berkarya di kota metropolitan itu. Kekerabatan Anak Ignatius Loyola (KAIL) merupakan nama ‘persatuan/ikatan’ para tamatan Loyola tersebut.
Baca: Kearifan Lokal Di Era Global
Berharap di kota-kota lain juga memiliki wadah perkumpulan semacam itu dan bisa mengambil prakarsa untuk berkontribusi dalam perayaan Pancawindu ini. Dengan itu, semua alumni bisa saling terhubung sehingga pihak panitia lokal dapat mendesain dan mengeksekusi pelbagai agenda jelang hari puncak.
Ada banyak kegiatan untuk memeriahkan momen itu. Puncak perayaan akan digelar pada tanggal 31 Juli 2023. Kegiatan seremonial itu, selain diselenggarakan di sekitar kompleks SMAK, juga dibuat secara spontan yang diinisiasi oleh alumni setiap angkatan, baik dalam ruang nyata maupun dalam forum maya.
Kerja keras dan kerja cerdas dari sebagian alumni ini, tentu saja sebagai ekspresi ‘rasa cinta yang mendalam’ terhadap eks ibu asuh (Almamater). Saya kira, alumni yang lain pun, dalam derajat tertentu, sudah, sedang, dan akan terlibat dalam ‘membahagiakan’ lembaga yang telah berjasa membentuk kepribadian mereka.
Dengan demikian, kita (semua alumni) boleh berdendang, “ke Loyola, kita akan kembali”. Mungkin, pada hari puncak perayaan, kita tidak ada di kompleks Loyola, tetapi setidaknya ‘hati kita’ tetap hadir untuk Loyola melalui dukungan material dan moral yang kita berikan. Saya sangat yakin bahwa semua alumni memiliki ‘kerinduan yang besar’ untuk bisa kembali ke Loyola walau beberapa detik saja. Mengapa?
Umumnya, masing-masing kita memiliki ‘kenangan tersendiri’ (entah manis maupun pahit) ketika menimba ilmu di Loyola. Bernostalgia tentang ‘dinamika dan romantika Loyola’, rasanya menjadi sebuah hal yang menyehatkan jiwa. Karena itu, sangat normal jika kita ‘dicekam oleh rasa rindu ada dalam pelukan Bunda Loyola’ itu.
Tentu, kita tidak ingin dicap sebagai ‘anak durhaka’ atau pengkhianat. Setelah sekian lama mengecap madu dan susu ilmu pengetahuan dari sang ibu, mungkin di usianya yang ke-40 ini, kita coba ‘membalas kebaikannya’. Mama Loyola, tidak minta banyak. Dirinya hanya menginginkan anak-anaknya ‘pulang sejenak’ untuk sekadar merasakan kehangatan belaian dan ciuman dari anak-anaknya.
Boleh jadi, tampilan fisik bunda Loyola saat ini, banyak berubah. Biasanya, pada usia matang seperti ini, sang ibu pasti lebih jelita dan seksi. Loyola, meski sudah ‘pisah ranjang’ dengan Seminari St. Yohanes Paulus II, semakin manis dan laris. Pesonanya sebagai salah satu ‘panti pendidikan berkualitas’ di ujung Barat Nusa Bunga, belum pudar. Alih-alih redup, justru Loyola terus mengudara. Kejayaan Loyola itu, setidaknya terekam dari prestasi demi prestasi yang ditorehkan oleh sekolah ini seperti yang dilansir oleh sejumlah media dalam jaringan (daring).
Baca: Ketika "Musafir Kebenaran" Baku Hantam
Loyola itu telah menjelma menjadi ‘tipe ideal’ untuk urusan mutu proses pendidikan, minimal untuk kawasan Barat Manggarai. Menulis sejarah perkembangan pendidikan di Manggarai Barat (Mabar), rasanya sebuah kebohongan besar jika tidak menyebut Loyola sebagai yang terdepan. Pasalnya, dari sisi historis, Loyola adalah SMA pertama di wilayah ini.
Kontribusi Loyola dalam ‘memproduksi’ kader pemimpin (politik dan agama) sudah tidak diragukan lagi. Bupati Mabar, Edistasius Endi merupakan salah satu ‘buah terbaik’ dari lembaga ini. Sudah tidak terhitung kader awam dan pemuka agama yang berkarya di berbagai bidang entah dalam negeri maupun yang berkiprah di tingkat internasional.
Sebagian anak-anak Mabar, bisa tampil kompetitif dan penuh percaya diri saat ini, salah satunya tidak terlepas dari sentuhan ‘tangan dingin bunda Loyola’ ini. Tentu, tidak berlebihan jika dibilang Mabar cukup beruntung memiliki lembaga pendidikan sekelas Loyola. Dalam konteks itu, maka pesta Pancawindu ini semestinya menjadi 'pesta publik Mabar' juga. Loyola ada dan hadir untuk kemajuan dan kesejahteraan publik Mabar.
*Penulis adalah alumni SMAK St. Ignatius Loyola. Tamat tahun 1999.