Iklan

Iklan

Iklan

Iklan

Keterlibatan Imam Katolik Dalam Politik Sebagai Bentuk Tanggung Jawab Profetis

Suara BulirBERNAS
Friday, January 19, 2024 | 11:23 WIB Last Updated 2024-01-19T04:50:04Z

0leh: RP. Stefanus  Dampur SVD*


Keterlibatan Imam Katolik Dalam Politik Sebagai Bentuk Tanggung Jawab Profetis
Keterlibatan Imam Katolik Dalam Politik Sebagai Bentuk Tanggung Jawab Profetis



Prolog:


Judul di atas diambil dari bahan rekoleksi yang dibawakan oleh RD. Arnold Ves Kawe pada hari Selasa (16/1/24) di Gereja Katedral Larantuka. Kami membuat adaptasi dan edit formulasi atau perumusan tanpa mengubah substansi/intipati tulisan.


**


Romo Arnold, begitu Beliau lazim disapa, berbicara di depan Bapa Uskup Keuskupan Larantuka, Mgr. Fransiskus Kopong Kung, Romo Vikjen, Romo Sekjen, Romo Deken, Komisi, Lembaga dan para Pastor Paroki serta Pastor Rekan, Frater, Bruder,  Sedekenat Larantuka. 


Baca: Studi Bersama Memaknai 100 Tahun Konferensi Waligereja Indonesia, Sedekenat Larantuka


Jumlah partisipan atau audiens lebih dari 50 orang pastor, 2 orang Frater TOP, dan 1 orang Bruder.


Dalam prolognya, Romo Arnold mengungkapkan situasi riil di tengah umat dan masyarakat, terkait "kontroversi bahkan ketegangan" terkait keterlibatan imam Katolik dalam dunia politik. 

Ada dua pertanyaan kunci yang memantik refleksi lebih mendalam.


Pertanyaan pertama: "Apakah seorang imam boleh terlibat dalam tata dunia politik?".

Pertanyaan kedua: "Apakah keterlibatan imam dalam pentas politik merupakan keharusan atau suatu skandal karena bertolak belakang dengan tuntutan hukum Kanonik?".


Mendengarkan saja bunyi dari kedua pertanyaan ini, sudah berat rasanya bagi saya untuk  mengikuti rekoleksi bulan Januari 2024 di Kota Renha Rosari ini.


Lalu, saya duduk terpekur, merenung sambil menguatkan diri sendiri: "Stef, anggap saja pertanyaan yang dilontarkan ini sebagai penyegaran kembali kuliah filsafat politik dua puluhan tahun lalu di Ledalero yang diampuh oleh almarhum RP. Dr. Amatus Woi, SVD itu. Kamu juga tidak boleh terburu-buru membebankan diri dengan pertanyaan pancingan ini. Selami saja dulu. Seumpama: "Tak boleh cepat menilai suatu buku dari cover atau kulit luarnya. Buka itu buku dan baca. Bacalah buku itu secara perlahan-lahan tapi pasti mendapat sarinya. Bacalah isi buku secara cerdas juga cermat dan kritis. Cerna isinya. Jangan membuat kesimpulan prematur yang akhirnya menggiringmu ke jurang pemikiran apriori bahkan memberikan tanggapan negatif sebelum waktunya. Itu bisa merusakkan suasana batin".


**

Prosespun berlanjut dan tetap dilanjutkan. Si pembawa renungan begitu serius. Ini menunjukkan bahwa tema yang sedang dibicarakan ini begitu penting dan mendesak. Ya, begitu urgent! 


Oleh karena itu, saya juga mesti fokus dan konsentrasi mengikuti prosesnya tanpa perlu banyak protes. Jika protes sejak awal maka bakal terjadi kontroversi bahkan khaos atau kekacauan baik dalam diri maupun di tengah kolegialitas para imam. Ternyata ulasan beliau sangat menarik, memikat bahkan menggugah rasa untuk terus serius mendengarkan pemaparan materinya.


Imam Harus Terlibat dalam Persoalan Politik


"Pada hakikatnya, misi utama Gereja dalam masyarakat adalah misi keagamaan, bukan politis, ekonomis, atau sosial", demikian tulis RD. Arnold Ves Kawe. "Yesus Kristus selaku Guru dan teladan hidup manusia (khususnya yang beriman kepada-Nya, -pen), tidak pernah memberikan kepada Gereja-Nya, yakni umat Allah, secara eksplisit terkait misi politik, ekonomi dan sosial", sambungnya. "Namun, dalam misi keagamaan itu terdapat juga tugas perutusan dan fungsi kehadiran para pengikut-Nya (baca: pengikut Yesus Kristus,-pen) sebagai  garam dan terang dunia. Konsekuensinya, seorang imam yang hidup dan ada di dunia tidak mungkin dapat membebaskan dirinya dari tata dunia politik, kendati ia tidak menjadikan dunia tujuan akhir dan obsesi karya perutusannya", demikian Romo pembawa rekoleksi berargumentasi.


Baca: Bahasa Ibu untuk Pendidikan Dasar


Romo Arnold mengutip refleksi Romo Mangunwijaya.  Bagi Romo Mangunwijaya, "Dalam arti tertentu, seorang rohaniwan juga sda dalam lingkaran politik, bahkan kerapkali ia terpanggil untuk turut terlibat dalam tata dunia politik, tetapi batasannya sangatlah jelas, yakni: politik dalam kerangka kekuasaan tidak dipunyainya. Hanya peri kemanusiaan. Ia aktif dalam politik dalam arti yang lebih asli yaitu ikut menyumbang apapun demi kesejahteraan umum, ke arah persaudaraan, kedamaian, penyembuhan, dan rekonsiliasi". Di sini jelas terbaca bahwa bagi Romo Mangunwijaya, seorang rohaniwan layaknya juga seperti seorang intelektual, tidak tinggal di menara awan. Ia tidak steril dalam kondisi perkembangan masyarakat. Yang jelas seorang rohaniwan tidak diberi tugas negara untuk menjadi hakim,  jaksa, polisi, tentara atau intel yang wajib melaporkan situasi tertentu dan orang yang dianggap berpotensi mendatangkan ancaman atau bahaya bagi keselamatan dan keamanan negara.


Kaum religius atau rohaniwan bertugas atas nama Yang Mahabaik, Mahapengampun serta sebagai "hati nurani kolektif masyarakat", mesti menjunjung tinggi kemanusiaan, keadilan dan peradaban mutlak untuk menolong siapapun yang yang lemah, kecil, miskin, tertindas dan kurang diperhatikan dalam kehidupan sosial-kemasyarakatan. Oleh karena itu, semacam "conditio sine qua non" (mau tidak mau, harus), seorang Imam Katolik terlibat dalam tata dunia politik. Imam Katolik tidak boleh bersikap acuh tak acuh atau bahkan tinggal diam dalam kemegahan rumah biara, pastoran atau tempat dan situasi zona nyaman lainnya. Ia, seorang imam Katolik, harus terjun ke tengah dunia, "membaui domba-domba" sehingga domba mengenal suara mereka dan mereka mengenal suara jeritan domba-domba tersebut. Ringkasnya, "Pastoral Terlibat", pastoral "ada bersama mereka yang kecil, lemah, miskin, tak berdaya dan tersingkir atau disingkirkan sambil membangun komunikasi efektif dengan para majikan atau bos agar lebih menempatkan harkat dan martabat manusia pada posisi yang semestinya. Pelecehan terhadap harkat dan martabat manusia adalah dosa dan pelanggaran berat yang mesti diantisipasi dan dihindari. Sehina-hinanya mereka yang tersingkirkan, mereka "wajah Allah yang lain" yang membutuhkan sapaan kasih para gembala.


Motivasi Dasar Keterlibatan Imam dalam Politik: Urgensi dan Hakikat Politik


Ada dua motivasi dasar seorang Imam Katolik berpolitik:

Pertama, Politik itu mulia dan eksistensial. 

Politik itu memunyai pengaruh dan memainkan peranan besar bagi kehidupan banyak orang, baik sebagai makhluk individu maupun sosial. Bagi Plato, sang Filsuf, politik itu terlalu penting sehingga tidak boleh hanya diserahkan kepada politisi saja. Politik itu selalu terarah kepada kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan kekuasaan yakni bagaimana mendapatkan, menggunakan dan mempertahankannya. Masih menurut Plato, politik berhubungan dengan langsing dengan pemerintahan, penguasaan, pelaksanaan dan cara pelaksanaan kekuasaan demi kesejahteraan bersama atau bonum commune dalam masyarakat. Inilah kemuliaan politik. Di samping itu, politik bersifat eksistensial. Artinya berkaitan erat dengan hakikat dasar manusia. Antara politik dan manusia, terdapat relasi resiprokal dan komplementer. Artinya, politik ada karena manusia dan adanya manusia tidak dapat menegasikan politik. Secara substansial, berpolitik berarti mengupayakan keselamatan dan kesejahteraan masyarakat umum l, melayani masyarakat dan bukannya rajin main kuasa. Berpolitik secara bermartabat itu selalu bertujuan membangun "bonum commune atau kebaikan bersama". Maka, dalam berpolitik, kebebasan bertanggungjawab bagi setiap individu merupakan keniscayaan.


Kedua, Imam Katolik sebagai anggota masyarakat.

Imam Katolik adalah manusia biasa yang hidup di tengah masyarakat. Seperti warga masyarakat lainnya, seorang imam Katolik juga memiliki kebutuhan dasar manusiawi. Sebagai contoh: kebutuhan akan mempertahankan hidup, kebutuhan akan rasa aman, harga diri, pengakuan akan keluhuran martabatnya sebagai manusia, kebutuhan untuk berserikat, berpendapat, mengekspresikan pelbagai bakat dan talenta mulia yang Tuhan anugerahkan, dll. Menjadi imam Katolik tidak berarti menghapus Kemanusiaan seseorang. Tahbisan tidak menyebabkan hilangnya status keanggotaan seorang imam dari komunitas manusiawi.


Dalam gereja Katolik, hak azasi para imam juga mendapat perlindungan hukum. Para imam juga memiliki hak azasi sebagaimana yang dimiliki oleh semua orang beriman berdasarkan keluhuran martabatnya sebagai manusia yang diciptakan oleh Allah (Bdk. Kitab Hukum Kanonik (KHK) 1983;  Kanon 274 ayat 1: hak untuk memeroleh jabatan gerejawi; Kanon 281 ayat 1: hak untuk mendapat balas karya sesuai tugas pelayanannya dan Kanon 283 ayat 2: hak untuk berlibur, dll).


Oleh karena itu, pelaksanaan hak berpolitik seorang imam Katolik harus ditempatkan dalam kerangka untuk menunjang persekutuan Gereja dan keluhuran status klerus serta mempromosikan misi Gereja yang menyelamatkan baik dalam tata lahir maupun batin.


Spiritualitas Keterlibatan Imam Katolik dalam Politik: Belajar dari Nabi-nabi dan Yesus Kristus


Kitab Suci Perjanjian Lama menyebutkan sejumlah nabi yang bersikap tegas dan kritis terhadap cara hidup manusia, baik pemerintah maupun rakyatnya. Kita boleh menyebut beberapa nabi, seperti: nabi Natan, nabi Elia dan Elisa, nabi Amos dan Hosea di Kerajaan Utara Israel, nabi Mikha dan Yesaya di Kerajaan Selatan, nabi Yeremia dan nabi Yehezkiel.


Nabi Natan adalah seorang pegawai istana, bawahan raja yang dipakai Yahweh untuk memberikan peringatan dan kecaman terhadap raja Daud. Kritik sosial nabi Natan sangat tampak dalam kisah 2 Samuel bab 11 sampai 12. Nabi Natan mengeritik segala praktik ketidakadilan yang dilakukan oleh Daud terhadap rakyat yang cerdas. Misalkan Daud mengambil Batsyeba, istrri perwira Uria lalu berzinah dengannya. Daud sengaja menempatkan Uria di bagian terdepan pertempuran sangat sengit supaya Uria terbunuh dan isterinya diambil oleh Daud.


Baca: Boganatar: "Saat Kembali", Berkisah, Bernostalgia dan Memberi Makna"


Nabi Yeremia dan Yehezkiel yang hidup saat Yehuda dan Yerusalem mengalami masa krisis hingga pembuangannya, memunyai jasa dan peran besar dalam sejarah Israel. Dalam pewartaannya,  kedua nabi ini menekankan dimensi vertikal, memuliakan Yahweh juga tidak lupa mengeritik Raja Yoyakim (Bdk. Yeremia 22:13-19) dan kritikan terhadap pemerintah Yerusalem (Yeremia 34:8-22).


Setelah periode nabi Yeremia dan Yehezkiel, gejala kenabian masih terus berlangsung di Israel selama kurang lebih dua abad. Kritikan para navi terhadap sudah mulai meredup. Diduga, peran para nabi diambil alih oleh hukum tertulis (Lihat Keluaran bab 21-23; Kitab Ulangan bab 14-25). Juga munculnya kelompok-kelompok kuat ahli taurat, dan orang farisi dalam masyarakat Yahud. Para ahli taurat bertugas untuk mengajar, menerapkan dan membela hukum tertulis dalam segala bidang kehidupan.


Selanjutnya, dalam Perjanjian Baru, Yesuslah yang menjadi tokoh panutan bagi umat beriman untuk melibatkan diri konkrit manusia. Untuk memahami gerakan Yesus yang berlandaskan pada semangat bela rasa terhadap manusia, terlebih dahulu harus diketahui situasi dan kondisi masyarakat di tempat Yesus hidup dan dalam kurun waktu sebelum dan selama Yesus hidup. Sejak ekspansi yang dilakukan oleh raja Alexander Agung, mulai terbukalah jalan-jalan perdagangan baru, perkembangan dalam bidang pertambangan, teknik pertanian, dan sebagainya. Perkembangan terus berlanjut hingga saat kekuasaan politik Yunani menjadi surut dan kekaisaran Romawi merentangkan sayap kekuasaannya. Hal tersebut berdampak negatif yakni munculnya orang kaya baru dalam masyarakat yang sangat menguasai perekonomian masa itu.


Situasi masyarakat Palestina bertambah kacau karena rakyat mesti membayar pajak yang begitu tinggi kepada kaisar Romawi. Orang Yahudi harus membayar dua jenis pajak. Pertama, pajak sebagai orang Yahudi.


Kedua, pajak yang harus dibayarkan oleh orang Yahudi kepada penjajah Romawi. Pajak jenis kedua inilah yang terasa memberatkan dan merendahkan martabat dan harga diri mereka.


Di tengah maraknya praktik penindasan dan ketidakadilan yang dilakukan oleh bangsa Romawi, muncul banyak kelompok politis -religius yang sangat gencar melancarkan serangan untuk menentang kekuasaan Romawi demi memeroleh pembebasan. Kelompok yang paling menonjol adalah kaum Zelot. Mereka terkenal sangat nasionalis dan revolusioner. Dari sudut tradisi keagamaan, mereka subgguh memanfaatkan cita-cita mesianis untuk mengobarkan semangat nasionalisme sambil mengharapkan datangnya  seorang pemimpin politis yang bertindak untuk membebaskan mereka dari kekuasaan Romawi.


Dalam situasi begini, Yesus terdorong untuk menolong sesama-Nya yang sedang menderita. Selanjutnya, Ia tampil menyuarakan pembebasan. Tampilnya Yesus di tengah masyarakat dengan pengajaran-Nya yang berwibawa mengakibatkan banyak orang mengikuti Dia. Karena banyak orang mengikuti Dia, lalu Yesus dituduh ikut mendukung kaum Zelot dan bahkan merintis gerakan politik keagamaan yang mirip dengan kaum Zelot.


Tuduhan tersebut diperkuat oleh kenyataan bahwa beberapa murid Yesus berasal dari kalangan kaum zelot (Lukas 6:15). Tuduhan politis menjadi semakin nyata dengan adanya pemakluman bahwa Yesus adalah Mesias. Tafsiran atas pemakluman ini ternyata berbeda-beda bagi setiap orang dari para pengikut Yesus. Yesus tetap berkarya melayani setiap orang yang mau menegakkan keadilan, kebenaran, perdamaian dan keselamatan kekal.


Dalam rangka menegakkan kebebasan sejati tersebut, Yesus menyatakan kedaulatan Allah Bapa di antara manusia. Yesus menegaskan bahwa cara untuk mencapai kebebasan sejati dan menjadi warga kerajaan Allah adalah melalui pertobatan baik secara pribadi, sosial maupun struktural. Itu berarti kebebasan sejati tidak dapat tercapai melalui aksi-aksi kekerasan dan kelicikan-kelicikan. Kekerasan mesti digantikan dengan tindakan cinta kasih (Bdk. Lukas 6:26-27).

Yesus memenangkan nilai-nilai mulia dan bersifat abadi. 


Dalam konteks praktik dan harapan politis seperti ini, maka jelas bahwa Yesus bukanlah seorang mesias politik. Dia tidak mencari posisi politis. Dia bahkan menjauhkan dan menghindari diri-Nya dari sebutan sebagai Pemimpin Sosial. Pesan-pesan pewartaan Yesus tidak memuat program-program atau strategi politik. Dia juga tidak berpretensi untuk menggulingkan kekuasaan yang ada tetapi sebaliknya mau mendesakralisasikan kekuasaan politik. Pewartaan Yesus hanya berkaitan dengan misi-Nya yakni menegakkan Kerajaan Allah di dunia dan mewujudkan kebebasan sejati, kebebasan yang menyangkut hajat hidup orang banyak dalam seluruh aspeknya di dunia ini. Pesan-pesan Yesus, sekali lagi, merupakan pesan yang mendorong manusia untuk menyadari situasi kedosaannya, baik pribadi, sosial maupun struktural.


Tujuan Keterlibatan Imam dalam Pentas Politik



Sebagaimana para nabi dalam Perjanjian Lama dan Yesus Kristus dalam Perjanjian Baru yang berkecimpung dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat pada zamannya,maka seorang imam juga dituntut untuk selalu terlibat dalam segala dinamika kehidupan masyarakat dan/atau umat termasuk dalam dinamika hidup berpolitik. Namun, yang menjadi persoalan adalah bagaimana imam Katolik harus menempatkan dirinya dalam berpolitik. Apa yang harus seorang Imam perjuangkan?


Dalam konteks ini, tentu ada perbedaan antara kaum tertahbis (uskup, imam, diakon) dan kaum awam yang tidak menerima tahbisan.Berdasarkan ciri keduniawiannya, kaum awam adalah yang pertama-tama dipanggil dan diserahi tanggung jawab untuk berpartisipasi secara langsung dalam dunia politik. Kaum awam berkewajiban untuk mengurus hal-hal seputar politik. Mereka pantas disebut sebagai Politisi atau Politikus.


Penegasan yang Perlu Diperhatikan


Bertolak dari pendasaran yang telah dikemukakan di depan, seorang imam Katolik juga dapat dan seharusnya terlibat dalam politik terutama politik kesejahteraan dan terkait urusan mengenai hajat hidup orang banyak. Para imam jangan terjebak dalam politik mengejar kekuasaan apalagi berkolusi dengan penguasa dan rela dimanipulasi oleh kepentingan kaum oportunis- pragmatis. 


Di akhir torehan pena ini, baiklah diperhatikan oleh kaum tertahbis jika mau terlibat dalam politik kesejahteraan umum:


Pertama, kita mewartakan Kristus dan ajaran-Nya sedemikian rupa sehingga menjadi relevan dan kontekstual dengan dunia sini-kini. Artinya kita mesti hidup selaras zaman dan beradaptasi dengan kemajuan yang kian pesat. Kita harus "up to date" (kekinian), rela mempelajari kebiasaan dan pola pikir kaum milenial dan menanamkan nilai-nilai utama dan bersifat abadi.

Kedua, tetap tekun membimbing dan mendampingi umat. 

Ketiga, menunjukkan sumber-sumber kekayaan rohani, baik dengan kata-kata maupun dengan teladan hidup.

Keempat, kaderisasi, mempersiapkan kaum awam berkualitas yang siap terjun dalam dunia politik kekuasaan dengan etika dan moralitas yang mumpuni. Kelima, menunjukkan solidaritas dengan kata dan perbuatan, membela HAM dan nilai-nilai luhur. Keenam, membantu politisi Katolik dalam proses pertimbangan dan pengambilan keputusan dalam terang iman Katolik. Ketujuh, menjalankan tugas Profetis/Kenabian yang jelas, cerdas, kritis tapi juga humanis didasari etika dan moralitas tinggi. Kedelapan, membantu memberikan pencerahan dan pendidikan politik baik bagi umat pada umumnya maupun untuk para para politikus secara khusus.


Epilog:


Partisipasi kaum imam Katolik dalam bidang politik tidak dimaksudkan untuk memperoleh kursi, kedudukan atau status tertentu dalam pemerintahan. Kaum imam terlibat dalam politik bertujuan untuk menyampaikan seruan moral, etika dan memastikan penghayatan nilai-nilai universal dan terciptanya masyarakat madani yang maju, adil, makmur dan terwujudnya kesejahteraan untuk semua. Imam tampil di pentas politik bukan untuk mencari popularitas, prestise, prestasi dan previlese tetapi memperjuangkan kepentingan dan kebaikan umum (bonum commune). Hai para Imam Katolik, terlibatlah dalam tata dunia politik kesejahteraan dan kebaikan umum, sebab itu merupakan tanggung jawab kenabian atau profetikmu. Nyalakan lampu iman, kuatkan pengharapanmu dan tetap berkanjang dalam kasih sejati.




*) Penulis adalah imam Katolik yang tekun membaca dan merenungkan dinamika perpolitikan di dunia. Baginya, politik kesejahteraan umum lebih mulia dari politik kekuasaan apalagi kekuasaan yang otoriter, diktator, korup, melegalkan oligarki kaum tamak tak berperasaan. Dia marah kepada para penguasa yang gelojoh, tamak dan rakus. Dia menghendaki para penguasa  memunyai rasa solider, simpati dan empati kepada kaum lemah, miskin, tak berdaya, kaum tersingkir dan difabel. Dia masih menangis karena erupsi dan letusan gunung berapi Lewotobi tak kunjung berhenti dan sepertinya tak pasti kapan berakhirnya.

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Keterlibatan Imam Katolik Dalam Politik Sebagai Bentuk Tanggung Jawab Profetis

Trending Now

Iklan