Iklan

Iklan

Iklan

Iklan

Seminari, Literasi dan Gairah Menjadi Pastor

Suara BulirBERNAS
Friday, December 29, 2023 | 04:18 WIB Last Updated 2023-12-28T21:31:55Z

Oleh: Sil Joni*


Seminari, Literasi dan Gairah Menjadi Pastor
Seminari, Literasi dan Gairah Menjadi Pastor




Dalam tulisan ini, saya coba menjelaskan sekenanya korelasi antara seminari dan kultur literasi. Tinjauan ini, tentu saja berangkat dari pengalaman konkret penulis saat mengikuti pendidikan di panti (rumah formasi) untuk calon imam itu.


Baca: SMKN 1 Satarmese Gelar Ujian Laporan PKL Selama Dua Hari


Sebelum melihat lebih dalam relasi dialektis antara seminari dan tradisi literasi, kita perlu mendapat gambaran terkait apa itu seminari dan literasi. Seminari berasal dari kata Latin `semen' yang berarti `benih atau bibit'. Dari kata dasar semen itu, lahir kata seminarium yang berarti 'tempat persemaian atau pembibitan'.


Dari definisi etimologis itu, maka  seminari berarti sebuah tempat (baca: sebuah sekolah) yang bergabung dengan asrama, tempat belajar dan tempat tinggal di mana benih-benih panggilan imam yang terdapat dalam diri anak-anak muda, disemaikansecara khusus. Proses persemaian itu tentu dalam jangka waktu tertentu, dengan tatacara hidup dan pelajaran yang khas dan ditopang dengan  dukungan bantuan para staf pengajar dan pembina. Umumnya, para formator di seminari itu terdiri dari para imam/biarawan. Para siswa yang belajar di seminari disebut 'seminaris'.


Sedangkan, term literasi secara etimologis berasal dari bahasa Latin “literatus” yang berarti 'orang yang belajar'. Aktivitas belajar itu, meski tidak selalu, identik dengan kegiatan membaca dan menulis. Karena itu, secara sederhana literasi dikaitkan dengan kemampuan membaca dan menulis (able to read and to write).


Baca: "Dunia Tidak Butuh Anak yang Pintar Menghafal"


Tetapi, dalam perkembangannya, literasi mengalami perluasan arti. Literasi tidak hanya mengacu pada aktivitas baca tulis, tetapi juga kemampuan memahami informasi dan pengetahuan dalam berbagai bidang seperti numerasi, sains, digital, finansial, budaya dan tentu saja bidang baca tulis itu sendiri.


Lalu, apa hubungan antara seminari dan literasi? Proses pendidikan dan pembinaan di seminari itu bersifat holistik yang jika dipadatkan terangkum dalam ungkapan 5S; yaitu sanctitas (kekudusan), scientia (pengetahuan), sanitas (kesehatan), sapientia (kebijaksanaan), dan societas (kemasyarakatan/persaudaraan).


Sesuai dengan topik uraian ini, literasi menjadi komponen penting dalam proses pembentukan sisi intelektualitas (pengetahuan/scientia) dari para seminaris. Bentuk pembinaan yang berorientasi pada peningkatan kapasitas kognitif seminaris, tentu saja melalui penerapan budaya literasi (baca-tulis).


Sebagai seminaris kala itu, saya dipacu untuk membiasakan diri bergulat dengan dunia baca-tulis ini. Kami tidak hanya didorong untuk melahap sekian banyak bahan bacaan bermutu, tetapi juga 'dituntut' untuk membuat catatan khusus atas aneka literatur itu sesuai dengan tingkat pemahaman dan menggunakan bahasa (penalaran) sendiri.


Selain aspek teoretis (pengetahuan), seminaris dituntun untuk "terampil" menulis dan berbicara. Majalah dinding (Mading) dan Majalah resmi seminari menjadi 'wadah berlatih' untuk tiba pada level cakap menulis. Di samping itu, seminaris harus terbiasa menulis di catatan harian (diari). Setiap siswa, dengan demikian memiliki jurnal pribadi yang secara reguler dijadikan tempat untuk menumpahkan pemikiran dan perasaan terkait dengan apa yang dialaminya setiap hari.


Baca: Reses di SMK Negeri 1 Satar Mese, AHP Serahkan SK Beasiswa PIP, Sekertaris Dinas PPO Beri Komentar Begini


Kultur baca-tulis itu kian bersemi ketika pola pembinaan bidang kerohanian (sanctitas) selalu bersinggungan dengan dunia literasi itu. Seminaris diminta untuk membuat "meditasi tertulis, membaca dan menuangkan isi Kitab Suci (Lectio Devina, membaca dan meringkas buku-buku rohani dan membuat refleksi pribadi secara intensif.


Boleh dibilang, aktivitas literasi menjadi 'makan-minum anak seminari'. Kegiatan membaca dan menulis, cepat atau lambat, menjadi bagian tak terpisahkan dari cara hidup sebagai seminaris. Dengan kata lain, literasi begitu menyatu dengan tubuh seminaris dan menjadi penanda khas eksistensinya sebagai siswa seminari. Tidak heran jika kemampuan akademik siswa seminari, kendati tidak semua, selalu berada di atas rata-rata.


Pertumbuhan tradisi literasi itu, tentu saja ditopang oleh ketersediaan fasilitas yang relatif memadai. Semua seminari, baik seminari menengah maupun seminari tinggi, memiliki perpustakaan dengan koleksi buku yang banyak dan ruang baca yang luas. Perpustakaan, bagi saya waktu itu, menjadi tempat favorit yang mendapat prioritas untuk dikunjungi. 


Dari paparan sekilas di atas, dapat disimpulkan bahwa budaya literasi 'bertumbuh subur' di seminari. Dengan rumusan lain, seminari (setidaknya untuk saya) menjadi ladang berseminya kuntum literasi. Seminari tanpa literasi, rasanya itu bukan seminari. Seminaris yang tidak menggauli aktivitas literasi, sebetulnya, tak layak mendapat predikat sebagai siswa seminari.


Kendati demikian, saya harus jujur mengakui bahwa 'ketertarikan saya menekuni dunia literasi di seminari' itu, salah satunya dipompa oleh kegairahan yang meluap-luap untuk menjadi imam (pastor) Katolik. Gairah untuk menjadi pastor begitu besar kala itu. Kegairahan itu berimplikasi pada timbulnya rasa cinta yang besar pada bidang literasi. Jika bukan karena ingin menjadi pastor, mungkin 'semangat' untuk menekuni semesta literasi, tidak terlalu membara. Kemauan untuk menjadi pastor ternyata membawa berkat tersembunyi bagi peningkatan kapasitas berliterasi dalam diri saya.


Meski mimpi menjadi pastor itu "kandas" di tengah jalan, saya tetap bersyukur sebab 'habitus literasi' di seminari, berhasil dibawa pulang. Kemampuan literasi itu  menjadi bekal bagi saya dalam memaknai kehidupan ini dan bisa eksis di dunia yang kian kompetitif ini. Kerinduan menjadi imam boleh saja terkubur, tetapi literasi tumbuh subur. Itulah kado terindah yang dipersembahkan seminari untuk saya.




*Penulis adalah warga Mabar. Tinggal di Watu Langkas.

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Seminari, Literasi dan Gairah Menjadi Pastor

Trending Now

Iklan