Kursi Legislatif |
Oleh: Sil Joni*
Para calon legislatif (Caleg) berjuang merebut kuota kursi di sebuah daerah pemilihan (Dapil). Ungkapan 'rebut kursi', begitu tenar di musim kontestasi politik seperti sekarang ini. Hampir pasti bahwa para Caleg itu sangat 'terobsesi' untuk mendapatkan kursi legislatif itu.
Baca: House dan Home (Laki-laki dan Perempuan)
Duduk di kursi kekuasaan legislatif menjadi intensi dan motivasi seorang Caleg bermain dalam gelanggang kontestasi. Rasanya, kursi itu memancarkan pesona yang luar biasa sehingga banyak orang ingin mendapatkannya.
Ini bukan 'tempat duduk' biasa. Kursi ini lebih dari sekadar keterangan tempat dan obyek fisik. Tidak semua orang bisa 'mentakhtakan pantatnya' di kursi ini. Hanya orang-orang yang dipandang 'terhormat' boleh merasakan nikmat dan empuknya berada di kursi ini.
Butuh pengorbanan ekstra untuk meraih kursi mewah ini. Energi, waktu, modal, dan perhatian 'terkuras'. Kapital finansial (dompet) mesti tebal dan kencang agar mimpi bersetubuh dengan kursi itu lekas terealisasi.
Baca: Dari 'Homo Sapiens' ke 'Homo Videns'
Sudah tidak terhitung individu politis yang berusaha mendapatkan 'tiket politik' dalam meraih kursi itu. Sebagiannya pulang dengan cerita bahagia. Tetapi, lebih banyak yang memendam rasa kecewa. Boleh jadi, mereka pulang dengan kisah tragis: stres, depresi, gila, dan bunuh diri. Terkadang, pesona kursi itu membuat manusia tergila-gila, irasional, dan bertindak membabi buta.
Kuat dugaan bahwa pada kursi itu, semua kenikmatan duniawi tersaji. Kita akan mencicipi kemewahan demi kemewahan. Semua yang kita impikan bakal terwujud. Harta, takhta, dan wanita akan dengan mudah kita taklukan. Karena itu, orang berkompetisi secara keras dan ketat untuk mendapat kursi empuk itu.
Semua daya kita kerahkan, termasuk cara-cara kotor (busuk). Disinyalir bahwa kadang kita 'tega" menipu dan membohongi rakyat dengan retorika indah dan memukau. Yang ada dalam benak adalah äkumulasi suara sebagai jaminan untuk merengkuh kursi itu. Kita tidak peduli apakah rakyat melarat atau tidak, yang penting syahwat politik kita tersalurkan secara tuntas.
Adakah sesuatu yang baik, datang dari 'kursi' itu untuk dinikmati oleh publik? Apakah kursi itu tidak bisa menjadi 'sarana' menyalurkan berkat kemaslahatan kepada publik melalui kerja-kerja politik yang produktif dan bermutu?
Baca: Waktu Berlalu, Tulisan Tetap Tinggal
Fajar optimisme tidak boleh padam. Kita tetap menaruh asa bahwa 'pribadi' yang sukses bermukim di kursi itu, bisa 'menorehkan' prestasi politik yang fenomenal. Setidaknya, dalam dan melalui kursi itu, mereka bisa mewujudkan idealisme memperbaiki derajat kualitas kehidupan publik.
Kontestasi pemilihan legislatif (Pileg) 14 Pebruari 2024 menjadi momentum untuk 'memberi ruang bagi figur berbobot duduk di kursi' itu. Pastikan sosok yang inkompeten dan menderita impotensi politis tak boleh merapat di kursi itu. Sangat disayangkan jika tipe politisi medioker mendominasi perolehan kursi dalam ajang itu nanti.
*Penulis adalah warga Mabar. Tinggal di Watu Langkas.