Iklan

Iklan

Iklan

Iklan

"Salam Saputangan" dalam Politik

Suara BulirBERNAS
Saturday, December 16, 2023 | 10:42 WIB Last Updated 2023-12-16T03:53:43Z

Oleh: Sil Joni*


"Salam Saputangan" dalam Politik
 "Salam Saputangan" dalam Politik




Kontestasi politik, di satu sisi dilihat sebagai 'pertarungan' untuk memperebutkan 'kursi kuasa'. Tetapi, pada sisi yang lain, kontestasi itu, dimaknai sebagai 'pesta publik'. Sebagai kompetisi, tentu nuansa rivalitas begitu terasa. Namun, untuk melenturkan 'tensi politik', maka perebutan kekuasaan itu, dibuat dalam suasana seremonial yang rekreatif dan elegan.


Baca: Atas Nama "Branding Pariwisata"? (Golo Muri Diganti dengan Tana Mori)


Tidak heran jika publik menyaksikan 'teater politik' yang dimainkan para politisi. Mereka tampil dengan gaya yang unik. Ada yang adegannya sangat bermutu, tetapi ada juga yang masih 'tanggung' dan sumir. Sebagai sebuah 'acting', tentu apa yang terlihat di panggung depan itu, hanya 'percikan citra' yang kalau dapat bisa 'mengecoh' penilaian penonton. Umumnya, diri yang otentik, disembunyikan dan 'diri yang palsu' didandan sedemikian untuk meraih simpati publik.


Opini yang mengatakan kontestasi itu merupakan 'ajang menggelar dosa politik', relatif tepat. Ruang politik dalam musim 'pesta demokrasi' sangat jarang diisi dengan 'dimensi kejujuran'. Rupanya, politisi itu tdak berurusan dengan 'kebenaran'. Mereka hanya berkutat dengan aneka strategi dan trik untuk memanipulasi kesadaran publik demi mendulang suara yang signifikan.


Hari-hari ini, ruang politik lokal tampak begitu riuh. Aneka jargon, tagline, yel-yel, dan motto politik 'ditembakkan' secara kreatif ke ruang publik. Alhasil, podium politik tampak sangat dinamis dan bergemuruh. Kontestasi sebagai 'pesta demokrasi', sepertinya termanifestasi secara telak. Sisi kegembiraan dalam berpolitik diperlihatkan dengan sempurna.


Baca: Ketika Ibu "Berkarya Dalam Ruang Politik (Orasi Politik Imajiner Caleg Perempuan)


Dari sekian jargon dan tagline yang melayang bebas itu, saya tertarik untuk 'mengupas' pekikan 'Salam Saputangan' dari salah seorang Calon Legislatif (Caleg) saat ini. Ketika berdiri di podium politik, sang Caleg biasanya menyuntikan 'spirit politik' kepada pendukungnya dengan mengucapkan 'Salam Saputangan'. Teriakan 'Saputangan' bergema dahsyat ketika sang Caleg menyebut namanya sendiri. 


Sayang, saya tidak sempat 'mengorek' isi kepalanya apa 'makna' salam saputangan itu. Secara sangat singkat dalam sebuah kesempatan, beliau hanya menyinggung 'saputangan sebagai tanda mata'. Itu berarti 'saputangan' sebagai tanda pengingat akan dirinya dalam hati publik. Dalam dan melalui 'saputangan' itu, namanya melekat abadi dalam kalbu para pendukung loyalnya.


Secara semantik, saputangan adalah selembar kain berbentuk persegi yang dipakai untuk kebersihan diri seperti  mengelap tangan, menutup mulut pada saat batuk atau bersin, memberishkan area sekitar mulut dan membuang ingus.


Dari definisi ini, saya sulit menemukan makna konotasi saputangan dalam berpolitik.  Apakah sang Caleg ingin berperan sebagai 'saputangan' untuk membersihkan mulut, hidung, tangan dan tubuh publik pada umumnya? Pertanyaan ini, hanya yang bersangkutan yang tahu jawabannya.


Baca: Berkenalan Dengan Dr. Kanisius Jehabut


Kebingungan saya semakin bertqambah manakala menyusuri lorong sejarah penggunaan saputangan ini. Diceritakan bahwa ternyata saputangan juga bisa dikaitkan dengan seks, darah, dan kematian. 


Ketika Black Death (wabah penyakit di mana kulit penderita menjadi menghitam karena pendarahan subdermal) memusnahkan setengah dari Eropa pada pertengahan hingga akhir abad ke-14, penduduk Eropa berjalan dengan selalu membawa rempah berbalut saputangan untuk menangkal penyakit. 

Saat itu saputangan menjadi "wabah" dan harus dimiliki oleh setiap orang. 


Pada era Victoria (1837-1901), saputangan menjadi simbol dari seks. Seorang wanita akan menjatuhkan saputangannya di depan pria untuk memberi kesempatan agar saputangan tersebut diambil, dikembalikan, dan dimulailah suatu hubungan antara keduanya. Saputangan mulai dikaitkan dengan seks lagi pada tahun 1980-an, ketika pria gay menciptakan 'kode saputangan'. 


Bagaimana kita membaca panorama sejarah itu jika dikaitkan dengan penggunaan saputangan sebagai salah satu jargon politik? Apakah jargon saputangan itu membahasakan tentang darah, kematian, dan seks dalam politik? Apakah saputangan bisa dipakai sebagai metafor tentang tendensi politik yang beririsan dengan darah, kematian, dan seks? Sekali lagi, hanya sang Caleg yang tahu jawabannya.


Sejatinya, nama saputangan berbeda-beda di setiap tempat. "Kerchief" berasal dari bahasa Perancis "couvre-chef", yang berarti penutup kepala. Namun, "bandanna" berasal dari bahasa India yang berarti "mengikat." Di Indonesia saputangan biasanya identik dengan kain persegi bermotif kotak-kotak, kita lebih mengenal saputangan dalam fashion sebagai scarf yang sering mendukung penampilan kita.


Jika kita mengamini bahwa saputangan merupakan asesoris dalam mendukung penampilan, maka bisa dimengerti mengapa 'saputangan' digunakan dalam politik. Boleh jadi, si Caleg memakai 'Salam Saputangan' untuk menambah rasa percaya diri dan membuat performanya kian ciamik.


Pertanyaannya adalah benarkah 'salam saputangan' bisa menghadirkan berkat politik bagi dirinya. Politik adalah sebuah permainan yang hasilnya berupa kemungkinan. Kita bisa berspekulasi bahwa melaui 'saputangan', dukungan publik terhadai sang Caleg terus mengalir. 


Setidaknya, sama seperti saputangan yang dirasa sangat penting, baik dalam membersihkan tubuh maupun untuk mendukung penampilan, publik pun muingkin saja 'terpesona' dengan hadirnya sisi kebaruan dari sang Caleg berupa 'saputangan politik' yang siap dibawa kemana-mana untuk membersihkan tubuh politik Kabupaten ini dan menambah rasa percaya diri sebagai Kabupaten destinasi wisata super prioritas.



*Penulis adalah warga Mabar. Tinggal di Watu Langkas.

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • "Salam Saputangan" dalam Politik

Trending Now

Iklan