Oleh: Sil Joni*
Berpolitik Melalui Pikiran Kritis |
"Mengapa bapak belum mau terjun ke gelanggang politik? Dalam pandangan kami, bapak termasuk salah satu figur potensial di Manggarai Barat (Mabar). Apakah bapak punya rencana untuk menjadi pemain politik di kemudian hari?".
Itulah beberapa pertanyaan dan pernyataan motivatif kepada saya dari sejumlah kolega dan sahabat. Mereka, setidaknya dari pernyataan yang terlontar itu, sangat mendukung jika saya mau menjadi 'aktor politik'. Saya, dalam penilaian mereka, sangat cocok untuk bermukim di kawasan politik kekuasaan itu.
Baca: Mabar Baru (Bangkit dan Mantap) di Tahun Baru, Mungkinkah?
Tentu saja, terhadap masukan semacam itu, saya merasa tersanjung dan memberikan apresiasi yang tulus. Tetapi, hemat saya, ada banyak cara untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik. Menjadi politisi (pekerja politik) hanya salah satu opsi. Membangun tradisi berpikir kritis dalam ruang publik, bisa juga dilihat sebagai satu metode berpolitik. Katakan saja, kita berpolitik dengan menyumbangkan pikiran kritis dalam menghidupkan wacana bermutu dalam panggung politik.
Tradisi berdialektika secara rasional mesti dihidupkan dalam panggung politik kita. Mengapa? Politik sejatinya adalah ruang diskursus publik. Partisipasi publik dalam mendesain dan mengonstruksi "wacana" yang berkorelasi dengan interes publik, menjadi conditio sine per quam.
Baca: Politik Uang dan Publik yang Permisif
Atas dasar itu, sebetulnya tradisi berdebat dan 'baku kritik' dalam menggumuli sebuah isu di ruang publik itu, merupakan hal yang produktif. Publik yang kritis (para kritikus politik), saya kira memiliki kontribusi yang vital agar ruang publik tidak dimanipulasi dan terdistorsi oleh skenario politik parsial para aktor yang kerap menabrak 'rambu etis' dalam berpolitik.
Lalu, pertanyaannya jika para 'kritikus' itu, tahu 'banyak hal' tentang esensi politik, mengapa mereka tidak berani untuk menjadi pemain utama (politikus) dalam merebut kekuasaan politik? Umumnya, kelompok civil society yang kritis mempunyai 'kapasitas pengetahuan dan integritas diri yang membanggakan. Tentu, logikanya adalah ruang politik kita akan semakin bermutu seandainya 'pribadi cerdas dan bermoral' tersebut terjun dalam gelanggang politik.
Tidak sedikit yang melontarkan semacam 'sinisme' terhadap elemen masyarakat yang 'hanya tahu berkomentar (berteori), tetapi tidak bisa berbuat'. Saya kira, anggapan semacam itu, sah-sah saja, sebab "panggung politik kita" sedang mengalami krisis atau paceklik sosok yang berilmu, beretika, berkompeten secara politik.
Baca: Politisi "Kutu Loncat"
Namun, pilihan semacam itu, bukan sebuah 'keharusan atau kewajiban moral'. Memilih untuk menjadi 'warga yang kritis', hemat saya, tidak kurang nilainya dengan menjadi aktor politik. Intensi dan motivasinya sangat mulia, yaitu meluruskan jalan politik yang dibengkokan oleh para politikus sehingga idealisme pencapaian kesejahteraan publik lekas terwujud.
*Penulis adalah warga Mabar. Tinggal di Watu Langkas.