Oleh: Sil Joni*
Cakap Menata Kata |
Memang 'skill berbahasa' tidak menjadi kriteria utama untuk menjadi pejabat publik. Sistem demokrasi elektoral dan prosedural telah "membuka ruang dan peluang" bagi mereka yang 'terbata-bata' dalam logika berbahasa untuk menjadi pemimpin politik.
Publik tak 'terlalu risau' dengan kapasitas berbahasa sang kandidat kala menjatuhkan pilihan politik. Kita lebih tertarik pada performa lahiriah dan sejumlah donasi politik yang mengalir sesaat ke kantong pemilih.
Baca: Pohon, Penyelamat Bumi
Buktinya, kepandaian dan kefasihan dalam berdebat, menata kata, tak membuat elektabilitas sang kandidat menanjak, melampaui tingkat keterpilihan dari calon yang tak terlalu memukau dalam berargumentasi.
Tetapi, apakah kecakapan menata kata 'tidak penting' bagi seorang pemimpin politik? Rasanya terlalu naif untuk mengambil kesimpulan ekstrem semacam itu. Saya kira, akan sangat ideal jika dalam diri seorang pemimpin ada keseimbangan antara kecakapan menata kata dan kecakapan 'menata negara'.
Kedua kemampuan itu tidak harus dipertentangkan tetapi dikelola secara bersama sebagai bekal mewujudkan kepemimpinan yang berkualitas. Pemimpin yang hanya pandai 'berbicara, berteori' tidak bakal mengubah apapun tanpa ditopang dengan kapasitas bertindak dan mengambil keputusan secara tepat.
Baca: Kursi Legislatif
Sebaliknya, pemimpin yang hanya menonjol dalam 'bekerja/berkarya' bakal mengalami 'disorientasi' tanpa ditopang dengan landasan konseptual yang kokoh dan dikomunikasikan dengan bahasa yang jernih baik kepada bawahannya maupun kepada publik. Komunikasi publik yang inefektif tentu bersifat kontraproduktif dalam merealisasikan tujuan dan arah dari kebijakan yang didesain oleh para pemimpin politik.
Karena itu, kita tidak perlu 'mengkultuskan' tipe calon pemimpin yang menonjol dalam salah satu aspek saja, entah 'kecerdasan berteori maupun keberhasilan dalam kerja nyata. Jika sisi kerja, kerja dan kerja yang didewakan, maka mungkin hasilnya adalah pejabat publik yang gagap dalam berbicara dan berpikir ngawur muncul di mana-mana.
Panggung politik kita, baik nasional maupun lokal kita hampir pasti dihuni olah pejabat atau calon pemimpin yang "tak terlalu memperhatikan" keterampilan berbicara. Mereka tampil "asal-asalan" ketika berdialog dengan publik. Jarang kita menjumpai para pejabat publik di republik ini yang berbicara secara sistematis, argumentatif, deskriptif, analitis, dan kaya data.
Namun, anehnya, publik tetap "larut dalam euforia pujian" terhadap performa yang jauh dari standar itu". Ada semacam persepsi yang sudah mengurat bahwa "pejabat publik pasti hebat", sehingga kita selalu 'takjub" pada setiap butir sabda yang tersembul dari mulut mereka.
Baca: House dan Home (Laki-laki dan Perempuan)
Pengkultusan terhadap calon pemimpin itu tampak begitu kuat dalam momen kontestasi ini. Sangat jarang kita memberikan penilaian yang seimbang atau obyektif terkait dengan kapasitas yang dipunyai oleh para kandidat tersebut. Penilaian kita, umumnya berbasis perasaan (emosionalitas). Jika kita sudah memutuskan untuk 'mendukung' Pasagan Calon (Paslon) A, maka apapun yang ditampilkannya dan dibicarakannya pasti benar.
Sekali lagi, kendati skill berbahasa tak menjadi kualifikasi utama untuk menjadi pemimpin, kita tetap merindukan "lahirnya pejabat yang cakap dalam retorika, logika, gramatika dan gaya bicara yang meyakinkan.
*Penulis adalah warga Mabar. Tinggal di Watu Langkas.