Iklan

Iklan

Iklan

Iklan

Agar Tidak Berlabuh ke Lain Tubuh (Omong-omong Soal 'Politik Tubuh')

Suara BulirBERNAS
Friday, January 12, 2024 | 11:41 WIB Last Updated 2024-01-12T04:56:38Z

Oleh: Sil Joni*


Agar Tidak Berlabuh ke Lain Tubuh (Omong-omong Soal 'Politik Tubuh')
Agar Tidak Berlabuh ke Lain Tubuh (Omong-omong Soal 'Politik Tubuh')




Pemilu sejatinya adalah momen kontestasi gagasan. Setiap kontestan berusaha memasarkan secara kreatif 'ide-ide politik bernas' guna meyakinkan publik bahwa dirinya sangat pantas untuk menjadi 'pemimpin politik'.


Tetapi, dalam kenyataannya 'tidak hanya gagasan' yang dipasarkan, tetapi juga tubuh dari para kandidat pemimpin tersebut. Tubuh calon dikemas sedemikian agar terlihat memikat. Tidak heran jika ada perbedaan signifikan antara 'tubuh' yang tampak di panggung depan dan tubuh riil yang ada di panggung belakang. Yang diperlihatkan di panggung itu umumnya 'tubuh artifisial, tubuh yang sudah dipoles'.


Tubuh yang berjingkrak-jingkrak dan menari gemulai di panggung itu bisa dilihat sebagai 'perangkat' agar publik-konstituen tidak berlabuh ke lain tubuh. Demikian juga dengan foto atau baliho yang berebaran di ruang publik. Tubuh yang dipotret dalam pelbagai gaya itu, memiliki daya magis agar publik tak berpaling ke tubuh yang lain.


Jika sebelumnya, tubuh itu tidak akrab dengan dunia seni gerak (goyang), maka dalam musim kontestasi itu, tiba-tiba begitu lentur ketika bergoyang. Semakin unik dan atraktif goyangannya, peluang mendapat dukungan publik semakin besar. Politik goyang dan politik tubuh, telah menjadi 'metode baru' dalam mendulang suara saat ini.


Baca: Skor Performa Debat dan Elektabilitas Paslon


"Inilah tubuh-Ku yang dikurbankan bagimu." Itulah sabda Anak Manusia kepada para murid-Nya dalam peristiwa "perjamuan terakhir (the last supper)." Ia rela "memberi" dari apa yang menjadi fundamen esensial dalam diri-Nya, yaitu tubuh. 


Tubuh menjadi "persembahan" untuk disantap oleh para rasul-Nya. "Barang siapa makan tubuh ini, ia tidak akan lapar lagi". Luar biasa. Tak ada cinta yang lebih besar selain kesediaan untuk mengorbankan "tubuh" bagi sahabat-sahabatnya. Kebahagiaan orang lain jauh lebih besar maknanya dari sekadar "menjaga dan merawat kesenangan badaniah."


Tubuh, dengan demikian bukan "tembok" untuk mengurung diri, melainkan "jembatan, penghubung" antara diri dengan sesama. Tubuh bersifat sosial. Perjumpaan dengan yang lain hanya dan melalui tubuh. Kedirian kita jelas terbaca melalui penampakan tubuh. Aktus pengenalan terhadap orang lain harus melewati medium lahiriah (tubuh).


Dari alur pikir ini, bisa dimengerti mengapa Para Paslon dan Timses dalam musim kontestasi politik "memamerkan tubuh" secara intensif dan atraktif. Tubuh-tubuh politik membawa pesan politik yang tegas bahwa "tubuh itu" siap dikurbankan untuk kebahagiaan publik. Mereka "menawarkan tubuh politik" itu untuk disantap oleh "pemilih/publik". Barangsiapa mengonsumsi tubuh itu, niscaya publik tidak lapar lagi.


Itulah fantasi poltik yang coba dikumandangkan dalam masa kampanye ini. Tubuh-tubuh politik coba "merayu" publik dengan janji manis bahwa "tubuhku" menjadi garansi "pembebasan" warga dari aneka prahara politik elementer di negeri ini.


Baca: Debat dan Potensi "Tergesernya" Preferensi Pemilih


Pertanyaannya adalah apakah "teologi tubuh" dalam narasi biblis sungguh menjadi panduan bagi Para Paslon dan Caleg dalam "memasarkan tubuh mereka?" Saya sangat pesimis. Tubuh yang dipasarkan dalam ruang publik tidak tanpa kalkulasi politis. Tubuh dijadikan "perangkap" untuk menjaring suara demi "merengkuh libido kuasa."


Saya tak yakin bahwa "tubuh politik" itu rela dipersembahkan untuk kemaslahatan warga. Alih-alih menyenangkan publik, justru tubuh itu membuat publik menderita. Mereka datang ke tengah masyarakat bukan sebagai hamba, tetapi sebagai raja (the big boss). Rakyat mesti berjibaku menyambut kehadiran "tubuh itu" dengan sekian cerita sedih dan sengsara di belakangnya. 


Selain itu, tubuh yang sama, ketika meraih kursi kuasa "berpotensi" membantai tubuh publik tersebab oleh miskinnya kreativitas dalam mendesain kebijakan yang pro kesejahteraan publik. Tengok saja, belasan tubuh TKI asal NTT yang datang dengan peti mati ke kampung asal mereka.


Baca: Pileg, Momen Evaluasi Kinerja Para "Wakil Publik"


Sekian juta anak yang menderita 'gagal tumbuh (stunting)' dan warga yang kelaparan, ditengarai sebagai rendahnya sensitivitas politik dari 'tubuh-tubuh' yang dipajang di ruang publik. Kisah penyalahgunaan kekuasaan, bisa menjadi preseden bahwa 'tubuh yang bergoyang' di panggung kontestasi, tak menjadi jaminan hadirnya suasana bahagia dan pembebasan bagi publik.



*Penulis adalah warga Mabar. Tinggal di Watu Langkas.

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Agar Tidak Berlabuh ke Lain Tubuh (Omong-omong Soal 'Politik Tubuh')

Trending Now

Iklan