Oleh: Sil Joni*
Jadi Orang Muda Berkelas (Natal dan Tahun Bersama Muda-mudi Watu Langkas) |
Usia terlalu sempit untuk mendefinisikan seseorang sebagai 'orang muda'. Mungkin parameter yang tepat adalah performa yang diperlihatkannya dalam sebuah komunitas. Muda itu bukan soal umur, tetapi mengacu pada sisi kreativitas, inovasi, dan spirit hidup yang energik.
Ketika 'sekelompok' warga di satu kampung mengambil prakarsa untuk melaksanakan kegiatan konstruktif, maka predikat muda sangat pantas disematkan ke pundak mereka. Dari perspektif ini, perayaan Natal dan Tahun Baru bersama di kampung Watu Langkas malam ini, Jumat, (5/1/2024) menjadi semacam 'penegas' bahwa orang muda masih ada di sana.
Itu berarti Natal dan Tahun Baru bersama lebih dari sekadar perayaan seremonial yang bersifat aksidental, tetapi sebagai momen pembuktian aktualisasi identitas sebagai 'entitas muda'. Acara semacam ini menjadi sarana berlatih untuk menjadi 'insan muda berkelas'. Orang muda Watu Langkas telah 'naik kelas'. Mereka tidak ingin menjadi generasi culas dan malas.
Sudah sering kita mendengar ungkapan 'orang muda sebagai agent of change'. Pernyataan itu, rasanya tidak terlalu berlebihan. Pasukan muda memiliki segenap prasyarat untuk menjadi "kreator perubahan". Ketika pemuda kurang aktif dan kreatif, maka status muda itu 'copot' dari dirinya.
Untuk menjadi "pribadi hebat", para pemuda mesti dibentuk dan membentuk diri dalam sebuah wadah organisatoris. Dalam dan melalui wadah itu, mereka ditantang untuk 'berkontribusi'. Sumbangan itu, dimulai dari hal-hal kecil dan sederhana.
Kemajuan sebuah kampung dan peradaban, dalam banyak kasus, sangat ditentukan oleh seberapa besar 'andil' yang diperlihatkan oleh barisan mudanya. Sejarah membuktikan bahwa 'para pemuda' selalu berada pada garda terdepan dalam mendesain dan mengeksekusi sebuah 'revolusi' yang berciri transformatif.
Saya tertarik dengan 'kemasan acara' yang mereka suguhkan malam ini. Kesannya, mereka tidak menjadikan perayaan ini sebagai momen 'hura-hura' belaka. Setidaknya, saya mencatat tiga 'mata acara' yang turut melambungkan sisi prestise.dari acara ini.
Pertama, seluruh rangkaian acara dibuka dengan 'penyambutan tamu secara adat' (naka). Sebuah penampilan yang mencerminkan orang muda kita masih 'mengakar' dalam alam budaya leluhur. Mereka tidak tercerabut dari identitas budaya akibat derasnya penetrasi arus globalisasi dan gelombang teknologi komunikasi dan informasi digital saat ini.
Kedua, sesi sambutan yang dipercayakan kepada empat orang pembicara. Kesan saya, empat orang yang menyampaikan 'orasi singkat' ini, telah mempersiapkan diri dengan baik. Hal ini, tentu saja membuat acara Natal dan Tahun Baru tingkat kampung Watu Langkas kali ini, semakin berbobot.
Ketiga, sesi curahan rasa (curhat) yang dikemas dalam bentuk 'tanya jawab'. Natal dan Tahun Baru bersama menjadi momen 'evaluasi diri' dan proyeksi terkait dengan 'apa yang semestinya' dilakukan orang muda melalui 'perkumpulan' tersebut.
Dalam sesi ini, ada rupa-rupa soal yang coba dibicarakan secara serius. Satu yang menarik adalah soal tantangan atau kendala dalam menghimpun energi positif dalam kehidupan sebagai satu organisasi. Ada yang mengeluh bahwa berdasarkan pengalaman selama ini, ada sekian banyak tantangan yang dihadapi, terutama bagaimana menyatukan realitas perbedaan di antara anggota organisasi.
Hemat saya, fakta kepelbagaian itu merupakan kodrat (given). Kenyataan yang serba plural itu, semestinya dilihat sebagai 'berkat'. Dalam dan melalui tantangan tersebab oleh fakta kemajemukan itu, orang muda bakal tampil lebih matang. Tantangan mesti dimaknai sebagai peluang untuk maju dan bukannya 'penghalang' dalam berkreasi.
Barang siapa yang 'lolos' dari batu ujian (tantangan) itu, maka kita 'naik kelas'. Jadi, mari taklukkan tantangan itu sehingga kita menjadi pribadi yang punya kualitas. Semakin diuji (ditantang), pasti hasilnya semakin matang dan bermutu.
*Penulis adalah warga kampung Watu Langkas.