Oleh: Sil Joni*
Memilih Karena Partai atau Figur? |
Seseorang tidak mungkin menjadi calon legislatif (caleg) tanpa partai politik. Boleh dibilang, ada relasi saling menguntungkan (simbiosis mutualisme) antara partai politik (parpol) dengan caleg. Tanpa caleg, parpol menjadi organisasi yang tidak berguna. Demikian sebaliknya, tanpa parpol, impian untuk menjadi caleg, mustahil terwujud.
Baca: "Salam Saputangan" dalam Politik
Pertanyaannya adalah apakah Parpol menjadi salah satu pertimbangan dalam mendukung caleg? Seberapa besar pengaruh Parpol bagi konstituen? Apakah ada ikatan emosional antara publik dengan Parpol? Apakah kita lebih memilih Parpol ketimbang figur?
Disinyalir bahwa tingkat kepercayaan publik terhadap Parpol terus mengalami tren penurunan. Parpol dianggap 'gagal' menjalankan peran utamanya sebagai wadah kaderisasi, agregasi, artikulasi, dan rekruitmen politik. Akibatnya adalah 'suara yang diperoleh Parpol' dalam setiap momen kontestasi elektoral, bukan karena publik tertarik dengan 'ideologi Parpol', tetapi semata-mata karena faktor ketokohan figur yang diusung.
Sangat jarang (untuk tidak dibilang tidak pernah) publik mempertimbangkan latar belakang Parpol dalam menentukan pilihan pada musim Pemilihan Legislatif (Pileg). Pesona Parpol benar-benar jatuh ke titik nadir. Kita tidak pernah mempersoalkan 'partai apa' yang merekruit Caleg tertentu. Yang sering ditanyakan adalah 'siapa dan bagaimana kiprah sosok itu' dalam dunia politik.
Peran Parpol saat ini tidak lebih sebagai 'kendaraan' yang mengangkut kepentingan politik para 'pekerja politik'. Parpol tak punya daya magis dan magnetis dalam membuat pertimbangan. Bukan tidak mungkin, jika fenomen semacam itu, berjalan konstan, Parpol bisa berada di ambang kehancuran.
Baca: Atas Nama "Branding Pariwisata"? (Golo Muri Diganti dengan Tana Mori)
Merosotnya pesona Parpol diperparah dengan kehadiran media (massa dan sosial) dan kelompok kepentingan. Semua informasi yang dibutuhkan masyarakat tidak hanya lewat Parpol tetapi juga media. Hampir pasti sebagaian besar peran Parpol telah diambil alih oleh media dan kelompok kepentingan. Kehadairan Parpol sama sekali tak punya dampak pragmatis bagi publik.
Kuatnya apatisme publik terhadap Parpol bisa berimbas pada gejala 'asal pilih'. Wakil rakyat yang dihasilkan oleh realitas 'asal pilih' tentu berimplikasi pada mutu kinerja politik yang tak sesuai ekspektasi. Ruang Parlemen kita 'disesaki' oleh figur yang tak punya visi yang jelas. Mengapa?
Ideologi Parpol tak pernah terinternalisasi dan dihayati secara konsisten. Masalahnya adalah mereka tidak dibesarkan dalam lingkungan ideologis Parpol. Mereka hanya 'dicomot' begitu saja untuk sekadar memenuhi kuota.
Persoalan semakin runyam jika para Caleg karbitan 'menggunakan uang' sebagai senjata untuk meraih dukungan pemilih. Bukan rahasia lagi bahwa sebagaian konstituen masuk dalam kategori pemilih transaksional. Mereka 'memilih' Caleg yang punya banyak uang. Tegasnya, mereka merasa bangga jika 'suara mereka' dibeli oleh para caleg.
Baca: Ketika Ibu "Berkarya Dalam Ruang Politik (Orasi Politik Imajiner Caleg Perempuan)
Jadi, entah memilih karena faktor partai atau karena pertimbangan figur, dua-duanya cenderung negatif. Dukungan terhadap sosok Caleg bukan karena punya kemampuan teknis-politis, kecapakan etis (integritas) dan kapasitas intelektual yang mumpuni tetapi dilatari oleh kalkulasi material dan primordial. Kita memilih Caleg A karena masih ada hubungan keluarga, satu suku, satu lingkungan kerja, dan banyak duitnya.
*Penulis adalah warga Mabar. Tinggal di Watu Langkas.