Oleh: Sil Joni*
Memori Perwujudan Kebebasan Akademik di Loyola 1996-1999 |
Akhirnya, hingar-bingar kemeriahan pesta 40 tahun Loyola, mencapai fase puncak hari ini, Sabtu (29/7/2023). Sayang, saya tidak bisa 'merasakan' secara langsung kesemarakan acara puncak ini. Dalam satu minggu terakhir, kondisi raga ini tidak terlalu prima.
Meski hanya 'menonton' dari pinggir dan dunia maya, sebagai seorang alumni sekolah ini, saya coba berpartisipasi melalui penulisan 'fragmen' kisah selama studi di lembaga ini (1996-1999).
Dengan demikian, kenangan semasa studi di SMAK St. Ignatius Loyola Labuan Bajo menjadi ‘latar tempat dan susana’ dalam meracik artikel sederhana ini. Menulis catatan nostalgia semacam ini, bagi saya, merupakan sebuah ‘strategi melawan lupa’. Dengan mengulas ‘kisah masa lalu’, tidak berarti saya ‘mengabaikan dan apalagi’ menganggap rendah kondisi alma mater di kekinian. Justru sebaliknya, kita mengekspresikan ‘rasa bangga dan cinta’ terhadap sang eks ‘Ibu Asuh” dengan menghadirkan cerita bertabur makna di masa lampau itu.
Tahun 1998. Saya tidak ingat bulan dan tanggalnya. Kala itu, kami sudah berada di kelas 2. Masih segar dalam ingatan saya bagaimana pada suatu kesempatan, pak Thomas Jerau, salah satu guru Fisika di SMAK St. Ignatius Loyola ‘mengkhotbahi’ kami sebelum pelajaran resmi dimulai. Isi ceramahnya adalah pentingnya ‘menghargai’ para guru. Beliau meminta kami untuk memberikan respek dan penghargaan kepada para guru yang memang dari segi usia ‘berbeda cukup jauh’ dengan para siswa.
Awalnya saya agak bingung dengan konten ceramah itu. Tetapi, pak Thomas dengan sangat gamblang membeberkan ‘status quetionis’ mengapa nasihat demi nasihat meluncur dari mulutnya. Pasalnya, teman saya, Fransiskus Jehoda yang sekarang Kepala SMKN I Satarmese ‘sukses’ mengaduk emosi para guru melalui tulisan sederhananya di Majalah Dinding (Mading) sekolah.
Saya sendiri tidak pernah membaca tulisan itu. Tetapi, sesuai penjelasan pak Thomas dan diperkuat oleh ‘tuturan lisan’ si penulisnya, tulisan itu diberi judul: “Guru Kencing Berdiri, Murid Kencing Berlari”. Dalam tulisan itu, Frans, demikian sapaan akrabnya kala itu, mengkritik dengan sangat telak ‘kebiasaan sebagian staf pengajar’ yang mengisap rokok di lingkungan sekolah. Padahal, rambu-rambu larangan, seperti “Kawasan Bebas Asap Rokok, No Smoking Area” sudah terpajang di beberapa titik. Tetapi para guru itu, dengan tanpa beban, melanggar aturan tersebut.
Pada sisi yang lain, aturan itu diberlakukan secara ketat bagi para siswa. Mereka yang melanggar ketentuan itu, sudah pasti mendapat sanksi, mulai dari hukuman fisik, hingga ancaman ‘dikeluarkan’ dari Lembaga. Dari kenyataan ini, Frans coba menarik kesimpulan bahwa ‘aturan itu bersifat diskriminatif atau tidak adil’.
Selain itu, yang paling disesalkan oleh Frans adalah para guru ‘gagal memberikan teladan yang baik’ kepada para siswa. Petuah dan nasihat para guru menjadi ‘tidak berguna’ ketika mereka sendiri tidak melakukan apa yang mereka sampaikan kepada siswa. Kondisi semcam itu diibaratkan sebagai ‘guru kencing berdiri, murid kencing berlari’. Artinya ada jurang pemisah antara apa ‘yang dikatakan guru’ denga apa yang mereka buat. Antara perkataan dan perbuatan tidak seiring atau sejalan.
Menurut Frans, orang yang paling ‘emosianal’ waktu itu adalah pak Marsel Mansen. Beliau sangat ‘marah’ karena tulisan itu dianggap ‘melecehkan’ guru. Seorang siswa yang masih bocah ingusan ‘sudah berani’ mengkritik atau mengoreksi perilaku yang ditunjukkan para guru. Para staf pengajar yang lain pun ‘ikut terpancing’ dalam membuka suara, termasuk pak Thomas yang disinggung pada bagian muka tulisan ini.
Beruntung, penulis artikel itu tidak ‘shock’ dan ciut nyalinya dalam menulis. Pak Peter Perawin, salah satu Guru Bahasa Indonesia sekaligus moderator Mading kala itu, memberikan dukungan dan mengangkat moral penulis melalui ‘petuah bijaknya’. Alih-alih mencela, pak Peter justru ‘mengapresiasi’ kemampuan penulis dalam mengelaborasi isu yang cukup aktual di sekitar kompleks Loyola. Frans, di mata pak Peter merupakan tipikal siswa yang responsif dan bersikap kritis. Aktualitas dari kritisisme yang ‘termuat’ dalam tulisan itu sangat tidak diragukan. Atas dasar itulah, moderator menilai tulisan itu sebagai ‘artikel opini yang laik terbit’.
Seusai ‘polemik’ itu, seingat saya, Frans tetap menyumbangkan tulisan untuk Mading OSIS itu. Dari pencapaian akdemik itu, Frans digadang-gadang sebagai salah satu ‘calon penulis’ berbakat di masa depan. Sayang ‘talenta’ itu tidak dikembangkan secara optimal. Frans hanya puas sebagai ‘penulis amatir’ di lingkungan internal sekolah. Padahal, dengan ‘modal intelektual’ yang dimilikinya kala itu, Frans bisa saja melebih prestasi dan debut akademik dari teman saya juga, Ferdy Hasiman yang sekarang dikenal luas sebagai salah satu kolumnis berbagai media nasional dan penulis buku di bidang Ekonomi Pertambangan.
Terlepas dari kenyataan itu, satu hal yang perlu digarisbawahi dalam diskusi ini adalah bagaimana iklim kebebasan akademik ‘dipupuk’ dengan sangat baik di SMAK St. Ignatius Loyola. Para siswa diberi ‘ruang dan kesempatan’ yang lebar untuk mengekspresikan pelbagai ide cerdas dan berkualitas, termasuk mengkritik perilaku guru dan ‘menggunting’ gagasan yang berasal dari guru. Para siswa ‘tak sungkan’ untuk ‘tidak sependapat’ dengan para guru. Cuaca Pendidikan yang demokratis cukup terasa. Itu salah satu alasan mengapa ‘para alumni, seperti saya’, selalu terkenang Loyola.
Loyola telah menyiapkan 'fundasi akademik' yang memungkinkan para alumninya 'jatuh cinta' dengan kultur akademik itu. Jangan lupa bahwa dulu 'kegiatan akademi' berupa seminar yang dipresentasikan oleh siswa hampir dilaksanakan setiap bulan. "Baku kritik" dan berduel secara intelektual pasti tersaji dalam ajang semacam itu. Tegasnya Loyola adalah ladang yang subur dalam menumbuhkan tunas-tunas ilmiah yang siap berkarya di berbagai bidang kehidupan.
Sayang sekali, saya termasuk siswa yang 'gagal mengisap susu dan madu akademik' yang lezat itu. Saya terlalu terfokus pada mengejar 'nilai tinggi' agar tetap bertahan di Seminari. Secara jujur saya akui bahwa saya 'tidak pernah menulis' satu tulisan resmi yang dipublikasikan di Mading OSIS maupun Mading Seminari.
Boleh dibilang, saya amat 'telat' menekuni dunia literasi. Terus terang, di SMAK St. Ignatius Loyola dulu, saya jarang, untuk tidak dibilang 'tidak pernah' membaca buku-buku bermutu baik fiksi maupun non fiksi. Saya hanya meraba sekenanya 'beberapa textbook' dan catatan yang diberikan oleh guru. Tradisi akademik yang bagus di Loyola seolah kurang konek dengan orientasi belajar saya waktu itu.
Kendati demikian, saya tetap 'bersyukur' pernah membentuk dan dibentuk oleh lembaga ini. Apa yang saya torehkan saat ini, meski mungkin sangat sederhana, tentu tidak terlepas dari kontribusi positif Loyola dalam memancarkan pesona akademik itu.
Dari sebuah kampung di pinggiran kota pariwisata super prioritas, saya mengucapkan selamat pesta Pancawindu kepada semua keluarga besar Loyola, mulai dari para pendiri, penjasa, para guru, karyawan/ti, segenap civitas akademika saat ini hingga para alumni yang tersebar di seluruh penjuru duni. Berharap Loyola terus bersinar dan berkibar, tidak hanya di Mabar, tetapi di seluruh planet bumi ini.
*Penulis adalah alumni SMAK St. Ignatius Loyola. Tamat tahun 1999.