Oleh: Sil Joni*
Limbah Emosi |
Demokrasi di Indonesia, dinilai belum 'terlalu matang'. Salah satu cirinya adalah penggunaan perasaan (emosi) dalam menentukan pilihan politik. Disinyalir bahwa jumlah pemilih emosional jauh lebih banyak daripada pemilih rasional.
Penilaian itu, seolah mendapatkan pembenarannya ketika kita berselancar di dunia virtual. Pola komunikasi politik yang tersaji dalam ruang itu, didominasi oleh unsur perasaan. Serangan terhadap pribadi atau kelompok tertentu hanya karena berbeda dalam hal pilihan politik, begitu telanjang.
Sangat jarang kita membaca perdebatan yang berfokus pada isi atau substansi gagasan dari kandidat yang bertarung dalam kontestasi politik Pemilu 2024 ini. Diskusi yang bersifat rasional dan dialektis, pasti kurang peminatnya. Tetapi, obrolan yang memantik amarah dan ketersinggungan perasaan, tak pernah sepi.
Kita lebih 'bersemangat' mengoptimalkan emosi ketimbang rasionalitas. Mempermainkan wilayah rasa, seolah menghadirkan kenikmatan yang tiada duanya. Perasaan ditanggapi dengan perasaan juga. Hasilnya, bisa ditebak, kita hanya 'bermain-main' di seputar isu receh dan murahan.
Rupanya, teknologi digital berkembang lebih cepat dari 'tradisi diskursif' di media publik. Jika komentar nyinyir dan aneka ekspresi limbah emosi yang berseliweran di ruang publik dijadikan indikator, maka sangat jelas bahwa mayoritas 'warga-net' belum terbiasa dengan kultur diskursif yang terfokus pada ide semata.
Tentu tak ada niat untuk membuat generalisasi perihal tesis ini. Sebagian netizen masih konsisten mengotimalkan "pikiran rasional" dalam merespons tulisan tersebut. Saya kira, kita bisa membuat telaah kritis mana komentar atau argumen dengan agresivitas verbal yang kental menyerang "wilayah privat", dan mana penanggap yang berkonsentrasi pada "isi argumentasi" par exellence.
Secara kuantitas, jumlah 'penulis' yang coba menuangkan "isi kepalanya' baik di pelbagai fitur media sosial, sangat menggembirakan. Tetapi, dari segi mutu, sangat memprihatinkan. Mayoritas penanggap memanfaatkan forum itu sebagai "arena" penyalur 'limbah emosi" yang kental dengan aura temperamental.
Saling hujat dan caci maki diperagakan secara vulgar. Kekerasan verbal begitu massif digunakan dalam 'membela' jagoan politik. Kita terpolarisasi dalam blok-blok politik. Menghadapi adegan negatif tersebut, saya lebih 'memilih diam' sebab cahaya rasionalitas kami agak terbatas untuk menatap "secuil isi" di balik "sampah bahasa" itu.
Kendati demikian, berita gembiranya adalah masih ada yang setia pada kutur diskursif sebagai resultante dari proses formasi identitas dalam atmosfir akademik yang prestisius dan bermartabat.
Berharap, kebiasaan 'menyerang subyek ini, tidak menjadi habitus yang diselebrasi secara konstan. Hanya dengan "menegasi" kebiasaan buruk ini, kita tetap menjaga 'primat kemanusiaan" kita sebagai mahkluk yang berpikir rasional.
*Penulis adalah warga Mabar. Tinggal di Watu Langkas.