Iklan

Iklan

Iklan

Iklan

Caleg Yang "Menyumbang Uang/Materi"

Suara BulirBERNAS
Wednesday, December 27, 2023 | 17:58 WIB Last Updated 2023-12-27T11:16:02Z

Oleh: Sil Joni


Caleg Yang "Menyumbang Uang/Materi"
Caleg Yang "Menyumbang Uang/Materi"




Kita sering mendengar atau membaca soal caleg atau politisi yang memberikan sumbangan  untuk aneka kepentingan. Ada yang menyumbang uang/materi untuk pembangunan rumah ibadat atau rumah adat di satu kampung. Dalam sebuah turnamen (pertandingan olah raga), ada caleg yang menyumbang kostum, uang, dan materi lainnya. Ada juga yang menyumbang ternak (sapi, babi), traktor, mesin rontok, dll.


Baca: Tubuh Kurus dan "Tak Terurus (Sebuah Catatan Reflektif)


Masalah pokok dalam tulisan ini adalah apakah politisi atau calon anggota legislatif (caleg) yang gemar 'menyumbang uang/materi' baik untuk kepentingan pembangunan fasilitas publik maupun untuk mendukung pelaksanaan sebuah turnamen (event), masuk dalam kategori politik uang atau tidak? Bagaimana semestinya kita menafsirkan pemberian dari politisi semacam itu? Apakah donasi semacam itu merupakan ekspresi sikap filantropis dan kedermawanan atau teknik memanipulasi dan mendistorsi kesadaran publik demi mendulang efek elektoral?


Argumen yang bersifat defensif sering dipakai untuk menjustifikasi tindakan 'menyumbang' tersebut. Bahwasannya, pemberian itu tidak berkaitan dengan harapan untuk meraih simpati publik. Si politisi atau caleg berusaha untuk menyalurkan 'rasa cinta' dan dukungannya terhadap kelompok atau kegiatan tertentu. Donasi semacam itu murni sebagai 'tanda sayang' dan bukti kepedulian terhadap kehidupan sesama.


Baca: Wajah Ayu dan Tampan Bukan Jaminan


Argumentasi di atas, secara sepintas, terdengar sangat mulia. Tetapi, masalahnya adalah penyaluran 'rasa sayang' itu, bersifat musiman. Si caleg tiba-tiba tampil sebagai pribadi yang dermawan ketika musim kontestasi politik tiba. 


Karena itu, rasanya sulit untuk tidak menghubungkan 'donasi' itu dengan motif meraih insentif elektoral yang bersifat subyektif. Dengan perkataan lain, pemberian semacam itu, menjadi strategi untuk meraih simpati pemilih. Istilah politik uang sangat pas untuk meyebut fenomena donasi politik sesaat tersebut.


Politik uang beberapa tahun terakhir ini banyak diperbincangkan sebagai suatu ancaman yang sangat nyata terhadap demokrasi bukan hanya di Indonesia namun juga di dunia internasional. Banyak forum –forum resmi telah mendiskusikan isu politik uang ini bahkan beberapa penelitian menyebutkan bahwa politik uang merupakan suatu tindak kejahatan elektoral yang harus dengan serius dicegah bahkan diperangi.


Telah banyak definisi oleh para pakar maupun ilmuwan politik terkait politik uang namun untuk keperluan dalam tulisan singkat ini saya mengambil beberapa definisi saja.


Menurut Aspinall & Sukmajati dalam bukunya Politik Uang di Indonesia : Patronase dan Klientalisme Pada Pemilu Legislatif 2014 secara umum menjelaskan bahwa Politik uang dapat diartikan sebagai upaya menyuap pemilih dengan memberikan uang atau jasa agar preferensi suara Pemilih dapat diberikan kepada seorang penyuap.


Definisi yang lebih praktis dikemukakan  oleh  Jeffrey A. Winters  seorang ilmuwan politik asal Amerika yang mengatakan Politik uang adalah tindakan politik memobilisasi pemilih agar memilih Parpol dan Calon tertentu di TPS dengan memberi imbalan sejumlah uang, barang atau jasa dalam Pemilu/Pemilihan.


Baca: Memilih Karena Partai atau Figur?


Dari dua definisi yang dikemukakan oleh ilmuwan politik di atas dapat disimpulkan bahwa politik uang adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang untuk menyuap atau membeli suara pemilih demi kepentingan politik elektoral. Suara hati pemilih coba dibelokkan dengan politik donasi.


Pemberian dari Caleg pada musim kontestasi, umumnya tidak tanpa kalkulasi. Mereka memberi untuk mendapat imbalan (suara). Konstituen diperlakukan sebagai 'benda' demi menambah suara. Otonomi voters benar-benar terkikis. Si Caleg telah "mengikatnya" melalui tali pemberian dalam aneka bentuk itu.


Ketika 'martabat publik' berhasil digadai, maka persis pada titik itu, demokrasi berada di ambang kehancuran. Celakanya, kebanyakan pemilih kita, ditengarai bertipe "pemilih transaksional". Mereka sangat terpikat dengan pemberian sesaat dari para caleg tersebut. Rasionalitas tersingkir. Kinerja, program, rekam jejak dan kapabilitas figur tidak lagi menjadi acuan dalam memilih.



*Penulis adalah warga Mabar. Tinggal di Watu Langkas.

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Caleg Yang "Menyumbang Uang/Materi"

Trending Now

Iklan