Oleh: RP Steven Yogalupi /Stefanus Dampur SVD*)
Bertindak Cerdas Selaras Alam |
(Tetap Sadar dan Waras Menikmati Indahnya Bunga Api dari Perut Gunung Berapi Lewotobi di Langit Hokeng)
Aktivitas gunung berapi Lewotobi pada Kamis malam, 11/1/24, sekira pkl. 18.55 WITA masih mengeluarkan gambaran benda bercahaya laksana api di dalam gulita. Barang indah berwarna merah kusam itu nampak indah memesona terbang ke atas langit Hokeng dan sekitarnya. Api masih tetap aktif bernyala dari dalam perut gunung berapi Lewotobi. Kemungkinan dia belum mengeluarkan semua persediaan api yang ada dalam tubuhnya. Biar main pelan Lewotobi. Tidak apa-apa. Kami ikuti saja iramamu wahai gunung berapi Lewotobi. Irama penuh seni mengeluarkan bunga api. Irama penuh seni letusan. Irama penuh seni dentumanmu yang menakutkan serentak menakjubkan, seumpama suara roket yang meluncur atau juga orkestra yang melibatkan ratusan pria berbadan sejahtera dan bersuara vibrasi rendah atau bersuara bass sempurna.
Baca: Suara Gemuruh Dari Gunung Lewotobi Itu Menakutkan Sekaligus Menakjubkan
Bagi saya, api yang muncul di puncak gunung berapi Lewotobi itu semacam api unggun gratis pincak gunung yang memanjakan mata para penikmatnya dari bawah lembah kaki gunung, dengan radius kilometer yang berbeda.
Ada yang radius kilometernya 3, kilometer 4, kilometer 5, 6 dan seterusnya. Fungsi bara api yang nampak itu bisa bersifat toxic (beracun), bisa estetis (berdaya seni), bisa juga sebagai sekelebat, sepintas kilas yang sungguh menakjubkan. Lalu menghilang ditelan semesta. Lukisan alam memunyai daya sihirnya tersendiri untuk menghipnotis warga tetangga sebelahnya yakni manusia.
Fungsi lain dari api itu termasuk menerangi malam yang gelap. Maaf, apalagi jika memang listrik di tempat kita terganggu di malam hari. Api dari gunung itulah salah satu alternatif yang menyumbangkan cahaya. Bukankah secara substansial, cahaya itu menerangi? Salah satu sumber cahaya yakni api alamiah. Ya, api seperti yang disumbangkan oleh gunung berapi Lewotobi kepada dunia yang gelap.
Percayakan Proses Alamiah Alam
Manusia hanya bisa membuat perkiraan, tafsiran atau mitigasi terhadap kemungkinan akan adanya bencana. Bukan kepastian eksak atau pasti paripurna. Letusan gunung api itu bukan seperti matematika yang bisa memastikan dengan pasti hasilnya, seperti halnya dalam bidang pertambahan, pengurangan, perkalian ataupun pembagian. Di hadapan alam, hanya kemungkinan tentang yang tak mungkin atau mungkin tentang kemungkinan.
Istilah yang lazim dipakai dalam menafsirkan gejala alam adalah prakiraan, dugaan, tafsiran, mitigasi. Dalam ilmu tafsiran ada pemeo ini: "sangat mungkin, boleh jadi".
Ada seni "kemungkinan yang sangat" di satu sisi dan ada "boleh jadi" di sisi yang lainnya. Jika sangat mungkin, maka boleh jadi. "Jika sangat mungkin" gunungnya aktif- agresif, maka "boleh jadi" gunung itu meletus dengan daya ledak/eksplosif yang besar atau tinggi. Sebaliknya, jika "sangat mungkin" letusan api dari gunung yang aktif itu berdaya ledak/letusan lemah maka "boleh jadi" tembakan apinya begitu lemah dan hanya mencapai radius kilometer yang dekat atau pendek pula. Jangan membuat informasi palsu atau hoax yang hanya membuat warga panik, hilang akal, stress, depresi dan bahkan berakibat kematian karena ketakutan berlebihan.
Baca: Boganatar: "Saat Kembali", Berkisah, Bernostalgia dan Memberi Makna"
Jadi pernyataan "sangat mungkin, boleh jadi" itu sesungguhnya merupakan seni membaca, menafsirkan kemungkinan dan peluang untuk terjadi atau tidaknya suatu peristiwa atau kejadian, dalam hal ini, kejadian yang ditimbulkan oleh alam berupa letusan gunung berapi Lewotobi yang kian hari belum jenuh untuk beraksi. Kita hanya bisa katakan: soal gas atau rem letusan api gunung berapi Lewotobi, itu "hak" gunung dan mungkin bisa dibaca oleh alat pemantau dan pekerja atau pegawainya yang mahir menafsirkan cara bekerja peralatan tersebut sembari menyimpulkannya sesuai dengan ilmu yang mereka pelajari dan juga pengalaman mereka selama bekerja.
Sikap Mayoritas Warga Paroki Hokeng: Cerdas, Bijak, Tetap Merawat Kewarasan
Umat kami mayoritas termasuk cerdas. Mereka juga berjuang untuk bertindak bijak dituntun oleh pemikiran bijaksana. Yang paling penting ialah mereka tetap merawat kewarasan. Mereka tahu dan sadar bahwa ada bencana alam letusan gunung api.
Mereka idealis tapi mereka juga realis. Mereka memiliki ideal untuk hidup nyaman dan aman tapi sadar secara riil, kini ada bencana. Karenanya mereka "cerdas konteks". Itulah pentingnya "sadar konteks" dan berakibat pada "bersikap kontekstual.
Saat pemerintah mengumumkan gunung Lewotobi berstatus level tiga: waspada, mereka dan kami tetap waspada. Ketika naik ke level empat: Awas, artinya menjauhi lokasi gunung berapi, mereka juga mengungsi baik yang dimobilisasi oleh Pemerintah lewat Satgas Bencana, BPBD dibantu tenaga keamanan (Pol PP, Polisi, tentara, dll) maupun mereka yang berkeputusan untuk mengungsi secara mandiri di keluarga mereka masing-masing yang radius lokasinya jauh dari pusat bencana erupsi dan letusan gunung berapi di atas radius 5 km.
Apa artinya realitas ini? Artinya, umat kami itu kooperatif, cerdas, cermat dan masih merawat kewarasan. Waras artinya sehat secara jasmani, juga psikologis. Tak ada gangguan secara fisik (badaniah) dan psikis/kejiwaan. Lebih dalam lagi, kejiwaan umat kami dan kami ini masih baik, masih kuat, masih normal, masih rasional. Hal yang dibuat hanya mempertahankan dan meningkatkan nya.
Sangat tidak dianjurkan jika ada orang yang berniat membuat umat kami stress, depresi bahkan mengalami gangguan kejiwaan. Pasti paham tentang maksud saya! Lebih jelasnya, pndekatan terhadap umat kami jangan represif-intimidatif. Pendekatan harus persuasif-manusiawi dan punya sopan santun, beretika dan beradab.
Kita ini sudah masuk di zaman post-modern. Gaya otoriter-diktator sudah kadaluarsa dan ketinggalan zaman. Mari kita menjadi insan "up to date" (selalu memperbharui diri sesuai konteks atau hidup selaras zaman). Bisa juga kita memakai prinsip: "Tegas dalam prinsip tetapi lembut dalam cara". Situasi masih normal jangan dibuat seolah-olah sudah sangat gawat darurat. Dalam situasi "chaos/ kacau-balau" dan gawat darurat tentu berbeda lagi cara penangananannya. Semakin paham.
Percaya Pada Mekanisme Alamiah; Tetap Sadar Konteks
Alam itu memunyai rumusnya tersendiri. Sehebat-hebatnya manusia, dia hanya menafsirkan gejala-gejala alam. Manusia tidak berkuasa atas alam. Manusialah yang mesti hidup selaras alam, dan bukan alam yang hidup selaras "otak kecil sepotongnya" manusia itu.
Manusia yang memunyai otak sepotong, tepatnya sebesar kepalan tangan kanannya, tidak bisa mengatur sistem kerja alam raya ini. Pihak yang berkuasa mengatur alam semesta dan segala isinya hanya Allah, Yang Mahapencipta dan Mahakuasa serta Mahapenyelenggara segalanya.
Baca: Respons Bupati Edi Terhadap ASN yang Terlibat "Judi Daring"
Hal yang bisa dibuat oleh manusia ialah berpikir secara sadar, dan bertindak secara sadar pula serta dengannya, semua tindakannya dapat dipertanggungjawabkan, mengikuti kerangka berpikir logis-sistematis, rasional, dapat diukur, dapat pula dilaksanakan, perhatikan "timing atau waktu yang tepat".
Harapan Kepada Pemerintah dan Para Pihak
Tentu pemerintah lewat "Satgas Bencana" sungguh mempertimbangkan secara cerdas, cermat, bijaksana terkait rencana/plan A, B, C, dan seterusnya yang mereka lakukan terkait "menentukan nasib orang banyak" saat bencana melanda warganya.
Sebaiknya, berpikir double sebelum bertindak. Jika cara berpikirnya bijak, maka tentu tindakan dan keputusan juga bijak, sebab cara seseorang berpikir sungguh menentukan cara dia bertindak atau mengeksekusi pikirannya.
Harapan Untuk Semua Orang
Mari kita semua tetap bertindak cerdas. Ketika kita menggunakan diksi "cerdas" di dalamnya terdapat lima (5) dimensi ini:
Pertama, cerdas intelektual/kognitif: memaksimalkan penggunaan alal sehat dalam mempertimbangkan plus-minusnya sesuatu. Katakanlah kita mengunakan pisau analisis "TOWS= Threat (Tantangan/Masalah Pokok), Opportunity/Peluang, Weaknesess/Kelemahan, Strength/Kekuatan.
Kedua, cerdas emosional/tahu mengatur/mengontrol emosi atau perasaan.
Ketiga, kecerdasan sosial. Dia berpikir tentang sesama, sahabat, socius bukan fokus pada ego apalagi bertindak egoistis-individualistis.
Keempat, kecerdasan psikologis, kondisi kejiwaan yang stabil, normal.
Kelima, kecerdasan spiritual/kerohaniannya. Bahwa baik dalam situasi suka/gembira maupun duka/derita kita mesti tetap merawat relasi spiritual dengan Tuhan Allah bukan justru menjauhi Tuhan Allah apalagi mempersalahkan Tuhan Allah dalam tragedi yang kita alami.
Jika seseorang memiliki kecerdasan holistik seperti disebutkan di atas, maka dia akan menjadi manusia yang arif, bijaksana, dan tentu menghasilkan keputusan yang bernas yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sebagai citra Allah.
Epilog:
Biarkanlah semuanya berproses. Biarkanlah gunung Lewotobi menyembuhkan dirinya sendiri, menjaga keseimbangan alam. Biarlah tetap begitu.
Main "slowly but surely"! pelan tapi pasti".
Pelan tapi pasti mengikuti mekanisme dan rumus alam bukan rumus rekayasa manusia oportunis-pragmatis; mencari kesempatan dalam kesempitan, serta mencari manfaat/kegunaan untuk diri sendiri. Kita menolong diri dan orang lain agar tidak terjebak dalam kepanikan massal yang tidak perlu.