Oleh: Sil Joni*
Wajah Ayu dan Tampan Bukan Jaminan |
Keterpikatan pada kemolekan tubuh, biasanya berlangsung sesaat. Boleh jadi, gairah kita untuk 'merasakan aura keseksian badannya' begitu membara ketika bersua muka untuk pertama kalinya. Pandangan pertama umumnya berfokus pada sisi lahiriah saja.
Baca: Inilah Tubuhku!
Tubuh yang molek dan jelita, bisa menjadi senjata dalam kontestasi elektoral. Fenomen politik tubuh, terus diperlihatkan dari pemilu ke pemilu. Kandidasi para artis atau selebriti, dapat dibaca sebagai maraknya penggunaan politik tubuh dalam ruang kontestasi politik itu.
Ketika partai politik (Parpol) gagal menjalankan fungsinya sebagai 'wadah kaderisasi', maka cara instan dipakai untuk memenuhi kuota pencalonan. Public figure, selebriti, para pesohor direkrut untuk mendulang suara.
Pada level nasional, setidaknya terdapat 62 nama artis yang kemungkinan akan tampil di surat suara Pileg 2024, baik pendatang baru maupun yang sudah terpilih pada Pileg sebelumnya. Kehadiran mereka diyakini dapat memberikan daya tarik dan popularitas bagi partai politik. Mereka diharapkan membawa berkat berlimpah.
Baca: Memilih Karena Partai atau Figur?
Sedangkan di tingkat lokal, meski bukan masuk kategori 'artis kenamaan', tendensi untuk merekrut figur-figur populer masih sangat kuat. Mereka yang sering tampil di hadapan publik, memamerkan tubuh dan talenta dalam bernyanyi, dibidik untuk masuk dalam nominasi pencalonan itu.
Sebetulnya, pencalonan artis atau sosok populer itu, tidak menjadi masalah sepanjang mereka memenuhi syarat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bagaimana pun juga, mereka memiliki hak politik untuk 'dipilih' oleh publik.
Keberadaan para artis dalam partai, di satu sisi, bisa mendongkrak citra dan popularitas partai, tetapi pada sisi yang lain, bisa berujung bencana. Tidak selamanya 'kehadiran para pesohor' mendapat tanggapan positif dari publik konstituen. Publik lebih mempersepsikan mereka sebagai 'penghibur', ketimbang calon pemimpin.
Buktinya, banyak selebriti yang kurang mendapat suara signifikan. Itu berarti menjual 'tampang' saja tidak cukup. Meski mereka tampil dengan gaya dan aura yang menawan, publik tidak terkecoh. Masalahnya adalah mereka hadir di panggung politik hanya bermodalkan 'tubuh yang tampan dan jelita'. Sebagai pekerja industri hiburan, mereka pasti laris manis, tetapi sebagai politisi, rasanya masih banyak sisi minusnya.
Belum lagi jika kita berbicara soal kiprah para artis terpilih di ruang parlemen. Sejauh ini, belum ada catatan yang bernada afirmatif dan optimis terkait kinerja mereka. Sebaliknya, kita kerap mendengar warta minor bahwa para pesohor itu, tidak lebih sebagai "penggembira" di senayan. Mereka lebih banyak tampil sebagai 'selebriti' yang memberikan hiburan dan kenikmatan bagi sesama anggota 'wakil rakyat'. Tak ada prestasi yang membanggakan yang ditorehkan oleh para artis itu.
Boleh dibilang, keberadaan artis dalam dunia politik dapat mengaburkan batas antara dunia hiburan atau citra dan dunia politik. Artis dan selebritis karena tampang yang menawan, tentu memiliki penggemar yang banyak. Publik bisa terkecoh.Kita akan memilih berdasarkan popularitas atau tampang yang dimiliki, tidak berdasarkan pada ideologi, visi-misi, atau bahkan program yang diusung.
Baca: "Salam Saputangan" dalam Politik
Padahal, dalam upaya memenangkan suara, beberapa artis dan selebritis cenderung memfokuskan kampanye mereka pada isu-isu superfisial yang tidak selalu mencerminkan masalah substansial yang dihadapi oleh masyarakat. Hal itu bisa dimengerti sebab mereka tak punya 'isi kepala' yang cukup untuk dibagi kepada publik. Kekuatan mereka adalah keterkenalan sebagai pekerja seni.
Akhirnya, sebagai masyarakat dan pemilih, kita harus lebih selektif dalam menentukan pilihan di Pileg 2024. Mungkin baik melihat kualifikasi dan kompetensi setiap kandidat sebagai bahan pertimbangan. Selain itu, bisa juga dengan menilai analisis isu dan program yang ditawarkan. Yang terakhir dan paling penting adalah tinjau kredibilitas dan integritasnya. Dengan itu, pilihan kita relatif punya dampak yang baik bagi perbaikan mutu kehidupan bersama.
Caleg yang selalu tampil menghibur penonton dalam setiap hajatan publik, tidak secara otomatis meraup suara signifikan. Sorak-sorai dan tepuk tangan publik pada saat mereka tampil, sama sekali tidak mencerminkan kuatnya arus dukungan publik bagi dirinya untuk menjadi 'pengeras suara masyarakat'.
*Penulis adalah warga Mabar. Tinggal di Watu Langkas.