Oleh: Sil Joni*
Berwisata ke pelbagai obyek menarik itu, tentu sangat menyehatkan tubuh dan jiwa manusia. Rasanya mustahil bagi seorang wisatawan untuk melakukan aktivitas di destinasi yang 'sakit'. Bersenang-senang di lokasi 'sumber penyakit', tentu bisa dipandang sebagai 'aksi bunuh diri'.
Lingkungan yang sehat, menjadi sine qua non, pelaksanaan aktivitas turisme tersebut. Sebuah kerugian jika sebuah destinasi wisata masuk dalam kategori 'tidak sehat'. Sebagai contoh, jika mayoritas warga di suatu destinasi "terpapar HIV/AIDS", maka citra destinasi itu menjadi suram dan berpotensi turunnya arus kunjungan wisatawan.
Sudah lama Kabupaten Manggarai Barat (Mabar) dikenal luas sebagai salah satu destinasi super prioritas di Indonesia. Bahkan saat ini, Labuan Bajo masuk kategori wisata super prioritas bertaraf 'super premium'.
Melambungnya citra Mabar sebagai destinasi wisata berkelas internasional, tidak terlepas dari keberadaan beberapa spot wisata alam dan budaya yang begitu eksotis dan memesona. Di samping itu, kondisi politik yang kondusif dan lingkungan sosial yang sehat, tak bisa diabaikan. Sisi keramahan dan kesehatan lingkungan kemasyarakatan, juga masuk dalam kategori unsur penopang tersebut.
Pandemi Covid-19 menjadi salah satu contoh terbaik bagaimana isu kesehatan itu menjadi faktor determinan keberhasilan aktivitas industri turisme ini. Tak bisa dibantah bahwa lingkungan yang sehat merupakan isu utama yang dijadikan pertimbangan untuk mengunjungi suatu obyek wisata. Ketika sebuah destinasi masih 'dikepung' oleh virus tertentu, maka wisatawan pun 'tak mau mengambil risiko'. Mereka pasti 'mengurungkan' keinginannya untuk datang ke daerah wisata.
Karena itu, sebagai 'tuan rumah', Pemerintah Daerah (Pemda) Mabar dan semua pemangku kepentingan di wilayah ini, mesti berjuang ekstra agar pelbagai jenis virus penyebab aneka penyakit, tidak menjalar secara massif. Kita mesti pastikan bahwa daerah ini aman untuk dikunjungi. Citra sebagai daerah 'yang sehat' menjadi modal utama dalam menarik simpati para calon wisatawan.
Sampai di sini, diskursus tentang pariwisata sehat semakin relevan dan urgen dikembangkan. Fokus perhatian kita, semestinya tidak hanya berkaitan dengan sanitasi yang buruk (kotor), tetapi juga soal 'perilaku manusia' yang berpotensi berkembang biaknya virus tertentu.
Selain virus Corona, saya kira isu HIV dan AIDS juga mesti menjadi salah satu atensi kita. Pembicaraan tentang HIV/AIDS ini semakin mendesak, mengingat kasus orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di Mabar cenderung mengalami peningkatan. Data dari Komisi Penanggulangan HIV/AIDS (KPA) Kabupaten Mabar per Maret 2021 menunjukkan bahwa total kasus HIV sebanyak 67 dan AIDS sebanyak 35 kasus. Angka itu mengalami perubahan menjadi 114 kasus per 4 Agustus 2021 dengan perincian HIV 70 kasus dan AIDS sebanyak 44 kasus.
Ingat bahwa yang tersaji dalam statistik itu hanya berdasarkan 'hasil tes' dan pendataan resmi. Boleh jadi, kasus HIV/AIDS yang tak terdata dan tak terlaporkan bisa lebih banyak dari angka di atas. Jika tak ada upaya dan langkah konkret dalam mencegah penyebaran HIV ini, maka bukan tidak mungkin isu HIV/AIDS berkembang menjadi 'endemi'. Status daerah endemi HIV/AIDS jelas bukan sebuah kabar yang menggembirakan.
Berita 'merebaknya kasus HIV/AIDS', bisa berimplikasi pada 'redupnya' reputasi pariwisata. Citra sebagai destinasi wisata yang endemi HIV/AIDS berpotensi 'menghambat' laju peningkatan kunjungan wisatawan di daerah ini. Fenomen semacam ini, rasanya sangat normal. Wisatawan hanya mau berkunjung dan berada di daerah yang sehat. Salah satu indikatornya adalah minimnya potensi persebaran HIV/AIDS.
Tentu kita tidak ingin pariwisata kita 'lesu' hanya karena HIV/AIDS. Oleh karena itu, perlu sebuah komitmen politik yang kuat dalam mengurangi jumlah kasus penularan HIV/AIDS. Upaya menanggulangi isu HIV/AIDS itu seharusnya bersifat lintas sektoral dan melibatkan semua elemen masyarakat.
Sebaliknya, kita juga tidak mau kasus HIV/AIDS meningkat tajam gara-gara pariwisata. Artinya, aktivitas kepariwisataan berkontribusi melahirkan perilaku yang memungkinkan HIV beranak-pinak. Kita tidak bisa menutup mata bahwa wisatawan yang datang ke Labuan Bajo berasal dari lingkungan kebudayaan yang beragam. Pola laku dan gaya hidup mereka mungkin berpotensi hadirkan HIV di wilayah ini.
Masalahnya adalah kita relatif cepat beradaptasi dengan 'gaya hidup yang baru'. Kehidupan dunia malam dengan seabrek aktivitas yang cenderung bebas, merupakan pintu masuk munculnya HIV itu. Untuk itu, kita mesti 'melindungi diri' dengan tidak mudah terjebak dalam aktivitas seksual secara liar. Jika terpaksa harus bertransaksi soal seks, maka pilihannya adalah lakukan seks yang aman. Gunakan kondom saat berhubungan seks dengan pasangan yang bergonta-ganti itu.
Dengan itu, raga kita sehat dan pariwisata pun akan sehat. Ketika tubuh warga dalam keadaan sehat, maka pariwisata akan berjalan dengan sehat. Pariwisata yang sehat adalah modal berharga dalam melaksanakan pembangunan berkelanjutan dalam memperbaiki tingkat kemaslahatan publik.
*Penulis adalah warga Mabar. Tinggal di Watu Langkas.