Oleh: Sil Joni*
"Dunia Tidak Butuh Anak yang Pintar Menghafal" |
Pernyataan provokatif dalam judul di atas keluar dari mulut Mentri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadien A. Makarim. Saya menduga kebijakan penghapusan Ujian Nasional yang secara resmi dimulai pada tahun 2021 dilatari oleh 'paradigma berpikir revolutif ini'. UN dalam praksisnya lebih berorientasi pada 'ciri pembelajaran' yang lebih mengutamakan penghafalan ketimbang penalaran kritis-analitis.
Standar kemampuan intelektualitas (kognitif) siswa direduksi hanya pada soal 'akumulasi' pengetahuan yang dihafal. Sasarannya adalah para siswa bisa mengerjakan soal UN dengan baik. Terjadi semacam 'pengkerdilan' esensi pendidikan, yaitu hanya demi mendapat 'nilai tinggi' dalam UN yang dibuktikan dengan sertifikat akademik (ijazah) formal.
Faktanya, angka-angka dalam ijazah itu, tidak selamanya merepresentasikan skill atau kompetensi pemiliknya. Nilai bagus di atas kertas tidak identik dengan kecakapan yang dikuasainya. Dengan perkataan lain, ada gab (jurang) yang lebar antara 'nilai/angka' dengan kualitas diri.
Anak yang memperoleh skor teringgi dalam sebuah asesmen/evaluasi akhir, tak ada garansi bahwa dirinya 'laku' di dunia kerja. Persoalannya adalah mungkin 'skor' itu diperoleh dengan cara instan, tidak melalui proses yang obyektif dan bermutu. Kesimpulannya adalah anak yang pintar menghafal dan mendapat 'nilai bagus', belum tentu dibutuhkan oleh dunia.
Karena itu, sebagai orangtua, kita tidak perlu bangga yang berlebihan ketika 'buah hati kita' mendapat poin bagus dalam rapor belajarnya. Deretan angka yang fantastis dalam rapor itu, sebaiknya 'diuji' dalam keseharian hidupnya. Apakah anak itu mampu berpikir solutif, kreatif, inovatif, memiliki ethos kerja yang bagus dan berintegritas atau tidak? Jika jawabannya negatif, maka kita tidak punya alasan yang cukup untuk 'memujinya' sebagai anak pintar.
Sekali lagi, 'bukan nilai (poin)' yang disanjung, tetapi aplikasi konkret dari pengetahuan yang digelutinya di sekolah. Jangan sampai anak itu hanya terobsesi dengan 'angka', tetapi absen mengasah pelbagai kecakapan yang dibuthkan dalam dunia kerja saat ini.
Lulus dengan predikat cum laude (terpuji) pada jenjang Perguruan Tinggi (PT) pun tidak bisa dijadikan 'parameter' untuk menilai kapasitas, kapabilitas, dan komptensi seorang sarjana. Kualifikasi yudisium semacam ini hanya sebagai afirmasi atas level kemampuan akademik seseorang. Namun, perlu diingat bahwa indeks prestasi kumulatif (IPK) itu bukan sebagai bukti bahwa seseorang benar-benar kualifikatif.
Kualifikasi lulusan terpuji menjadi 'ternoda' (tidak terpuji), ketika yang bersangkutan 'tidak bisa buat apa-apa' di tengah masyarakat. Kita gagal menjadi sumber rujukan atau menjadi pribadi yang bisa membawa solusi alternatif di tengah aneka kemelut yang mendera kehidupan publik.
Apa arti IPK yang bagus itu ketika kita 'gagap berbicara' dan serba ragu untuk tampil di hadapan publik? Apa arti 'nilai tinggi' tatkala kita tak mampu menuangkan pikiran dengan bagus baik secara lisan maupun tulisan? Untuk apa nilai tinggi itu ketika faktanya kita kurang produktif bahkan mandul sehingga menjadi beban bagi keluarga dan masyarakat?
Sampai di sini, saya teringat komentar Rocky Gerung soal keberadaan ijazah. Bagi 'profesor akal sehat' ini, "ijazah itu hanya tanda bahwa orang pernah sekolah, tetapi bukan tanda bahwa dirinya pernah berpikir". Masihkah kita mengkultuskan 'nilai/angka' tinggi di dalam sertifikat akademik itu?
*Penulis adalah warga Mabar. Tinggal di Watu Langkas.