Oleh: Sil Joni*
Debat dan Potensi "Tergesernya" Preferensi Pemilih (foto ist.) |
Para calon pemimpin politik di negara yang menganut sistem demokrasi, harus 'diuji' dalam forum debat. Publik akan mengetahui apakah figur yang tampil itu, punya 'isi kepala' yang berkualitas atau tidak. Atas dasar itu, sebenarnya debat menjadi 'momen jual diri' di hadapan publik. Dalam dan melalui debat itu, publik mendapatkan alasan yang kuat untuk menjatuhkan pilihan kepada kandidat tertentu.
Baca: Pileg, Momen Evaluasi Kinerja Para "Wakil Publik"
Tingginya angka undecided voters pascadebat seperti yang dirilis beberapa lembaga survei menunjukkan bahwa 'performa' di atas panggung debat, tak bisa dianggap sepele. Kemampuan leadership seseorang, salah satunya terbaca dari kecakapannya dalam berkomunikasi. Dengan rumusan lain, kapasitas berbicara, bisa mempengaruhi rasa percaya diri untuk tampil sebagai pemimpin politik.
Karena itu, setiap kontestan berusaha untuk tampil seoptimal mungkin demi menarik simpati publik. Impresi atau sentimen positif yang diraih setelah berdebat, bukan tidak mungkin berimbas pada perubahan tingkat elektabilitas pasangan calon (Paslon). Sebaliknya, kesan negatif, bisa jadi, berujung pada keputusan untuk 'tusuk' tubuh yang lain.
Tetapi, barangkali 'teori efek debat' di atas, kurang pas untuk membaca tren elektabilitas Calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapres) di negara kita. Setelah dua kali mengadakan debat, tingkat keterpilihan Paslon tidak mengalami perubahan signifikan. Elektabilitas yang cenderung naik dari Paslon Prabowo-Gibran misalnya, tidak disebabkan oleh keberhasilan mereka dalam "menguasai" panggung debat.
Baca: "Foto Politik", Popularitas, dan Kursi Kuasa
Faktor fanatisme dan kedekatan emosional, ditengarai sebagai 'variabel' penentu turun naiknya elektabilitas para kontestan. Komposisi pemilih emosional terlampau besar di Indonesia. Jumlah mereka tak sebanding dengan pemilih rasional. Akibatnya adalah substansi gagasan dan kecakapan teknis dalam berdebat, tidak lagi menjadi pertimbangan utama.
Bagi pendukung fanatis dan loyalis, debat itu sama sekali tidak berpengaruh. Kendati 'jagoannya' secara obyektif, tampil sangat buruk, bahkan tergolong kurang cakap dalam berargumentasi, hal itu tidak membuat dirinya goyah.
Itu berarti, potensi bergesernya preferensi publik, mungkin tidak terlalu massif. Mereka yang kemungkinan akan menjadikan debat itu sebagai 'ukuran' dalam menentukan pilihan, adalah para pemilih bimbang (swing voters) yang jumlahnya tidak seberapa.
Lalu, apakah kemampuan retorika dan berbahasa, tidak penting bagi calon pemimpin politik? Rasanya, terlalu naif jika kita mengabaikan aspek ini. Terampil menata kata tentu saja penting, meski bukan kriteria utama untuk menjadi presiden. Bagaimana pun juga, jika terpilih seorang presiden pasti menerapkan pola komunikasi politik yang efektif, baik dengan bawahannya maupun dengan publik. Pesan politik itu harus disampaikan secara elegan dengan bahasa yang jelas dan baik.
Baca: Merayakan "Kebohongan"
Jangan lupa bahwa Negara ini dibangun di atas serangkaian debat dan pertukaran pikiran. Memori kolektif bangsa memperlihatkan bahwa tradisi debat itu dimulai oleh anak-anak muda dan aktivis pada awal abad ke-20. Debat adalah cara beradab untuk mengubah pandangan dan meyakinkan orang.
Kita ingin agar seorang presiden memutuskan sesuatu, didasari oleh argumentasi yang kokoh, bukan dengan cara-cara curang dan manipulatif. Tradisi diskursus menjadi salah satu kekuatan dalam sistem demokrasi.
Debat Capres menjadi salah satu 'ujian' apakah para kandidat itu memiliki kemampuan berdialektika secara kreatif dan produktif atau tidak. Dalam debat, pikiran dan emosi diasah. Siapa yang bisa 'mengontrol' perasaan dan pikirannya serta menggunakannya secara proporsional, maka penampilannya pasti tidak terlalu mengecewakan publik.
*Penulis adalah warga Mabar. Tinggal di Watu Langkas.