Oleh: Sil Joni*
Jangan 'Perkosa' Nama Itu (Bukan Tana Mori tetapi Golo Muri) - foto ist. |
Tidak perlu diperdebatkan tentang signifikansi sebuah nama. Tentu, ada sesuatu yang diwakili oleh 'nama' itu. Orang Latin bilang, nomen est omen, nama adalah pratanda. Nama menunjukkan identitas dan juga kekhasan seseorang atau sesuatu.
Baca: Dari Altar Menuju Pasar: Sebuah Panggilan Politik Ala Fransiskus Kurniandi Tulis
Frege-Russell menyatakan bahwa nama memiliki asosiasi terhadap suatu sifat (property) yang secara unik dapat mengidentifikasikan pengacunya. Sifat ini menciptakan ‘sense’ atau makna dari nama tersebut. Nama Golo Muri misalnya, menghadirkan makna yang khas dan tentu saja akan sangat berbeda jika nama itu 'diganti'.
Poinnya adalah nama sebuah tempat tidak muncul begitu saja dari langit. Ada sekeping narasi di balik pemberian nama itu. Dengan demikian, mengubah nama dari sesuatu boleh ditakar sebagai upaya menghancurkan identitas dari sesuatu itu dan melenyapkan 'kisah' spesifik dari tempat itu.
Baca: Revolusi Politik Menuju Indonesia Emas 2045
Jika kita mengamini bahwa manusia adalah makhluk naratif, maka upaya membunuh narasi yang terkandung dalam sebuah nama identik dengan 'pembasmian eksistensi ontologis' mereka yang mendiami tempat itu. Ada semacam upaya 'marginalisasi' terhadap eksistensi mereka. Mengapa? Cerita versi mereka tidak diafirmasi. Mereka tidak lagi dipandang sebagai manusia yang bersejarah (meruang dan mewaktu).
Ruang publik lokal hari-hari ini disemarakkan oleh polemik seputar 'penggunaan nama baru' untuk sebuah tempat yang sejak dahulu kala dikenal dengan sebutan Golo Muri. Tetapi, ketika 'mesin pembangunan' menderu di wilayah itu, 'nama ciptaan leluhur' itu harus tergusur. Para penguasa (decision maker) secara sepihak mengganti nama Golo Muri menjadi Tana Mori. Atas nama kepentingan branding dan ditopang oleh otoritas, maka nama Golo Muri 'didepak' secara tragis.
Meski mendapat resistensi yang massif dari publik, penguasa tetap bergeming. Buktinya, yang teranyar, sebuah Puskesmas yang berdiri megah di kawasan itu, diberi nama "Puskesmas Tana Mori". Sekelumit 'riwayat di seberang nama Golo Muri, makna yang terkandung di dalamnya serta pelbagai kearifan lokal sebagai penanda khas wilayah itu, mesti 'tergilas'.
Nama Tana Mori, tentu saja 'sangat asing' bagi warga setempat. Tetapi, dengan 'sumber daya kuasa' yang ada, pemerintah tentu saja berusah mengkonstruksi dan memformulasi 'narasi' baru agar warga lokal rela 'menerima' nama yang tidak familiar itu. Strategi 'cuci otak' sangat mungkin dipakai agar dengan cepat publik 'melupakan' nama Golo Muri dan segera akrab dengan nama Tana Muri.
Padahal, bukit (baca: teritori) itu, memang ada 'tuannya' (manga murin). Sedari awal, bukit (golo) di wilayah Selatan Labuan Bajo itu, bukan 'tanah tak bertuan' (terra incognita). Jauh sebelum wilayah itu ditetapkan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) oleh pemerintah Pusat (Pempus), bukit kecil itu dan juga hamparan tanah Selatan pada umumnya, 'dijaga' oleh Sang Muri itu. Atas dasar keyakinan itulah, para leluhur membabtis wilayah itu dengan sebutan 'Golo Muri'.
Tetapi, entah mengapa 'nama pemberian leluhur dan orisinalitas aksen khas orang Mata Wae dan Mburak, lenyap dan diganti dengan aksen penutur dialek mayoraitas Manggarai menjadi 'Golo Mori'.
Tidak hanya sampai di situ, setelah sebagian wilayah itu, dikapling untuk menjadi KEK, kata 'golo' di ganti menjadi 'tana'. Alhasil, nama Tana Mori begitu tenar saat ini, mengalahkan nama Golo Mori dan apalagi 'Golo Muri'. Keaslian sebuah nama dan kekhasan penyebutan tempat itu dari suku yang berdiam di situ, harus mengalah. Mereka terpaksa menerima 'nama impor' itu.
Baca: PLT Camat Satarmese Barat Pimpin Kegiatan Baksos di Lingkungan Kantor Kecamatan
Untuk 'menghormati leluhur' dan merawat orisinalitas sebutan terhadap tempat itu, dalam tulisan ini, saya tetap mempertahankan nama Golo Muri. Memperkosa sebuah nama, hemat saya bisa dinilai sebagai 'tindakan kurang etis'. Jika dalam nama ada 'cahaya makna', maka dalam perspektif teologis, actus memperkosa nama, sebagai sebuah penyingkiran terhadap Yang Kudus.
Pertanyaan kritisnya adalah apakah narasi versi penduduk setempat terkait nama itu, kurang menarik sehingga mempengaruhi tingkat kunjungan wisatawan dan investor ke wilayah itu? Apakah dengan mengubah nama, citra tempat itu semakin meroket? Benarkah pergantian nama membawa berkat berlimpah bagi pengembangan wilayah itu sebagai KEK?