Iklan

Iklan

Iklan

Iklan

"Foto Politik", Popularitas, dan Kursi Kuasa

Suara BulirBERNAS
Thursday, January 4, 2024 | 09:39 WIB Last Updated 2024-01-04T02:50:30Z

Oleh: Sil Joni*


"Foto Politik", Popularitas, dan Kursi Kuasa
"Foto Politik", Popularitas, dan Kursi Kuasa




Kursi kuasa politik tidak diwariskan seturut garis dinasti dan famili, tetapi didapat melalui kompetisi yang sengit. Seseorang mesti menyiapkan kapital yang fantastis dan aneka jurus agar publik konstituen 'terpesona' dengan performa dan debut politik kita


Baca: Merayakan "Kebohongan"


Selain kapital finansial, seorang 'sosok politik' mesti dikenal oleh publik. Sisi popularitas tidak bisa dinafikan begitu saja jika ingin meraih dukungan publik yang signifikan. Menjadi 'figur tenar', dengan demikian menjadi sebuah kemestian. Rasanya, publik tidak mungkin 'memilih figur' yang relatif tidak dikenal.


Salah satu trik untuk mendulang popularitas itu adalah memarkan 'tubuh politik', entah di ruang digital, maupun di ruang fisik (nyata). Foto atau gambar, dalam kajian semiotika, lebih dari sekadar ‘ornamen visual’ yang bersifat atraktif. Foto merupakan ‘teks historis’ yang mengandung deskripsi dan narasi tentang ‘subyek potret’. Tegasnya, dalam dan melalui foto, terselip ‘pesan spesifik’ tentang ‘siapa, apa, di mana, kapan, mengapa, dan bagaimana’ itu terjadi.


Pemirsa (penikmat) foto diberi ruang untuk menginterpretasikan ‘rangkaian momen’ yang terpatri dalam foto itu. Actus penafsiran semacam itu, bermuara pada penciptaan impresi dan imajinasi tentang ‘konten potret itu’. Dengan itu, foto bisa ‘mendongkrak positive image’ dari seorang individu. Citra diri seseorang, boleh jadi berubah, setelah orang lain ‘menikmati hasil jepretan kamera’ dengan pengaktifan elemen persepsi dan imajinasi.


Atas dasar itu, tidak terlalu mengejutkan jika kita ‘berusaha mengabadikan setiap detail kisah hidup’ dalam bentuk pengambilan gambar (taking picture). Kita tidak ingin ‘kisah perjumpaan’ dengan figur-figur top, berlalu begitu saja. Kita coba membujuk para ‘pejabat besar’ untuk foto bersama kita. Kita tidak peduli apakah ‘sosok tenar’ itu, mengenal pribadi kita dengan baik atau tidak. Kita hanya ingin ‘wajah orang besar itu’, turut memberi warna terhadap wajah kita sendiri.


Baca: Berpolitik Melalui Pikiran Kritis


Sadar atau tidak, sebenarnya ada semacam dambaan dalam alam bawah sadar bahwa ‘persepsi tentang eksistensi seseorang’ turut berubah ketika ‘wajak seorang elit politik’, nongol dalam album foto kita. Harapannya, para pemirsa foto itu nanti, memproduksi kesan ‘ketenaran serupa’ untuk diri kita. Setidaknya, publik akan menilai bahwa kita memiliki koneksi dan relasi yang akrab dengan orang-orang besar itu.


Sampai pada titik ini, kita coba menganalisis foto-foto para bakal calon legislatif (caleg) yang ‘didiseminasi’ secara kreatif dan agresif dalam ruang publik (public sphere). Ada sebagian dari kandidat wakil publik itu, yang ‘memamerkan’ sejumlah foto kenangan perjumpaan dengan ‘sejumlah pejabat terkenal’. 


Foto politis semacam itu, tentu secara sengaja dipajang dalam pasar politik, agar menuai semacam ‘pencitraan diri (self-image) yang menguntungkan dari sisi elektabilitas dan popularitas. Pemasaran ‘foto politis’, dengan demikian, merupakan bagian dari trik dan strategi menaikan citra diri sebagai ‘sosok yang tenar’. Bahasa teknisnya adalah personal political branding.


Kita membutuhkan ‘wajah orang besar’ untuk menuai efek ‘ketenaran’ di musim kontestasi politik. Mungkin sang calon mengidap semacam ‘rasa kurang percaya diri politis’, ketika ‘wajah politiknya’ dipajang seorang diri di berbagai tempat.


Sebagai bagian dari ‘strategi politik’, upaya ‘mencuri’ wajah orang besar semacam itu, tentu sah-sah saja. Kita coba ‘menggiring opini publik’ tentang ‘siapa kita’ melaui kemasan ‘sisi lahiriah’ yang menawan. Kita lebih ‘mendandani’ kulit pembungkus ketimbang substansi. Kita semua tahu bahwa politik di era posmodern ditandai oleh selebrasi yang massif terhadap ‘kulit palsu’ itu. Politisi medioker dan hipokrit, sangat lihai ‘memanfaatkan’ watak politik seperti itu.


Baca: Mabar Baru (Bangkit dan Mantap) di Tahun Baru, Mungkinkah?


Ruang pasar politik lokal, kian semarak. Aneka produk politik, baik yang polos maupun palsu, dijajakan secara aktif-progresif. Di tengah situasi pasar seperti itu, konsumen politik mesti cerdas dan selektif ‘memilih’ produk politik itu. 


Pastikan bahwa produk itu, belum ‘terkontaminasi efek visualitas teknologi digital’ yang bisa mengelabui ‘indera politik publik’. Semuanya tergantung pada proses deliberasi rasional para voters. Apakah kita lekas tergoda dengan ‘wajah politik palsu’ di ruang virtual yang hanya pandai mencari sensasi belaka atau sosok politik yang tampil otentik dan tidak dibalut dengan kepura-puraan?


Bertolaklah ke tempat yang lebih dalam. Mungkin imperasi etis-biblis ini, sangat urgen untuk diterapkan dalam menjatuhkan preferensi politik. Kita tidak boleh 'terkecoh' dengan penampilan lahiriah yang bersifat artifisial dari para Caleg tersebut.



*Penulis adalah warga Mabar. Tinggal di Watu Langkas.

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • "Foto Politik", Popularitas, dan Kursi Kuasa

Trending Now

Iklan