Iklan

Iklan

Iklan

Iklan

Dari 'Homo Sapiens' ke 'Homo Videns'

Suara BulirBERNAS
Wednesday, January 3, 2024 | 16:46 WIB Last Updated 2024-01-03T09:54:15Z

Oleh: Sil Joni*


Dari 'Homo Sapiens' ke 'Homo Videns'
Dari 'Homo Sapiens' ke 'Homo Videns'




Manusia pasti "terperangkap" dalam factum spasio-temporal. Implikasi logis dari kondisi eksistensial ini adalah 'kedinamisan' pola ekspresi manusia dalam melintasi dimensi ruang dan waktu tersebut. Manusia selalu "berontak" dengan fakta terberi yang menjerat dirinya.


Baca: Waktu Berlalu, Tulisan Tetap Tinggal


Tidak heran jika kita merasakan dan menemukan fenomen 'lompatan atau perubahan' dalam alur sejarah hidup ini. Ekspresi kemanusiaan kita jelas mengalami pergerseran seiring dengan perputaran waktu.


Boleh jadi kita sangat akrab dengan ekspresi kultural yang sangat dominan pada suatu kurun, dan loncat ke variasi aksi budaya yang berbeda di era selanjutnya. Esensi kemanusiaan kita pun pasti berubah. 


Sebagai contoh, status ontologis sebagai makluk berpikir (bijak) yang begitu digdaya di masa "fajar budi", kini, hanya tinggal kenangan yang diwariskan dalam berbagai institusi budaya. Justru yang dominan saat ini adalah menjamurnya makhluk yang gemar menonton (homo videns) tanpa diperkuat dengan actus berpikir.


Pergeseran status ontologis ini difasilitasi oleh perkembangan teknologi digital yang menawarkan aneka platform yang memungkinkan manusia "menyalurkan naluri menonton" tersebut. Media sosial seperti facebook, instagram, dll adalah mediator primernya. Kita lebih senang "menonton, melihat, dan memandang" obyek ketimbang berpikir tentang lautan makna di balik gambar tersebut.


Baca: Tahun Baru: Jalan Pulang Ke Betlehem, Jalan Kembali Ke Nazareth


Pembacaan secara hurifiah dan parsial terhadap sebuah wacana, dalam arti tertentu bisa masuk dalam kategori ekspresi dari homo videns ini. Kita tak punya cukup waktu untuk menyelami secara komprehensif sebuah teks. Membaca judul sudah dianggap mewakili apa yang dikatakan penulis. Akibatnya, kita secara 'nagawur' menanggapi tulisan orang lain.


Homo videns tidak suka dengan dengan pemikiran yang mendalam dan serius. Karena itu, tulisan ilmiah yang berat pasti tidak dilirik oleh manusia yang suka dengan tontonan itu. Mereka tidak punya waktu untuk masuk ke tempat yang dalam, tempat di mana dunia makna bermukim.


Sejarahwan dan pemikir Yahudi, Yuval Noah Harari dengan tepat mendeskripsikan 'kebiasaan' seorang homo digitalis dan homo videns itu. Ada tiga tindakan utama yang kita lakukan di era teknologi digital, yaitu: rekam, unggah, dan share (bagikan).  


Ketika mengerjakan sesuatu atau menyaksikan sebuah peristiwa, maka yang pertama kita buat adalah rekam dengan menggunakan telepon pintar. Kemudian kita mengunggahnya untuk dibagikan ke segenap platform media sosial. Sudah pasti, kita tidak tertarik untuk merefleksikan makna di balik semua kejadian atau tindakan yang kita lakukan itu.


Baca: Seminari, Literasi dan Gairah Menjadi Pastor


Dalam setting kebudayaan semacam ini, maka tidak mengherankan jika tradisi literasi, menulis di diari, menulis jurnal, pasti tidak disukai oleh mayoritas anak muda saat ini. Rasanya, indeks kualitas literasi masyarakat kita, tidak akan meningkat jika perilaku homo videns sudah mengakar di tengah masyarakat.



*Penulis adalah warga Mabar. Tinggal di Watu Langkas.

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Dari 'Homo Sapiens' ke 'Homo Videns'

Trending Now

Iklan